adsense

May 05, 2020

SIROH NABAWIYAH Bagian 21 (Sejarah Nabi Muhammad SAW)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Pembicaraan Abu Thalib

Pada musim semi tahun 595 Masehi, para pedagang Mekah kembali mulai menyusun kafilah perdagangan musim panas mereka, untuk membawa barang dagangan ke Syria.

Khadijah juga sedang mempersiapkan barang dagangannya, tetapi ia belum menemukan seseorang untuk menjadi pemimpin kafilahnya.

Beberapa nama diusulkan orang, namun, tidak satu pun yang berkenan di hatinya.

Mendengar itu, Abu Thalib mendatangi Khadijah dan menawarkan kepadanya Muhammad, keponakannya yang baru berusia 25 tahun, untuk menjadi agen Khadijah.

Abu Thalib tahu bahwa Muhammad belum cukup berpengalaman, tetapi ia sangat yakin bahwa Muhammad lebih dari sekadar mampu.

Sebagaimana penduduk Mekah yang lain, Khadijah pun telah mendengar nama Muhammad.

Satu hal yang Khadijah yakin adalah kejujuran Muhammad.

Bukankah orang Mekah menjulukinya "Al Amin" atau "Orang yang bisa dipercaya".

Maka, Khadijah menyetujui tawaran Abu Thalib.

Bahkan ia hendak memberi imbalan dua kali lipat kepada Muhammad dari yang biasa diberikan kepada orang lain.

Oleh karena itu, Abu Thalib pulang dengan gembira.

Segera saja Abu Thalib dan Muhammad menemui Khadijah yang kemudian menerangkan tentang seluk beluk perdagangan.

Otak Muhammad yang cerdas bekerja dengan tangkas.

Ia segera memahami semuanya.

Tidak satu penjelasan pun yang ia minta untuk diterangkan ulang.

Maka, kafilah pun disiapkan dengan suara riuh rendah.

Khadijah menyertakan seorang pembantu laki-lakinya yang terpercaya, Maisarah, untuk mendampingi Muhammad di perjalanan.

Diantar Abu Thalib dan paman-pamannya yang lain, Muhammad datang pada hari yang telah ditentukan.

Mereka disambut seorang paman Khadijah yang sedang menanti mereka dengan surat-surat perdagangan.

Pemimpin kafilah membunyikan tanda dan semuanya segera berangkat.

Pada musim panas, kafilah Mekah berangkat menjelang senja dan terus berjalan pada malam hari.

Mereka beristirahat pada siang hari karena perjalanan siang akan sangat melelahkan semua orang.
 
Maka, berangkatlah Muhammad menempuh jalur yang pernah ditempuh bersama pamannya 13 tahun yang lalu.

Imbalan untuk Muhammad

Imbalan yang diberikan Khadijah untuk seorang agen adalah dua ekor unta.

Akan tetapi, Abu Thalib minta empat ekor unta.

_Maka, Khadijah pun menjawab,
"Kalau permintaan itu bagi orang yang jauh dan tidak kusukai saja akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai."_

Berdagang ke Syam

Dalam perjalanan, Muhammad mengenali bahwa Maisarah adalah teman yang baik.

Dengan senang hati, Maisarah menunjukkan dan menceritakan sejarah berbagai tempat menarik yang mereka lewati.

Muhammad juga menemui bahwa anggota kafilah yang lain sangat ramah dan akrab terhadapnya.

Setelah satu bulan berjalan, tibalah mereka di Syria.

Setelah beristirahat beberapa hari, mulailah para pedagang menuju ke pasar.

Walaupun ini adalah pengalaman pertama, Muhammad sama sekali tidak bingung dengan tugasnya

Maisarah tercengang melihat kelihaian Muhammad mengambil keputusan, pikirannya yang tajam, serta kejujurannya.

Semua barang yang mereka bawa laku terjual dengan jumlah keuntungan yang belum pernah didapatkan Khadijah sebelum itu.

Setelah itu, Muhammad membeli barang-barang berkualitas yang akan dibawa pulang ke Mekah untuk dijual dengan harga tinggi.

Di Syria, setiap orang yang berjumpa dengan Muhammad pasti sangat terkesan olehnya.

Penampilan Muhammad sangat memesona, ramah, dan sangat besar perhatiannya pada setiap orang.

Di tengah-tengah kesibukan itu, Maisarah melihat bahwa Muhammad selalu memanfaatkan setiap waktu senggang untuk menyendiri dan berpikir.

Ini benar-benar tidak lazim bagi Maisarah.

Ia tidak menyadari bahwa tuan mudanya ini memang sangat terbiasa meluangkan waktu untuk memikirkan nasib umat manusia.

Muhammad juga amat heran melihat perpecahan berbagai kelompok Nasrani di Syria.

Setiap masing-masing dari mereka memiliki jalan dan pendapat sendiri padahal seharusnya mereka bergabung dalam satu kelompok.

Manakah yang paling benar dari semuanya itu.

Pikiran-pikiran seperti ini membuat mata Muhammad selalu terbuka pada saat orang-orang lain terlelap tidur.

Akhirnya, waktu untuk pulang pun tiba.

Oleh-oleh untuk handai tolan pun dibeli dan semua barang dikemas.

Waktu pulang adalah waktu yang paling menggembirakan karena mereka akan berjumpa lagi dengan orang-orang tercinta di kampung halaman.

Mereka tidak sabar lagi mendengar tawa ria anak-anak mereka saat kembali nanti dan mereka sadar jika waktu itu tiba, tidak akan kuat lagi mereka menahan air mata.

Hari Jum'at

Hari Jum'at pada zaman jahiliyah adalah hari bersuka ria di seluruh jazirah.

Semua orang sibuk di pasar.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, pernah terjadi, khutbah Jum'at Rasulullah hampir terganggu, karena saat itu datang kafilah membawa barang dagangan.

Pada hari Jum'at, semangat berdagang mengaliri darah semua orang pada saat itu.

Bersambung

Wallahua'lam

Ammar bin Yasir Seorang Tokoh Penghuni Surga_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 22)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Benar, Ammar akan tetap mengikuti kebenaran itu ke mana saja perginya. Dan sekarang ini kita sedang menyelusuri jejak langkahnya, dan menyelidiki peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupannya. Marilah kita pergi untuk menyaksikan suatu peristiwa besar. Namun, sebelum kita memperhatikan kejadian yang mempesona dan sangat mengharukan itu, baik tentang keutamaan, kesempurnaan, kemampuan, keunggulan, kegigihan, maupun kesungguhannya, sebaiknya kita perhatikan lebih dulu suatu peristiwa lain yang terjadi sebelumnya.

Rasulullah mengungkapkan peristiwa yang akan menimpa Ammar di kemudian hari. Hal ini terjadi tidak lama setelah menetapnya kaum muslimin di Madinah. Rasul Al-Amin yang dibantu oleh sahabat sahabatnya yang budiman sibuk dalam membaktikan diri kepada Rabb mereka, membina dan mendirikan masjid-Nya. Hati yang beriman dipenuhi kegembiraan dan sinar harapan menyampaikan puji dan syukur kepada Allah.

Semua bekerja dengan riang gembira, semua mengangkat batu, mengaduk pasir dengan kapur atau mendirikan tembok, sekelompok di sini dan sekelompok lagi di sana, sedangkan cakrawala bahagia bergema dipenuhi senandung mereka yang dikumandangkan dengan suara merdu, "Bila kita hanya duduk berpangku tangan, sedangkan Nabi sibuk bekerja, tentu kita telah melakukan perbuatan yang sesat."

Sementara itu, sekelompok lain menyanyikan senandung:

"Ya Allah, tidak ada kehidupan sejati selain kehidupan akhirat. Sayangilah kaum Anshar dan Muhajirin."

Setelah itu terdengar pula senandung ketiga:

"Tidak sama antara orang yang memakmurkan masjid bekerja, baik saat berdiri maupun duduk, dengan yang menyingkir dan berpangku tangan."

Mereka tak ubahnya bagai anai-anai yang sedang sibuk bekerja demi Allah, bahkan mereka adalah tentara Allah yang memanggul bendera Nya dan meninggikan bangunan-Nya. Sementara itu, Rasulullah yang mulia lagi terpercaya tidak terpisah dari mereka, ikut mengangkat batu yang paling berat dan melakukan pekerjaan yang paling sulit.

Alunan suara mereka yang sedang berdendang melukiskan kegembiraan yang tulus dan hati yang pasrah. Langit tempat mereka bernaung merasa bangga terhadap bumi tempat mereka berpijak. Kehidupan penuh gairah dengan pesta yang paling meriah.

Di tengah-tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, Ammar bin Yasir kelihatan sedang mengangkat batu besar dari tempat pengambilannya ke tempat peletakannya. Tiba-tiba Rasulullah melihatnya, dan rasa belas kasihan telah mendorong beliau untuk mendekatinya, dan setelah berhadap-hadapan, tangan beliau yang penuh berkah itu mengipaskan debu yang menutupi kepala Ammar lalu dengan pandangan yang dipenuhi cahaya Ilahi beliau mengamati wajah yang beriman dan diliputi ketenangan itu. Kemudian, beliau bersabda di hadapan semua sahabat, “Aduhai Ibnu Sumayyah, engkau akan dibunuh oleh golongan yang melampaui batas."

Sabda tersebut diulangi oleh Rasulullah sekali lagi dan waktu itu bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat Ammar bekerja, hingga sebagian sahabat menyangka bahwa ia tewas yang menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu. Para sahabat terkejut dan menjadi ribut karenanya. Tetapi dengan nada menenangkan dan penuh kepastian, Rasulullah bersabda. “Tidak, Ammar tidak apa-apa. Hanya saja nanti ia akan dibunuh oleh golongan yang melampaui batas."

Siapakah gerangan yang dimaksud dengan golongan yang melampaui batas itu? Kapankah itu terjadi dan bagaimana prosesnya? Ammar mendengarkan sabda tersebut dan meyakini kebenaran pandangan jauh yang disingkapkan oleh Rasul yang utama tersebut. Tetapi, ia tidak merasa gentar, karena sejak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut dan mati syahid setiap detik, baik siang maupun malam.

Hari demi hari terus berganti, tahun demi tahun terus berputar, Rasulullah telah kembali ke tempat Tertinggi, disusul oleh Abu Bakar, lalu Umar pergi mengiringi menghadap keridhaan ilahi. Setelah itu, kekhalifahan dipegang oleh Dzun Nurain, Utsman bin Affan. Sementara itu, musuh-musuh Islam yang bergerak di bawah tanah berusaha menebus kekalahannya di medan tempur dengan jalan menyebarluaskan fitnah.

Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang dicapai oleh persekongkolan jahat, yang gerakannya menyusup ke Madinah bagai angin panas, dan bergerak dari negeri yang kerajaan dan singgasananya telah dibebaskan oleh umat Islam. Keberhasilan upaya mereka dalam membunuh Umar rupanya membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melanjutkan misi jahat. Mereka menyebarkan fitnah dan menyalakan apinya ke sebagian besar negeri Islam. Utsman bisa jadi tidak melihat gelagat jahat tersebut, sehingga persekongkolan itu pun menargetkan dirinya, hingga menyebabkan Utsman gugur syahid dan pintu fitnah pun terbuka dan melanda kaum muslimin.

Mu'awiyah bangkit untuk mendapatkan jabatan khalifah dari tangan Khalifah Ali karramallahu wajhah yang baru diangkat dan dibaiat¹ (lihat catatan kaki ke 1, -peny. ). Pendirian sahabat pun bermacam-macam; ada yang menghindar dan mengunci diri di rumahnya, dengan mengambil ucapan Ibnu Umar sebagai semboyannya, “Siapa yang menyerukan marilah shalat, saya penuhi. Dan siapa yang mengatakan: marilah menuju kemenangan, saya turuti. Tetapi, siapa yang mengatakan: mari membunuh saudaramu semuslim dan mari merampas harta bendanya, saya jawab, 'Tidak'.” Di antara mereka ada yang berpihak kepada Mu'awiyah. Ada pula yang berdiri mendampingi Ali, membaiat dan menganggap sah pengangkatannya sebagai khalifah kaum muslimin.

Tahukah Anda, di pihak mana Ammar berdiri waktu itu? Di pihak siapakah keberpihakan laki-laki yang mengenai dirinya Rasulullah, pernah bersabda, "Dan ambillah olehmu petunjuk Ammar sebagai bimbingan"? Bagaimanakah pendirian orang yang mengenai dirinya Rasulullah pernah pula bersabda. "Barang siapa memusuhi Ammar, ia akan dimusuhi oleh Allah” ini? Ia adalah sosok yang bila suaranya kedengaran mendekat ke rumah Rasulullah, beliau segera menyambut dengan sabdanya. “Selamat datang untuk orang baik dan diterima dengan baik. Izinkanlah ia masuk!"

Ternyata, ia berdiri membela Ali bin Abi Thalib, tetapi bukan karena fanatik atau berpihak kepadanya, melainkan karena tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji. Ali adalah khalifah kaum muslimin, yang berhak menerima baiat sebagai pemimpin umat. Ia menerima kekhalifahan itu karena Ali memang berhak untuk itu dan layak untuk menjabatnya. Baik sebelum maupun sesudah ini. Ali memiliki keutamaan yang menjadikan kedudukannya di sisi Rasul tidak ubahnya bagai kedudukan Harun di sisi Musa.

Dengan cahaya pandangan hati nurani dan ketulusannya, Ammar selalu mengikuti kebenaran ke mana juga perginya. Ia dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini. Menurut keyakinannya, tidak seorang pun berhak atas hal ini pada saat itu selain Ali, sehingga ia berdiri di sampingnya. Ali sendiri merasa gembira atas dukungan yang diberikannya itu, bahkan mungkin tidak ada kegembiraan yang lebih besar daripada itu, hingga keyakinannya bahwa ia berada di pihak yang benar kian bertambah, yakni selama tokoh utama pencinta kebenaran, Ammar, datang kepadanya dan berdiri di sisinya.

Akhirnya Perang Shiffin yang mengerikan itu pun meletus. Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan dan pemberontakan. Ammar ikut bersamanya, yang waktu itu usianya telah mencapai 93 tahun.

Apakah orang berusia 93 tahun masih pantas pergi ke medan juang? Tentu saja, selama menurut keyakinannya peperangan itu menjadi tugas dan kewajibannya. Bahkan, ia melakukannya lebih semangat dan dahsyat dari yang dilakukan oleh orang-orang muda berusia 30 tahun. Tokoh yang pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan permohonan perlindungan, "Aku berlindung kepada Allah dari fitnah. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah."

Tak lama setelah Rasulullah wafat, kata-kata ini merupakan doa yang selalu membasahi bibirnya. Setiap hari ia selalu memperbanyak doa dan memohon perlindungan Allah dari fitnah tersebut, seolah-olah hatinya yang suci merasakan bahaya mengancam yang semakin dekat dan menghampiri juga.

Tatkala bahaya itu tiba dan fitnah merajalela, lbnu Sumayyah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Pada hari perang Shifin, meski telah kita sebutkan usianya telah mencapai 93 tahun, ia bangkit menghunus pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.

Pandangan terhadap pertempuran ini telah dinyatakan dengan ungkapan, “Wahai umat manusia, marilah kita berangkat menuju kelompok yang mengaku-aku hendak menuntut bela bagi Utsman. Demi Allah, maksud mereka bukanlah hendak menuntut bela, melainkan karena telah merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya. Mereka mengetahui bahwa kebenaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka.

Mereka bukan orang-orang terdahulu memeluk Islam yang berhak untuk ditaati oleh kaum muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong mereka untuk mengikuti kebenaran. Mereka telah menipu orang banyak dengan mengakui hendak menuntut bela atas kematian Utsman, padahal tujuan mereka yang sesungguhnya ialah hendak menjadi tiran dan penguasa."

Ia kemudian mengambil bendera dengan tangannya, lalu mengibarkannya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, "Demi Dzat yang menguasai nyawaku, aku telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini bersama Rasulullah, dan inilah aku siap berperang dengan mengibarkannya ini. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga berhasil mencapai kubu pertahanan kita, aku tahu pasti bahwa kita berada di pihak yang benar, dan bahwa mereka di pihak yang salah."

Orang-orang mengikuti Ammar karena mereka percaya kebenaran ucapannya. Abu Abdirrahman As-Sulami berkata, "Kami ikut serta dengan Ali di pertempuran Shiffin, maka saya melihat setiap Ammar bin Yasir menyerbu ke sesuatu sasaran atau turun ke sesuatu lembah, para sahabat Rasulullah pun mengikutinya. Ia tidak ubahnya bagai panji-panji bagi mereka."

Ammar menerjang dan menyusup ke medan juang. Ia yakin akan menjadi salah seorang syuhada'nya. "Ramalan" Rasulullah terang terpampang di depan matanya dengan huruf-huruf yang besar, “Ammar akan dibunuh oleh kelompok yang melampaui batas." Karena itu, suaranya bergema di seluruh medan perang dengan senandung ini, "Hari ini aku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta, Muhammad dan para sahabatnya."

Kemudian bagai sebuah peluru dahsyat ia menyerbu ke arah Mu'awiyah dan orang-orang di sekelilingnya dari golongan Bani Umayyah, lalu melepaskan seruannya yang nyaring dan menggetarkan:

"Dahulu kami memerangi kalian atas dasar perintah Al-Quran.

Kini kami memerangi kalian lagi atas dasar penafsiran Al-Qur'an.

Tebusan maut menghentikan niat jahat dan memisahkan kawanan pengkhianat

Agar kebenaran berjalan kembali pada relnya."

Maksud Ammar dengan syairnya itu, bahwa para sahabat yang terdahulu dan Ammar termasuk salah seorang di antara mereka, telah memerangi golongan Bani Umayyah yang dikepalai oleh Abu Sufyan, ayah Mu'awiyah, pemanggul panji-panji syirik dan pemimpin tentara musyrikin. Para sahabat memerangi orang-orang itu karena secara jelas Al-Qur'an turun dengan perintah itu disebabkan mereka adalah orang-orang musyrik. Nah, sekarang di bawah pimpinan Mu'awiyah² (lihat catatan kaki ke 2, -peny. ) walaupun mereka telah menganut Islam dan meskipun Al-Qur'an Al Karim tidak menitahkan secara tegas memerangi mereka. Namun, menurut ijtihad Ammar dalam penyelidikannya mengenai kebenaran dan pemahamannya terhadap maksud dan tujuan Al-Qur'an, ia meyakinkan dirinya akan keharusan memerangi mereka, agar barang yang dirampas itu kembali kepada pemiliknya, serta api fitnah dan pemberontakan itu dapat dipadamkan untuk selama-lamanya.

Bisa juga diartikan bahwa dulu mereka memerangi orang-orang Bani Umayah karena mereka kafir kepada Islam dan Al-Qur'an. Sekarang, mereka memerangi orang-orang itu karena menyelewengkan Islam, menyimpang dari ajaran Al-Qur'an yang mulia, mengacaukan takwil dan tafsirnya, dan hendak menyesuaikan tujuan ayat-ayatnya dengan kemauan dan keinginan mereka pribadi. Karena itulah, tokoh tua yang berusia 93 tahun ini menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang agung. Sebelum wafat, ia hendak menanamkan pendidikan terakhir tentang keteguhan hati membela kebenaran, dan mewariskan contoh perjuangannya yang besar dan mulia, yang menimbulkan kesan yang mendalam.

Orang-orang dari pihak Mu'awiyah berupaya sekuat tenaga untuk menghindari Ammar, agar pedang mereka tidak menyebabkan kematiannya hingga nyata bagi manusia bahwa merekalah golongan yang melampaui batas itu. Tetapi, keberanian Ammar yang berjuang seolah-olah ia satu pasukan tentara, menghilangkan pertimbangan dan akal sehat mereka. Sebagian dari anak buah Mu'awiyah menanti kesempatan untuk membunuhnya, dan ketika kesempatan itu datang, mereka pun menikamnya.

Sebagian besar tentara Mu'awiyah terdiri dari orang-orang yang baru saja masuk Islam, yakni orang-orang yang menganutnya tidak lama setelah genderang kemenangan atas kebanyakan negeri yang dibebaskan Islam bergema, baik dari kekuasaan Romawi maupun dari penjajahan Persia. Mereka inilah sebenarnya yang menjadi biang keladi dan menyalakan api perang saudara yang dimulai oleh pembangkangan Mu'awiyah dan penolakannya untuk mengakui Ali sebagai khalifah dan imam. Jadi, mereka inilah yang bagaikan kayu bakar menyalakan apinya hingga jadi besar dan menggejalak.

Bagaimanapun gentingnya pertikaian ini, mestinya dapat diselesaikan dengan jalan damai, andai saja persoalan tersebut berada dalam kendali kaum muslimin generasi awal. Namun, perselisihan tersebut meruncing karena jatuh ke tangan tokoh-tokoh kotor yang tidak peduli terhadap nasib Islam hingga api kian menyala dan tambah berkobar.

Berita tewasnya Ammar segera tersebar dan "ramalan" Rasulullah yang didengar oleh semua sahabatnya ketika mereka sedang membangun masjid di Madinah pada masa yang telah jauh sebelumnya, berpindah dari mulut ke mulut, "Aduhai Ibnu Sumayyah, la akan dibunuh oleh golongan yang melampaui batas." Dengan demikian, sekarang orang-orang tahu siapa kiranya golongan yang melampaui batas itu, yaitu golongan yang membunuh Ammar, yang tidak lain dari pihak Mu'awiyah.

Dengan kematian Ammar tersebut, keimanan para pengikut Ali semakin bertambah, sedangkan di pihak Mu'awiyah keraguan mulai menyusup ke dalam hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia hendak memisahkan diri dan bergabung ke pihak Ali. Mu'awiyah sendiri ketika mendengar peristiwa yang telah terjadi, ia segera keluar mendapatkan orang-orang dan menyatakan kepada mereka bahwa ramalan itu benar adanya, dan Rasulullah benar-benar telah meramalkan bahwa Ammar akan dibunuh oleh golongan pemberontak. Tetapi, siapakah yang telah membunuhnya itu?

Kepada orang-orang di sekelilingnya, ia berseru. "Yang telah membunuh Ammar ialah orang-orang yang keluar bersama dari rumahnya dan membawanya pergi berperang." Takwil yang dicari-cari ini berhasil mengelabui orang-orang yang memendam maksud tertentu dalam hatinya, sehingga pertempuran kembali berkobar sampai saat yang telah ditentukan.

Adapun Ammar, la dipangku oleh Ali ke tempat ia menshalatkannya bersama kaum muslimin, lalu dimakamkan dengan pakaiannya. Ia dimakamkan dengan pakaian yang dilumuri oleh darahnya yang bersih suci, sebab tidak satu pun kain sutera atau beludru dunia yang layak untuk menjadi kain kafan bagi seorang syahid mulia, seorang yang suci dan utama setingkat Ammar.

Kaum muslimin pun berdiri di kuburnya dengan penuh ketakjuban. Beberapa saat yang lalu, Ammar berdendang di depan mereka di medan perang, hatinya penuh dengan kegembiraan. Bagai seorang perantau yang merindukan kampung halaman, sedang dalam perjalanan pulang, mulutnya melambaikan seruan, “Hari ini aku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta; dengan Muhammad dan para sahabatnya."

Apakah Rasulullah dan para sahabat memang sudah mempunyai satu hari yang mereka janjikan untuk bertemu dengan Ammar dan tempat berjumpa yang ditunggu tunggu? Para sahabat saling bertanya, "Apakah engkau masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasulullah dan tiba-tiba wajah beliau berseri-seri lalu bersabda. 'Surga telah merindukan Ammar?” Teman bicaranya menjawab, “Benar, dan waktu itu beliau juga menyebutkan beberapa nama lain, di antaranya Ali, Salman, dan Bilal."³ (lihat catatan kaki ke 3, -peny. )

Ini berarti surga benar-benar telah merindukan Ammar. Bila demikian, berarti surga telah lama merindukannya, hanya saja kerinduannya tertangguhkan karena Ammar masih harus menyelesaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya.

Kini tugas itu telah dilaksanakannya dan dipenuhinya dengan hati gembira. Jadi, sekarang sudah sepantasnya ia memenuhi panggilan kerinduan yang memanggil dari haribaan surga. Kini telah tiba waktu bagi Ammar untuk mengabulkan panggilan itu, karena tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. Ia melemparkan tombaknya, dan setelah itu ia pergi berlalu. Ketika tanah pusaranya didatarkan oleh para sahabat di atas jasadnya, ruhnya yang mulia telah bersemayam di tempat bahagia, jauh di sana di dalam surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menanti.“

______
Catatan kaki:

1. [Al Khurasyi berkata]: Salah satu ungkapan Khalid (penulis buku) adalah:
"Mu’awiyah bangkit melawan khalifah yang baru, Ali Karamallahu wajhah  (semoga Allah memuliakan wajahnya) untuk menuntut haknya dalam urusan baiat dan khilafah.”

Alangkah baiknya jika menggunakan ungkapan Radhiyallahu 'anhu (semoga Allah meridhainya) seperti yang biasanya berlaku untuk sahabat yang lain. Ungkapan "Karamallahu wajhah" ialah ungkapan Syiah Rafidhah yang disusupkan ke dalam Ahlus Sunnah. Lihat: Mu'jam Al-Manahi, Syaikh Bakar Abu Zaid, hlm. 454).

Saya (Al Khurasyi) katakan: ini merupakan kedustaan terhadap Mu'awiyah karena ia melawan Ali dalam perkara penyerahan urusan pembunuhan terhadap Utsman --seperti telah diketahui-- dan urusan kekhalifahan tidak terlintas di dalam benaknya kecuali setelah Ali gugur syahid.

Syaikhul Islam mengatakan, 'Mu'awiyah tidak merebut kekuasaan dan ia tidaklah dibaiat untuk menjadi khalifah ketika Ali gugur. Ia juga tidak memerangi Ali karena Ali telah menjadi Khalifah. Mu'awiyah juga tidak merasa dirinya lebih berhak atas kekhlalifahan itu. Orang-orang di pihaknya mengakui hal ini pada diri Mu'awiyah dan ia sendiri pun mengakuinya setiap ada orang yang menanyakan kepada dirinya.” (Footnote no. 11) (Al-Khurasyi)

_____

2. [Al Khurasyi berkata]: Khalid (penulis buku) menyerang Daulah Bani Umayah, yang berinduk kepada seorang shahabat --yaitu Abu Sufyan-- dengan ungkapannya ini. Saya katakan, Rasulullah dan para shahabat tidak memerangi Bani Umayah saja seperti klaim Khalid, tetapi memerangi seluruh kaum kafir Quraisy, baik Bani Umayyah maupun lainnya. Bahkan, sejumlah besar Bani Hasyim ada di barisan depan pasukan musyrikin. Mengapa hanya dikhususkan kepada mereka, sedangkan yang lain tidak? Ataukah ini merupakan dusta yang dibuat-buat dan bentuk ketidakadilan terhadap Bani Umayyah?

Contoh kebohongan ini ialah apa yang dilakukan oleh Al-Maqrizi dalam bukunya At-Tahakum fi Ma Baina Bani Umayyah wa Bani Hasyim minat Takhashum, karena ia telah menyampaikan tuduhan tanpa dasar, ketika ia mengklaim bahwa telah terjadi permusuhan berat antara dua kelompok ini pada masa jahiliah, kemudian terus berlanjut ketika kedua kelompok berada di bawah naungan Islam. lni adalah kepalsuan yang tidak ada dasarnya selain obsesi dan dugaan belaka. lni merupakan tindakan yang meniru hawa nafsu dan obsesi Rafidhah yang selalu membesar-besarkan perkara dan tidak menggambarkan apa adanya, dengan alasan untuk membela Ahli Bait.

Allah Ta'a a berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekaIi-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (AI-Maidah: 8)

Bani Umayyah --meskipun sebagian penguasa dari keluarga mereka melakukan beberapa kesalahan dan tindakan berlebihan-- tetap lebih baik daripada para penguasa setelah mereka dari kalangan Bani Abbas dan orang-orang semacamnya. Pasalnya, para penguasa dari kalangan Bani Umayyah masih menjaga kesucian Islam yang utama, menyebarkannya ke penjuru dunia, menjadikannya sebagai kabar gembira di banyak negara, dan bangsa Arab menjadi mulia dalam majelis-majelis mereka. Mereka tidak menjerumuskan rakyat ke dalam bahaya maupun memasukkan mereka ke dalam doktrin-doktrin ateis dan zindik yang dikemas dengan terjemahan ilmu filsafat yang menjadi fitnah (ujian) bagi selain mereka.

Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf Al-lsy, mereka --meskipun kesalahan-kesalahannya tidak dipungkiri-- adalah Muslim, yang berkeinginan menyebarkan Islam hingga ke wilayah terjauh. Mereka menegakkan jihad dengan sebaik-baiknya dan mengirimkan pasukan perang ke banyak negeri....' (Ad-Daulah AI-Umawiyyah, hlm. 324).

Lebih jelasnya, silakan periksa catatan Muhibbuddin Al-Khatib Rahimahullah terhadap kitab Al 'Awashim karya Ibnul Arabi (hlm. I79) yang menjelaskan penyebab terjadinya distorsi sejarah Bani Umayah. (Al-Khurasyi)

______

3. [Al Khurasyi berkata]: Lihat penjelasan tentang kelemahan hadits ini di Al-Ilal Al-Muntanahiyyah, Ibnul Jauzi: I/283, dan Al-Ahadits Adh-Dha'ifah, Al-Albani (2328) (Al-Khurasyi)

Ammar bin Yasir Seorang Tokoh Penghuni Surga_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 21)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Seandainya ada orang yang dilahirkan di Surga dan dibesarkan dalam buaiannya hingga dewasa, lalu dikeluarkan ke dunia sebagai hiasan dan cahayanya, Ammar beserta ibunya Sumayyah dan Ayahnya, Yasir adalah beberapa orang di antara mereka. Namun, mengapa kita mengatakan "seandainya" dan mengumpamakan seperti itu, padahal keluarga Yasir benar-benar penduduk surga?

Ketika itu, Rasulullah bersabda, "Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah surga". Sabda beliau tersebut bukan hanya sebagai hiburan belaka, melainkan pengakuan atas kenyataan yang bisa dilihat dan menguatkan fakta yang disaksikan.

Ayahanda Ammar, Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya. Rupanya ia merasa kerasan dan cocok tinggal di Mekkah. Akhirnya ia bermukim di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah bin Al Mughirah. Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang budaknya yang bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari perkawinan yang penuh berkah ini, kedua suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.

Mereka masuk Islam lebih awal dan masuk dalam barisan orang-orang berbakti yang diberi petunjuk oleh Allah. Sebagai keniscayaan bagi orang-orang berbakti golongan awal yang masuk Islam, mereka pun harus menderita karena siksa dan kekejaman kaum kafir Quraisy.

Orang-orang Quraisy selalu mencari cari jalan agar kaum muslimin ditimpa kebinasaan. Seandainya orang yang beriman itu dari kalangan bangsawan dan berpengaruh, mereka menghadapinya dengan ancaman dan genakan. Salah satunya adalah Abu Jahal yang menggertak sebagian kaum muslimin dengan ungkapan “Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu, padahal mereka lebih baik daripada dirimu
 Kami akan menguji sampai di mana ketabahanmu. Kami akan menjatuhkan kehormatanmu, merusak perniagaanmu, dan memusnahkan harta bendamu!”

Setelah itu, mereka melancarkan perang urat syaraf yang sangat sengit terhadap korban mereka. Namun, bila yang beriman itu dari kalangan penduduk Mekkah yang rendah martabatnya dan miskin, atau dari golongan budak, mereka mencambuk dan menyundut yang bersangkutan dengan api.

Keluarga Yasir termasuk ke dalam golongan yang kedua tersebut. Penyiksaan terhadap mereka diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah, dan Ammar dibawa ke padang pasir Mekkah yang sangat panas, lalu disiksa dengan berbagai bentuk kekejaman.

Penderitaan yang harus dialami oleh Sumayyah sangat memilukan, tetapi tidak akan kita uraikan secara luas sekarang ini. Pada kesempatan lain, insyaAllah kami akan menuturkan pengorbanan dan keteguhan hati yang ditunjukkan oleh Sumayyah bersama rekan-rekan seperjuangannya pada hari-hari yang bersejarah itu.

Cukuplah kita sebutkan sekarang-tanpa berlebih lebihan-bahwa Sumayyah yang gugur syahid itu telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh. Sejak awal hingga akhir, ia telah membuktikan kepada manusia suatu kemuliaan yang tidak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tidak pernah luntur. Suatu sikap yang telah menjadikannya sebagai seorang bunda kandung bagi orang-orang beriman setiap zaman, dan bagi orang-orang mulia sepanjang masa.

Rasulullah tidak lupa mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai ladang penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri. Hal itu memang telah menjadi kehendak Allah.

Agama baru, yakni agama Nabi Ibrahim yang lurus dan panji-panjinya hendak dikibarkan oleh Muhammad itu, bukanlah suatu gerakan reformaai dadakan dan temporer semata, melainkan suatu pedoman hidup bagi manusia beriman. Manusia beriman ini pun harus mewarisi agama itu beserta sejarahnya yang lengkap dengan kepahlawanan, perjuangan, dan pengorbanan.

Pengorbanan mulia yang luar biasa ini ibarat beton yang menguatkan agama dan akidah hingga menjadi keteguhan yang tidak akan pernah lapuk dan kekekalan yang tidak pernah usang. Ia juga menjadi teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggaan, dan kasih sayang. Ia adalah mercusuar yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat, kebenaran, dan kebesaran agama. Jadi, memang harus ada korban dan pengorbanan dalam agama Islam.

Makna ini telah dijelaskan oleh Al Qur'an kepada kaum muslimin, bukan hanya pada satu atau dua ayat. Allah berfirman:

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah beriman' dan mereka tidak diuji? " (Al-‘Ankabut: 2)

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Ali 'Imran: 142)

"Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (Al-'Ankabut: 3)

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu?" (At-Taubah: 16)

"Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang baik." (Ali 'Imran: 179)

_"Dan apa yang menimpa kamu ketika terjadi pertemuan ( pertempuran) antara dua pasukan itu adalah dengan izin Allah, dan agar Allah menguji siapa orang yang benar-benar beriman."& (Ali 'Imran: 166)

Seperti itulah Al Qur'an mendidik putra dan para pendukungnya bahwa pengorbanan merupakan esensi dan inti keimanan, dan bahwa kepahlawanan menghadapi kekejaman dan kekerasan dihadapi dengan kesabaran, keteguhan, dan pantang mundur, niscaya membentuk keutamaan iman yang cemerlang dan mengagumkan. Karena itu, saat sedang meletakkan dasar, memancangkan tiang, dan mengemukakan model panutan, agama Allah ini memperkokoh diri dengan pengorbanan dan membersihkan jiwa dengan tebusan, maka untuk kepentingan mulia ini terpilihlah beberapa orang putra, para pemuka, dan tokoh-tokoh utamanya untuk menjadi panutan sempurna serta teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang menyusul kemudian.

Sumayyah, Yasir, dan Ammar masuk dalam golongan yang diberkahi ini, menjadi orang terpilih dalam agama ini untuk memberikan pengorbanan, ketekunan dan keuletan sebagai pengisi lembaran kebesaran dan keabadian Islam. Sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa setiap hari Rasulullah berkunjung ke tempat penyiksaan keluarga Yasir, mengagumi ketabahan dan kepahlawanannya, sementara hati beliau yang mulia bagaikan hancur karena rasa kasihan saat menyaksikan mereka menerima siksa di luar batas kemanusiaan.

Suatu hari, ketika Rasulullah mengunjungi mereka, Ammar memanggilnya. “Wahai Rasulullah, siksa yang kami derita telah mencapai puncaknya." Rasulullah pun bersabda, "Bersabarlah, wahai Abu Al Yaqzhan. Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga."

Siksaan yang dialami oleh Ammar dilukiskan oleh para sahabat dalam beberapa riwayat. Amr bin Al Hakam menuturkan, “Ammar disiksa hingga tidak menyadari apa yang diucapkannya." Sementara Amr bin Maimun mengatakan, "Orang-orang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Rasulullah lewat di tempatnya lalu memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda, 'Wahai api, mendinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ammar, sebagaimana dulu kamu mendingin dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim'."

Meski sebesar itu siksaan yang dialami, Ammar tetap tidak berubah. Ia tetap teguh meski derita telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Puncak siksaan yang membuatnya benar-benar seperti binasa adalah ketika suatu hari tukang-tukang cambuk dan para algojo menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya. Mereka membakamya dengan besi panas. menyalibnya di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan mereka menenggelamkan ke dalam air hingga sulit bernafas dan kulitnya yang penuh dengan luka mengelupas.

Pada hari tersebut, ia telah tidak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat dan saat itulah orang-orang Quraisy mengatakan kepadanya, "Pujalah olehmu Tuhan-Tuhan kami!" Kemudian, mereka pun menuntunnya untuk mengucapkan kata-kata pujaan itu, sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.

Ketika ia siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar atas apa yang telah diucapkannya. Hatinya gundah dan terbayang di ruang matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, yang tidak dapat ditebus dan diampuni lagi. Saat itu juga ia dihantui oleh perasaan bersalah yang lebih menyiksa dirinya daripada siksaan yang ia terima dari orang-orang musyrik sebelumnya karena siksaan mereka itu tidak lebih daripada kenikmatan. Seandainya ia dibiarkan dalam tekanan perasaan berdosa itu beberapa jam saja, rasa bersalah itu niscaya akan membawa ajalnya.

Ammar dapat bertahan menanggungkan semua siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, karena jiwanya sedang berada pada kondisi puncak keimanan. Namun, sekarang ini, jiwanya yang merasa telah menyerah kalah, duka cita dan kekecewaannya hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan nyawanya. Tetapi, kehendak Allah Yang Maha-agung lagi Mahatinggi telah memutuskan agar peristiwa mengharukan itu berkesudahan dengan akhir yang sangat luhur. '

Tangan wahyu yang penuh berkah pun menjabat tangan Ammar, dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya, “Bangunlah, wahai pahlawan, tidak ada penyesalan atasmu dan tidak ada cacat." Ketika Rasulullah menemui sahabatnya itu sedang dalam kondisi menangis, beliau mengusap air mata itu dengan tangan beliau seraya bersabda, “'Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?"

“Benar, wahai Rasulullah,” jawab Ammar sambil meratap.

Rasulullah bersabda sambil tersenyum, “Jika mereka memaksamu lagi, tidak mengapa engkau mengucapkan seperti apa yang engkau katakan tadi." Setelah itu Rasulullah membacakan kepadanya ayat mulia:

"Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa)," (QS. An-Nahl: 106)

Ammar kembali diliputi oleh ketenangan. Siksaan yang menimpa tubuhnya bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa juga yang akan terjadi terjadilah. Ia tidak akan peduli. Hatinya berbahagia, keimanannya di pihak yang menang. Ucapan yang dikeluarkan secara terpaksa itu dijamin bebas oleh Al Qur'an, sehingga tidak ada lagi yang perlu dirisaukan.

Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa. hingga orang-orung yang menyiksanya merasa lelah dan bosan. Mereka bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang sangat kokoh.

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, kaum muslimin tinggal bersama beliau di sana dan tidak lama kemudian masyarakat lslam terbentuk dan barisan mereka menjadi sempurna. Di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini, Ammar mendapatkan kedudukan yang tinggi. Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan Ammar kepada para sahabat. Rasulullah bersabda, "Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang punggungnya…"

Ketika terjadi perselisihan antara Khalid bin Al-Walid dan Ammar, Rasulullah bersabda, "Siapa yang memusuhi Ammar, ia akan dimusuhi Allah, dan siapa yang membenci Ammar, ia akan dibenci Allah.” Tidak ada pilihan bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain segera mendatangi Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta maaf.

Ketika Rasulullah bersama para sahabat mendirikan masjid di Madinah, yakni pada awal hijrah beliau ke sana, Ali menggubah sebuah bait syair yang didendangkan berulang-ulang dan diikuti oleh kaum muslimin yang sedang bekerja itu:

“Orang yang memakmurkan masjid nilainya tidak sama. Selalu bekerja dalam keadaan duduk maupun berdiri. Sedangkan pemalas lari menghindar tertidur di sana."

Waktu itu Ammar sedang bekerja di salah satu sisi bangunan. Ia juga turut berdendang dan mengulang-ulang bait syair itu dengan nada tinggi. Salah seorang menyangka bahwa Ammar bermaksud menonjolkan dirinya dengan nyanyian itu, hingga di antara mereka terjadi pertengkaran dan keluar kata-kata yang menunjukkan kemarahan. Mendengar itu Rasulullah murka, lalu bersabda, "Apa maksud mereka terhadap Ammar? Ia menyeru mereka ke surga, sedangkan mereka hendak mengajaknya ke neraka. Sungguh, Ammar tak ubahnya seperti diriku sendiri."

Jika Rasulullah telah menyatakan perasaan sayangnya terhadap seorang muslim demikian rupa, dapat dipastikan keimanan, kecintaan dan jasa orang itu terhadap Islam. Kebesaran jiwa, ketulusan hati, serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan.

Demikian halnya Ammar. Berkat nikmat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Berkat tingkatan petunjuk dan keyakinan yang telah dicapainya itu, Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai teladan bagi para sahabat. Beliau bersabda, “Ikutilah Abu Bakar dan Umar setelah kematianku nanti, dan ambillah petunjuk Ammar sebagai pelajaran."

Mengenai perawakannya, para ahli riwayat melukiskan bahwa ia bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya yang biru. Ia sangat pendiam dan tidak suka banyak bicara. Bagaimanakah sebenarnya kehidupan seorang pendiam yang bermata biru dan berdada lebar, serta tubuhnya penuh dengan bekas-bekas siksaan kejam ini, dan pada waktu yang bersamaan jiwanya telah ditempa dengan ketabahan yang sangat mengagumkan dan kebesaran yang luar biasa? Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh pengikut yang jujur, mukmin yang tulus, serta pejuang yang berani mati ini?

Ammar telah berjuang bersama Rasulullah yang merupakan gurunya dalam semua perjuangan bersenjata, baik Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk, maupun pertempuran lainnya. Ketika Rasulullah telah mendahuluinya untuk pergi ke Ar-Rafiq Al A'la, sosok berjiwa besar ' ini tetap melanjutkan perjuangannya. Saat kaum muslimin berhadap-hadapan dengan kaum Persia dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad, Ammar selalu berada di barisan pertama, sebagai seorang prajurit yang gagah perkasa dengan tebasan pedangnya yang tidak pernah meleset. Sebagai seorang mukmin yang saleh dan mulia, tidak seorang pun dapat menghalanginya dalam mencapai ridha Allah.

Ketika Amirul Mukminin Umar memilih calon-calon pemimpin kaum muslimin di beberapa negeri secara cermat dan hati-hati, mata Umar tertuju dan tidak ingin beralih dari Ammar bin Yasir. Ia segera menemui dan mengangkatnya sebagai wali negeri Kufah dengan Ibnu Mas'ud sebagai pengelola Baitul Mal. Umar menulis sepucuk surat berisi berita gembira kepada penduduk Kufah atas pengangkatan pemimpin negeri baru itu. Umar mengatakan, “Saya mengirimkan kepada kalian Ammar bin Yasir sebagai gubernur, dan Ibnu Mas'ud sebagai guru dan penasihat. Mereka berdua adalah orang pilihan dari golongan sahabat Muhammad dan termasuk pahlawan Badar."

Dalam melaksanakan pemerintahan, Ammar menerapkan regulasi yang rupanya tidak dapat ditembus oleh orang-orang yang rakus terhadap dunia, hingga mereka mengadakan atau hampir mengadakan persekongkolan terhadap dirinya. Pangkat dan jabatannya itu tidak menambah, kecuali kesalehan, kezuhudan, dan kerendahan hatinya. Salah seorang yang hidup semasa dengannya di Kufah, Ibnu Abil Hudzail menuturkan, “Saya melihat Ammar bin Yasir, kala menjadi gubernur di Kufah, membeli sayuran di pasar, lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, kemudian membawanya pulang.”

Salah seorang dari kalangan awam berkata kepadanya sewaktu ia menjadi gubernur di Kufah, "Wahai orang yang telinganya terpotong!” Ia menghinanya dengan menyebut telinga yang putus ketika menghadapi orang-orang murtad di pertempuran Yamamah. Namun, jawaban gubernur yang memegang tampuk kekuasaan itu tidak lebih dari ungkapan. “Engkau telah menghina telingaku yang terbaik, karena ia ditimpa musibah waktu perang di jalan Allah." Telinga Ammar memang putus dalam Perang Yamamah, yang merupakan salah satu di antara hari-hari gemilang bagi Ammar. Sosok berjiwa besar ini maju bagaikan angin topan dan menyerbu barisan tentara Musailamah Al-Kadzdzab hingga mampu melumpuhkan kekuatan musuh.

Ketika ia melihat gerakan kaum muslimin mengendur, ia segera membangkitkan semangat mereka dengan seruannya yang lantang, hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Abdullah bin Umar yang menceritakan peristiwa itu menuturkan, “Pada Perang Yamamah, aku melihat Ammar sedang berada di atas sebuah batu karang. Ia berdiri sambil berseru, 'Wahai kaum muslimin, apakah kalian hendak lari dari surga? Inilah saya Ammar bin Yasir, kemarilah kalian!' Ketika aku melihat dan memperhatikannya, ternyata salah satu telinganya telah putus berayun-ayun, sedangkan ia berperang dengan sangat sengitnya."

Orang yang masih meragukan kebesaran Muhammad, seorang Rasul yang benar dan guru yang sempurna, hendaknya berdiri sejenak di hadapan contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh para pengikut dan sahabatnya, lalu bertanya kepada dirinya, “Siapakah yang mampu melahirkan teladan dan contoh luhur ini kalau bukan seorang utusan yang mulia dan guru yang agung?" Jika mereka terjun ke suatu medan perjuangan di jalan Allah, mereka pasti maju ke depan bagaikan orang yang hendak mencari kematian, dan bukan bertarung karena menginginkan kemenangan.

Jika mereka menjadi khalifah dan hakim pengadilan, mereka tidak akan keberatan memerahkan susu untuk wanita janda tua atau membuat adonan tepung roti untuk anak-anak yatim, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar. Jika mereka menjadi pembesar, mereka tidak akan malu dan merasa segan untuk memikul makanan yang diikat dengan tali di atas punggung mereka, seperti yang kita saksikan pada Ammar. Mereka juga tidak akan ragu untuk menyerahkan gaji yang menjadi haknya lalu pergi untuk membuat bakul dari anyaman daun kurma, seperti yang dilakukan oleh Salman.

Mari kita merenung dan menundukkan kepala, sebagai penghargaan dan penghormatan untuk agama yang telah mengajari mereka semua, dan untuk Rasulullah yang telah mendidik mereka. Dan sebelum perhelatan untuk agama serta Rasulullah itu, persembahkanlah pujian kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung yang telah memilih mereka untuk semua ini, serta menjadikan mereka sebagai pelopor dan sebaik-baik umat yang pernah dilahirkan untuk menjadi teladan bagi seluruh manusia.

Ketika itu Hudzaifah bin Al-Yaman yang ahli tentang bahasa hati dan bisikan nurani itu sedang berkemas-kemas untuk menghadapi panggilan ilahi dan menghadapi sekarat mautnya. Rekan-rekannya yang sedang berkumpul sekelilingnya menanyakan kepadanya, "Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara umat?” Sambil mengucapkan kata-kata terakhir, Hudzaifah menjawab, “Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah, karena sampai matinya ia tidak hendak berpisah dengan kebenaran."

Abdullah bin Mas'ud Orang Pertama yang Mengumandangkan Al-Qur'an dengan Suara Merdu_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 19)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Sebelum Rasulullah masuk ke rumah Al Arqam, Abdullah bin Mas'ud telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah. Dengan demikian, ia termasuk golongan pertama yang masuk Islam. Awal pertemuannya dengan Rasulullah diceritakan olehnya sebagai berikut:

"Ketika itu saya masih remaja, menggembalakan kambing kepunyaan Uqbah bin Abu Mu'ith. Tiba-tiba, Nabi datang bersama Abu Bakar. Beliau bertanya, “Nak, apakah kamu punya susu untuk minuman kami?"

“Aku ini orang kepercayaan. Aku tidak dapat memberikan minuman kepada kalian," jawabku.

Nabi bersabda, "Apakah engkau mempunyai kambing betina mandul yang belum pernah dikawini oleh pejantan?"

Aku menjawab, “Ada," maka aku pun mengajak mereka berdua ke tempat kambing tersebut.

Kambing itu diikat kakinya oleh Nabi lalu diusap susunya sambil memohon kepada Allah. Tiba-tiba susu itu berisi banyak. Kemudian Abu Bakar mengambilkan sebuah batu cembung yang digunakan Nabi untuk menampung perahan susu.

Setelah itu, Abu Bakar pun minum, dan saya pun tidak ketinggalan. Lalu Nabi bersabda kepada susu, "Kempislah!" dan susu itu pun menjadi kempis.

Setelah peristiwa itu saya datang menjumpai Nabi. Aku berkata, “Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebut."

Nabi bersabda, "Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar."

Alangkah heran dan takjubnya Ibnu Mas'ud ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang saleh dan utusan-Nya yang dipercaya memohon kepada Rabb-nya, sambil mengusap susu hewan yang belum pernah berisi selama ini, tiba-tiba mengeluarkan karunia dan rezeki dari Allah berupa susu murni yang enak untuk diminum.

Saat itu ia belum menyadari bahwa peristiwa yang disaksikan itu hanyalah merupakan mukjizat paling ringan dan belum menggemparkan, dan bahwa tidak berapa lama lagi dari Rasulullah yang mulia ini akan disaksikannya mukjizat yang akan mengguncangkan dunia dan memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya. Saat itu juga belum diketahuinya, bahwa dirinya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi miskin, yang menerima upah sebagai penggembala kambing milik Uqbah bin Abu Mu'ith, dan akan muncul sebagai salah satu dari mukjizat ini, yang setelah ditempa oleh islam menjadi seorang beriman, akan mengalahkan kesombongan orang-orang Quraisy dan menaklukkan kesewenangan para pemukanya.

Dirinya, yang selama ini tidak berani lewat di hadapan salah seorang pembesar Quraisy kecuali dengan menundukkan kepala dan langkah tergesa-gesa karena takut, suatu saat nanti setelah masuk Islam, tampil di depan majelis para bangsawan di sisi Ka'bah, sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk berkumpul, lalu berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan perhatian, berisikan wahyu Ilahi, Al-Qur'an yang mulia:

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

(Allah) Yang Maha Pengasih. Yang telah mengajarkan Al-Qur'an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya)." (QS. Ar-Rahman: 1-6)

Ia terus membaca, sementara para pemuka Quraisy terpesona. Seolah-olah tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka. Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka, tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan penggembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraisy. Dialah Abdullah bin Mas'ud, seorang miskin yang tidak diperhitungkan sebelumnya.

Marilah kita dengar keterangan dari saksi mata yang akan melukiskan peristiwa yang sangat menarik dan menakjubkan itu. Orang itu tiada lain adalah Az-Zubair. Ia menuturkan, "Orang pertama yang membaca Al-Qur'an di Mekkah setelah Rasulullah ialah Abdullah bin Mas'ud. Suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul. Mereka berkata, ”Demi Allah, orang-orang Quraisy belum mendengar sedikit pun Al-Qur'an ini dibaca dengan suara keras di hadapan mereka. Nah, siapa di antara kita yang bersedia memperdengarkannya kepada mereka?

Ibnu Mas'ud berkata, 'Saya.'

Mereka menanggapi, ‘Kami khawatir akan keselamatan dirimu. Yang kami inginkan ialah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat, yang akan membelanya dari orang-orang itu jika mereka bermaksud jahat.”

'Biarkanlah saya, Allah pasti membela,' kata lbnu Mas'ud.

Dia pun mendatangi kaum Quraisy pada waktu Dhuha, yakni ketika mereka sedang berada di balai pertemuannya. la berdiri di panggung lalu membaca basmalah dan dengan mengeraskan suaranya, ia membaca:

"(Allah) Yang Maha Pengasih. Yang telah mengajarkan Al-Qur’an." (Ar-Rahman: 1-2)

Ia meneruskan bacaan tersebut sambil menghadap kepada mereka. Mereka memperhatikannya sembari bertanya kepada sesama teman duduk, 'Apa yang dibaca oleh anak Ummu Abdin itu? Sungguh, yang dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Muhammad?

Mereka bangkit mendatangi dan memukulinya, sedangkan Ibnu Mas'ud meneruskan bacaannya sampai batas yang dikehendaki Allah.

Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak-belur ia kembali kepada para sahabat.

'Inilah yang kami khawatirkan terhadap dirimu,' kata mereka.

lbnu Mas'ud berkata, 'Sekarang ini tidak ada yang lebih mudah bagiku daripada menghadapi musuh-musuh Allah itu. Seandainya kalian menghendaki, aku akan mendatangi mereka lagi dan berbuat hal yang sama esok hari.'

Mereka berkata, ‘Cukup itu saja. Kamu telah membacakan kepada mereka sesuatu yang tabu bagi mereka.'

Ternyata benar, pada saat Ibnu Mas'ud tercengang melihat susu kambing tiba-tiba berisi sebelum waktunya, belum menyadari bahwa ia bersama rekan-rekan senasib dari golongan miskin akan menjadi salah satu mukjizat besar dari Rasulullah, yakni ketika mereka bangkit memanggul panji-panji Allah dan menguasai dengannya sinar matahari. Ia tidak menyadari bahwa saat itu telah dekat. Ternyata, secepat itu hari datang dan waktu telah menjelang, anak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta tiba-tiba menjadi suatu mukjizat di antara berbagai mukjizat Rasulullah.

Dalam kesibukan dan perpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan mata. Bahkan, di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak, tidak ada tempat baginya di kalangan hartawan, begitu pula di dalam lingkungan ksatria yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang berpengaruh.

Dalam soal harta, ia tidak punya apa-apa. Tentang perawakan, ia kecil dan kurus. Dalam soal pengaruh, derajatnya jauh di bawah. Tetapi, sebagai ganti dari kemiskinannya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan perolehan yang cukup dari perbendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, Allah menganugerahkan kemauan baja yang dapat menundukkan kekuatan dahsyat dan ikut mengambil bagian dalam mengubah jalan sejarah. Untuk mengimbangi nasibnya yang terlunta-lunta, Islam telah melimpahinya ilmu pengetahuan, kemuliaan serta ketetapan, yang menampilkannya sebagai salah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan.

Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan masa depan oleh Rasulullah ketika beliau mengatakan kepadanya, “Kamu akan menjadi seorang pemuda terpelajar." Ia telah diberi pelajaran oleh Rabbnya hingga menjadi fakih atau ahli hukum ummat Muhammad, dan tulang punggung para penghafal Al-Qur'an yang mulia.

Mengenai dirinya ia pernah mengatakan, "Saya telah menghafal 70 surat Al Qur'an yang kudengar langsung dari Rasulullah dan tiada seorang pun yang menyaingiku dalam hal ini."

Allah Memberinya Anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam mengumandangkan Al Qur'an secara terang-terangan dan menyebarluaskannya di segenap pelosok Mekkah di saat siksaan dan penindasan merajalela. Buktinya Allah menganugerahkan kepadanya bakat istimewa dalam membawakan bacaan Al Qur'an dan kemampuan luar biasa dalam memahami arti dan maksudnya.

Rasulullah telah memberi wasiat kepada para sahabat agar mengambil Ibnu Mas'ud sebagai teladan. Beliau bersabda, "Berpegang teguhlah kepada ilmu yang diberikan oleh Ibnu Ummi Abdin." Beliau juga mewasiatkan agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari cara membaca Al Qur'an darinya, seperti sabda beliau, “Barang siapa yang ingin mendengar Al-Qur'an tepat seperti diturunkan, hendaklah ia mendengarkannya dari Ibnu Ummi Abdin. Barang siapa yang ingin membaca Al-Qur'an tepat seperti diturunkan, hendaklah ia membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi Abdin."

Sejak lama, Rasulullah menyukai bacaan Al-Qur'an dari lisan Ibnu Mas'ud. Suatu hari ia memanggilnya dan bersabda, “Bacakanlah kepadaku, wahai Abdullah!"

Ibnu Mas'ud menjawab, "Pantaskah bila saya membacakannya kepada Anda, wahai Rasulullah?"

Rasulullah menjawab, "Saya ingin mendengarnya dari lisan orang lain." Maka Ibnu Mas'ud pun membacakan untuk Rasulullah dimulai dari surat An-Nisa' sampai pada firman Allah Ta'ala:

"Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka. Pada hari itu, orang yang kafir dan orang yang mendurhakai Rasul (Muhammad), berharap sekiranya mereka diratakan dengan tanah (dikubur atau hancur luluh menjadi tanah), padahal mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu kejadian apapun dari Allah." (QS. An-Nisa': 41-42)

Rasulullah tidak dapat manahan tangisnya. Air mata beliau menetes dan memberi isyarat kepada Ibnu Mas'ud dengan tangan agar menghentikan bacaan, sembari bersabda, “Cukup, berhentilah, wahai Ibnu Mas'ud!"

Suatu ketika Ibnu Mas'ud menyebut-nyebut karunia Allah yang dianugerahkan kepadanya, dengan mengatakan, “Tidak suatu pun dari Al Qur'an itu yang diturunkan, kecuali aku mengetahui pada peristiwa apa itu diturunkan. Tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripada diriku. Sekiranya aku tahu ada seseorang yang dapat dicapai dengan berkendaraan unta dan ia lebih tahu tentang Kitab Allah daripada diriku, aku pasti akan menemuinya. Tetapi, aku bukanlah yang terbaik di antara kalian."

Keistimewaan Ibnu Mas'ud ini telah diakui oleh para sahabat. Amirul Mukminin Umar berkata mengenai dirinya, "Sungguh, ilmunya tentang fikih sangat luas.“ Abu Musa Al-Asy'ari mengatakan, “Jangan tanyakan kepada kami sesuatu masalah, selama orang ini berada di antara kalian.”

Bukan hanya keunggulannya dalam Al-Qur'an dan ilmu fikih saja yang patut dapat pujian, melainkan juga keunggulannya dalam kesalehan dan ketakwaan. Hudzaifah menuturkan tentang dirinya, “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih mirip dengan Rasulullah, baik dalam cara hidup, perilaku, dan ketenangan jiwa, daripada Ibnu Mas'ud. Semua sahabat Rasulullah yang terkenal mengetahui bahwa Ibnu Ummi Abdin adalah sosok yang paling dekat kepada Allah."

Suatu hari sejumlah sahabat berkumpul bersama Ali, lalu mereka berkata kepadanya. “Wahai Amirul Mukminin, kami tidak melihat orang yang lebih berbudi pekerti, lebih lemah-lembut dalam mengajar, lebih baik pergaulannya, dan lebih saleh daripada Abdullah bin Mas'ud."

Ali menjawab, “Saya minta kalian bersaksi kepada Allah, apakah ini betul-betul tulus dari hati kalian?"

Mereka menjawab, “Benar.”

Ali berkata lagi, “Ya Allah, saya mohon Engkau menjadi saksinya, bahwa saya berpendapat mengenai dirinya seperti apa yang mereka katakan itu, atau lebih baik lagi. Ibnu Mas'ud telah membaca Al-Qur'an, lalu menghalalkan barang yang halal dan mengharamkan barang yang haram. Ia adalah orang yang ahli dalam soal keagamaan dan luas ilmunya tentang sunnah.”

Suatu ketika para sahabat memperbincangkan sosok Abdullah bin Mas'ud. Mereka berkata, "Sungguh, saat kita terhalang, ia diberi restu; ketika kita bepergian, ia tinggal bersama Rasulullah." Maksud mereka ialah bahwa Abdullah beruntung mendapat kesempatan berdekatan dengan Rasulullah yang merupakan keuntungan yang jarang didapat oleh orang lain. Ia lebih sering masuk ke rumah Rasulullah dan menjadi teman duduk beliau. Selain itu, ibnu Mas'ud merupakan orang yang dipercaya oleh Rasulullah untuk menyampaikan keluhan dan mempercayakan rahasia, hingga ia diberi gelar “Sahabat Kegelapan (Pemegang Rahasia)".

Abu Musa Al-Asy'ari mengatakan, “Setiap saya melihat Rasulullah, lbnu Mas'ud pasti berada di sisinya.” Ini terjadi karena Rasulullah sangat menyayanginya, terutama kesalehan dan kecerdasannya, di samping kebesaran jiwanya, hingga Rasulullah pernah bersabda mengenai dirinya, "Seandainya saya hendak mengangkat seseorang sebagai amir tanpa musyawarah dengan kaum muslimin, tentulah yang saya angkat itu Ibnu Ummi Abdin."

Sebelumnya, kami telah menyebutkan wasiat Rasulullah kepada para sahabatnya, “Berpegang teguhlah kepada ilmu Ibnu Ummi Abdin!" Rasa sayang dan kepercayaan dari Rasulullah terhadap dirinya yang sangat besar memungkinkannya untuk bergaul rapat dengan beliau, hingga ia mendapatkan hak yang tidak diberikan kepada orang lain. Rasulullah bersabda kepadanya, "Saya izinkan kamu bebas dari tabir."

Ini merupakan lampu hijau bagi lbnu Mas'ud untuk masuk rumah Rasulullah dan pintunya senantiasa terbuka baginya, siang dan malam. Inilah yang pernah dikatakan oleh para sahabat, “Ia diberi izin saat kita terhalang dan tinggal bersama Rasulullah ketika kita bepergian." Ibnu Mas'ud memang layak memperoleh keistimewaan ini. Sebab, walaupun kebebasan seperti itu akan memberikan keuntungan bagi Ibnu Mas'ud, pada kenyataannya ia justru bertambah khusyuk, hormat, dan santun.

Mungkin gambaran yang melukiskan akhlaknya secara tepat adalah sikapnya ketika menyampaikan hadits dari Rasulullah setelah beliau wafat. Walaupun ia jarang menyampaikan hadits dari Rasulullah, kita lihat setiap ia menggerakkan kedua bibirnya untuk mengatakan, "Saya mendengar Rasulullah menyampaikan hadits dan bersabda" tubuhnya gemetar hebat, dan ia tampak gugup dan gelisah. Sebab, ia merasa khawatir bila lupa, sehingga salah menaruh kata di tempat yang lain.

Marilah kita dengarkan rekan-rekannya menceritakan kenyataan ini. Amr bin Maimun menuturkan, “Saya bolak-balik ke rumah Abdullah bin Mas'ud dalam setahun lamanya. Dan selama itu tidak pernah saya dengar ia menyampaikan hadits dari Rasulullah, kecuali sebuah hadits yang disampaikannya suatu hari. Dari mulutnya mengalir ucapan, 'Rasulullah bersabda'. Tiba-tiba, ia terlihat gelisah hingga tampak keringat bercucuran dari keningnya. Kemudian ia mengulangi kata-kata tadi, 'Kira-kira seperti itulah yang disabdakan oleh Rasulullah.”

Alqamah bln Qais mengatakan, “Biasanya Abdullah bin Mas'ud berpidato setiap hari Kamis sore menyampaikan hadits. Saya tidak pernah mendengarnya mengucapkan, 'Rasulullah telah bersabda', kecuali satu kali saja. Saat itu saya lihat ia berpegangan pada tongkat, dan tongkatnya itu pun bergetar."

Masruq juga mengisahkan tentang Abdullah ini, “Suatu hari Ibnu Mas'ud menyampaikan sebuah hadits. Ia berkata, 'Saya mendengar Rasulullah...’ Tiba-tiba, tubuhnya gemetar, dan pakaiannya bergetar pula. Kemudian, ia berkata, “Atau kira-kira demikian atau kira-kira seperti itulah."

Itulah tingkat ketelitian, penghormatan, dan penghargaannya kepada Rasulullah. Ini merupakan bukti kecerdasannya yang selanjutnya menjadi bukti ketakwaannya. Orang yang lebih banyak bergaul dengan Rasulullah, penilaiannya terhadap kemuliaan Rasulullah lebih tepat. Itulah sebabnya adab sopan santunnya terhadap Rasulullah ketika beliau hidup, begitu pun kenangan kepada beliau setelah wafatnya, merupakan adab sopan santun satu-satunya dan tidak ada duanya.

Ibnu Mas'ud tidak ingin berpisah dari Rasulullah baik ketika beliau mukim maupun sedang bepergian. la telah turut mengambil bagian dalam setiap peperangan. Dan peranannya dalam Perang Badar meninggalkan kenangan yang tidak dapat dilupakan, yakni robohnya Abu Jahal oleh tebasan pedang kaum muslimin pada hari yang agung itu.

Para khalifah dan sahabat Rasulullah mengakui kedudukan lbnu Mas'ud ini, hingga ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai pengelola Baitul Mal di Kufah. Umar berpesan kepada penduduk Kufah ketika pengutusan Ibnu Mas'ud ke sana, “Demi Allah yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia, sungguh saya lebih mementingkan kalian daripada diriku. Karena itulah ambillah dan pelajarilah ilmu darinya."

Penduduk Kufah mencintai Ibnu Mas'ud karena mendapatkannya adalah anugerah yang belum pernah diperoleh orang-orang sebelumnya, atau belum ada orang yang setaraf dengannya. Sungguh, kebulatan penduduk Kufah untuk mencintai seseorang merupakan suatu hal yang mirip dengan mukjizat. Karena mereka biasanya suka menentang dan memberontak. Mereka tidak tahan menghadapi hidangan yang serupa dan tidak mampu hidup selalu dalam aman dan tenteram. Karena kecintaan mereka kepadanya sedemikian rupa, sampai-sampai mereka mengerumuni dan mendesaknya ketika ia hendak diberhentikan oleh Khalifah Utsman dari jabatannya. Mereka berkata, "Tetaplah Anda tinggal bersama kami di sini dan jangan pergi, dan kami bersedia membela Anda dari malapetaka yang akan menimpa Anda."

Tetapi, dengan kalimat yang menggambarkan kebesaran jiwa dan ketakwaannya, Ibnu Mas'ud menjawab, “Saya harus taat kepadanya, dan di belakang hari akan timbul peristiwa-peristiwa dan fitnah, dan saya tidak ingin menjadi orang yang mula-mula membukakan pintunya.”

Pendirian mulia dan terpuji ini mengungkapkan kepada kita hubungan Ibnu Mas'ud dengan Khalifah Utsman. Di antara mereka telah terjadi perdebatan dan perselisihan yang makin lama makin sengit, hingga gaji dan tunjangan pensiunnya tidak diberikan dari Baitul Mal. Walau demikian, tidak sepatah kata pun yang tidak baik keluar dari mulutnya mengenai Utsman. Bahkan ia berdiri sebagai pembela dan memperingatkan rakyat ketika ia melihat persekongkolan pada masa Utsman itu telah meningkat menjadi suatu pemberontakan.

Ketika ia mendengar berita tentang percobaan untuk membunuh Khalifah Utsman itu, keluarlah dari lisannya ucapan yang terkenal. "Bila mereka membunuhnya, tidak ada lagi orang sebanding dengannya yang akan mereka angkat sebagai khalifah.” Berkaitan dengan hal ini, di antara rekan-rekan Ibnu Mas'ud ada yang berkata, “Saya tidak pernah mendengar Ibnu Mas'ud mengeluarkan cercaan satu kata pun terhadap Utsman."

Allah telah menganugerahkan hikmah kepada Ibnu Mas’ud sebagaimana telah memberi sifat takwa kepadanya. Ia memiliki kemampuan untuk melihat jauh ke dasar yang dalam, dan mengungkapkannya secara menarik dan tepat. Marilah kita dengar ucapannya yang menggambarkan kesimpulan hidup yang istimewa dari Umar dengan kata-kata singkat tapi padat dan menakjubkan, “Islamnya merupakan suatu kemenangan, hijrahnya merupakan pertolongan, dan pemerintahannya merupakan kerahmatan."

Tentang relativitas masa yang dikenal pada zaman sekarang, ia mengatakan, "Bagi Rabb kalian tiada siang dan malam. Cahaya langit dan bumi itu bersumber dari cahayanya."

Ia juga berbicara tentang pekerja dan betapa pentingnya mengangkat taraf budaya kaum pekerja ini, ia mengatakan, "Saya sangat benci melihat seorang iaki-laki yang menganggur dan tidak ada usaha untuk kepentingan dunia, dan tidak pula untuk kepentingan akhirat."

Di antara kata-katanya yang paling komprehensif ialah:

"Sebaik-baik kekayaan ialah kaya hati
Sebaik-baik perbekalan ialah takwa
Seburuk-buruk kebutaan ialah buta hati
Sebesar-besar kejahatan ialah berdusta Sejelek-jelek pekerjaan ialah memungut riba Seburuk-buruk makanan ialah memakan harta anak yatim
Siapa yang memaafkan orang, Allah akan memaafkannya
Siapa yang mengampuni orang lain, Allah akan mengampuninya."

Itulah gambaran singkat Abdullah bin Mas'ud, sahabat Rasulullah. Itulah kilasan dari suatu kehidupan besar dan perkasa yang dilalui oleh pelakunya di jalan Allah, Rasul, dan agama-Nya. Itulah dia laki-laki yang ukuran tubuhnya seumpama tubuh burung merpati. Tubuhnya kurus dan pendek, hingga tinggi badannya tidak jauh berbeda dengan orang yang sedang duduk. Kedua betisnya kecil dan tidak berdaging, yang terlihat ketika ia memanjat pohon untuk mengambil dahan pohon araq (siwak) untuk digunakan sebagai sikat Rasulullah, Para sahabat menertawakannya ketika melihat kedua betisnya itu. Rasulullah bersabda. “Kalian menertawakan betis Ibnu Mas'ud yang di sisi Allah lebih berat timbangannya dari Gunung Uhud.”

Itulah dia orang yang berasal dari keluarga miskin, buruh upahan, kurus, dan tidak diperhitungkan, tetapi keyakinan dan keimanannya telah menjadikannya salah seorang imam di antara imam-imam kebaikan, petunjuk, dan cahaya. Ia telah dikaruniai taufik dan nikmat oleh Allah yang menyebabkan dirinya termasuk dalam golongan "Sepuluh orang sahabat Rasul yang lebih dahulu masuk Islam", yakni orang orang yang saat masih hidup sudah mendapatkan berita gembira meraih ridha Allah dan surga-Nya.

Ia telah terjun dalam setiap perjuangan yang berakhir dengan kemenangan pada masa Rasulullah. Ia tidak pernah absen, begitu pula pada masa para khalifah sepeninggal beliau. Ia turut menyaksikan dua buah imperium dunia membukakan pintunya dengan tunduk dan patuh untuk dimasuki panji-panji Islam dan ajarannya.

lbnu Mas'ud juga masih hidup ketika jabatan-jabatan terbuka luas dan menunggu orang-orang Islam yang mau mendudukinya, begitu pula harta yang tidak terkira banyaknya bertumpuk-tumpuk di hadapan mereka. Namun, tidak satu pun yang dapat mengusik dan membuat lbnu Mas'ud lupa dari janji yang telah diikrarkannya kepada Allah dan RasulNya, atau merintanginya dari garis hidup dan ketekunan ibadat yang diliputi rasa khusyuk dan tawadhu. Di antara keinginan dan cita-cita hidup yang ada, tidak satu pun di antaranya yang menarik hatinya kecuali satu saja yang selalu dirindukan, menjadi buah bibir dan senandungnya, dan selalu berada dalam angan-angan untuk mendapatkannya.

Mari kita simak kata-katanya sendiri menceritakan hal itu kepada kita, "Aku bangun di tengah malam, ketika itu aku mengikuti Rasulullah di Perang Tabuk. Tampak olehku nyala api di arah pinggir perkemahan, lalu aku mendekat untuk melihatnya. Ternyata, itu adalah Rasulullah bersama Abu Bakar dan Umar. Mereka sedang menggali kuburan untuk Abdullah Dzul Bijadain Al Muzanni yang ternyata telah wafat. Rasulullah berada di dalam lubang kubur itu, sementara Abu Bakar dan Umar mengulurkan jenazah kepadanya. Rasulullah bersabda,

'Ulurkanlah lebih dekat kepadaku saudara kalian itu!’ Lalu mereka mengulurkan kepada beliau. Ketika jenazah telah diletakkan di liang lahat beliau berdoa, 'Ya Allah, aku telah ridha kepadanya, maka ridhailah pula ia oleh-Mu!' Alangkah bahagianya seandainya akulah yang jadi pemilik liang kubur itu."

Itulah dia satu-satunya cita-cita yang diharapkan dan dianganangankan semasa hidupnya. Sebagaimana Anda ketahui, ia tidak pernah mencari kesempatan untuk mendapatkan kemuliaan, kekayaan, pengaruh, atau jabatan yang selalu dikejar-kejar dan diperebutkan orang. Hal ini semata-mata karena cita-citanya adalah cita-cita seorang tokoh yang berhati mulia, berjiwa besar, dan berkeyakinan teguh. Seorang tokoh yang mendapat petunjuk dari Allah, mendapatkan gemblengan dari Rasulullah, dan memperoleh tuntutan dari Al Qur'an.”

Hamzah bin Abdul Muththolib Singa Alloh dan Panglima Syuhada'_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 18)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala


"Saya seorang Habasyah yang mahir melemparkan tombak dengan teknik khas Habasyah, hingga jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang telah mulai berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga akhirnya tampak di antara manusia tidak ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang orang dengan pedangnya hingga tidak seorang pun yang dapat bertahan di depannya.

Demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat. Tiba-tiba saya didahului oleh Siba' bin Abdul 'Uzza yang tampil di hadapannya. Tatkala Hamzah melihat mukanya, ia pun berkata, 'Mendekatlah ke sini, wahai anak tukang potong *!" Sejurus kemudian Hamzah menebasnya dan tepat mengenai kepalanya.

Ketika itu saya pun menggerakkan tombak dan mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya melemparkannya hingga mengenai pinggang bagian bawah dan tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. Ia mencoba bangkit ke arahku, tetapi ia tidak berdaya lalu roboh dan meninggal.

Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali ke perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tidak ada lagi tugas dan keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari perbudakan yang menguasai."

Tidak ada salahnya bila kita persilakan Wahsyi melanjutkan kisahnya:

“Sesampainya di Mekkah, saya pun dibebaskan. Saya tetap bermukim di sana sampai kota itu dimasuki oleh Rasulullah pada hari pembebasan. Akhirnya, saya lari ke Thaif. Ketika utusan Thaif menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislaman, timbul berbagai rencana dalam pikiran saya. Saya berbisik di dalam hati, lebih baik aku pergi ke Syria, atau ke Yaman, atau ke tempat lain.

Demi Allah, ketika saya berada dalam kebingungan itu datanglah seseorang mengatakan kepadaku. “Celaka kamu! Rasulullah tidak akan membunuh seseorang yang masuk agamanya.' Akhirnya, saya pergi untuk menemui Rasulullah di Madinah. Beliau tidak melihatku kecuali ketika saya telah berdiri di depan beliau mengucapkan dua kalimat syahadat.

Ketika melihat saya itulah, beliau bertanya, "Apakah kamu ini Wahsyi?"

“Benar, wahai Rasulullah," jawabku. "Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah!"

Saya pun menceritakan kisah tersebut. Setelah saya selesai bercerita, beliau bersabda, “Celaka kamu, jauhkanlah wajahmu dari pandanganku."

Setelah itu, saya menghindarkan diri dari hadapan dan jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah agar tidak kelihatan oleh beliau sampai saat beliau wafat. Tatkala kaum muslimin bergerak untuk menumpas pemberontakan nabi palsu, Musailamah Al Kadzdzab yang menguasai Yamamah, saya pun ikut bersama mereka dan membawa tombak yang dahulu saya gunakan untuk membunuh Hamzah.

Ketika orang-orang mulai bertempur, saya melihat Musailamah Al Kadzdzab sedang berdiri dengan pedang di tangan. Saya pun bersiap-siap dan menggerakkan tombak sambil mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya lemparkan tombak dan menemui sasarannya. Dengan demikian, dengan tombak itu dahulu saya telah membunuh manusia terbaik, yaitu Hamzah; dan sekarang saya berharap Allah akan mengampuniku karena dengan tombak itu pula saya telah membunuh manusia terjahat, yaitu Musailamah."

Demikianlah Singa Allah dan Singa Rasul Nya itu gugur sebagai syahid yang mulia. Sebagaimana hidupnya telah menggemparkan, demikian pula wafatnya telah menggemparkan. Musuh tidak puas hanya dengan kematiannya saja. Mereka telah mengerahkan orang-orang Quraisy dan mengorbankan harta benda mereka dalam suatu peperangan besar yang tujuannya tiada lain ialah mendapatkan Rasulullah dan pamannya, Hamzah.

Hindun binti Utbah yang merupakan istri Abu Sufyan telah menyuruh Wahsyi agar mengambil hati Hamzah untuk dirinya. Keinginannya yang harus dia bayar dengan imbalan yang setimpal itu dikabulkan oleh orang Habasyah itu. Tatkala ia kembali kepada Hindun dan memberikan hati Hamzah dengan tangan kanannya, ia menerima kalung dan anting-anting dari wanita itu dengan tangan kirinya sebagai balas jasa atas tugas yang terlaksana dengan baik.

Sebagai istri Abu Sufyan yang merupakan panglima kaum musyrik penyembah berhala yang ayahnya telah tewas di tangan kaum muslimin pada Perang Badar itu, Hindun menggigit dan mengunyah hati Hamzah dengan harapan akan dapat mengobati hatinya yang pedih karena dendam dan murka. Namun, hati Hamzah menjadi alot, sehingga tidak dapat dikunyah dan tidak mempan oleh taring-taringnya, dan akhirnya ia mengeluarkannya dari mulut, lalu berteriak keras:

“Kami membalas kalian atas kekalahan di Badar. Pertempuran hari itu kini terbalas dengan pertempuran hari ini. Betapa pedihnya hatiku mengenang Utbah. Demikian pula saudaraku, paman, serta putra sulungku. Sekarang hatiku puas, nazar itu telah terpenuhi. Sakit di dada telah terobati oleh Wahsyi."

Peperangan pun berakhir. Kaum musyrikin menaiki unta dan menghalau kuda mereka pulang ke Mekkah. Rasulullah beserta sahabat turun ke bekas medan pertempuran untuk memeriksa para syuhada.

Di perut lembah, ketika beliau memeriksa wajah para sahabatnya yang telah menjual diri mereka kepada Allah dan menyajikan pengorbanan yang ikhlas demi Allah Yang Maha Besar beliau berhenti sejenak, menyaksikan dan tak sepatah kata pun terucap, menggertakkan gigi, dan air mata pun menetes. Tidak terlintas dalam benak beliau sedikit pun bahwa moral orang-orang Arab akan merosot sedemikian rupa hingga jatuh pada kebiadaban dan sampai hati merusak mayat seperti yang terjadi pada paman beliau sendiri yang gugur syahid, Hamzah bin Abdul Muththalib, Singa Allah dan tokoh utama syuhada.

Rasulullah membuka kedua mata dengan airnya yang berkilau laksana kaca, pandangan beliau tertuju kepada tubuh pamannya itu dan bersabda, "Aku tidak akan menderita karena musibah sepertimu selamanya. Dan tidak satu suasana pun yang lebih menyakitkan hariku seperti suasana sekarang ini.”

Kemudian beliau menoleh ke arah para sahabat, dan bersabda, “Sekiranya Shafiyah, saudari Hamzah, takkan berduka dan tidak akan menjadi sunnah sepeninggalku nanti, niscaya kubiarkan jasadnya mengisi perut binatang buas dan tembolok burung. Sekiranya aku diberi kemenangan oleh Allah di salah satu medan pertempuran dengan orang Quraisy, niscaya kucabik-cabik tubuh tiga puluh orang laki-laki di antara mereka."

Para sahabat pun berseru, “Demi Allah, sekiranya pada suatu waktu nanti kita diberi kemenangan oleh Allah atas mereka, niscaya kami akan mencincang-cincang mayat mereka dengan cincangan yang belum pernah dilakukan oleh seorang Arab pun."

Namun, Allah yang telah memberi kemuliaan kepada Hamzah sebagai seorang syahid, memuliakannya sekali lagi dengan menjadikan gugurnya itu sebagai suatu kesempatan untuk memperoleh pelajaran penting yang akan melindungi keadilan sepanjang masa dan mengharuskan diperhatikannya kasih sayang walau dalam qishash dan menjatuhkan hukuman.

Demikianlah, belum lagi selesai Rasulullah mengucapkan ancamannya itu, dan belum beranjak dari tempat tersebut, ayat-ayat yang mulia berikut ini pun turun:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.

Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka, dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan."

Ayat-ayat tersebut diturunkan di tempat itu dan sekaligus sebagai penghematan terbaik untuk Hamzah, yang pahalanya pasti akan diberikan oleh Allah. Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan seperti telah kami sebutkan sebelumnya, ia bukanlah sekedar paman yang tercinta belaka, melainkan juga saudara sepersusuan, teman sepermainan, dan sahabat sepanjang masa.

Pada momen pemisahan ini, tidak ada penghormatan yang lebih utama yang ditemui Rasulullah untuk melepas kepergiannya selain menshalatkannya bersama-sama dengan seluruh syuhada, seorang demi seorang. Demikianlah, jasadnya dibawa ke tempat shalat di medan laga yang telah menyaksikan kepahlawanan dan menampung darahnya, lalu dishalatkan oleh Rasulullah bersama para sahabat.

Setelah itu, seorang yang gugur syahid lain dibawa ke sana dan dishalatkan oleh Rasulullah. Jenazah itu diangkat, tetapi jenazah Hamzah dibiarkan di tempatnya, lalu jasad korban syahid ketiga dibawa dan dibaringkan di dekat jenazah Hamzah, lalu dishalatkan pula oleh Rasulullah.

Begitulah para syuhada itu didatangkan satu demi satu, untuk dishalatkan oleh Rasulullah hingga bila dihitung ada tujuh puluh kali lipatnya Rasulullah menshalatkan Hamzah waktu itu.

Rasulullah pulang ke rumah meninggalkan medan peperangan. Di tengah perjalanan, beliau mendengar wanita-wanita Bani Abdul Asyhal menangisi syuhada mereka. Dengan sangat santun dan sayang, beliau bersabda. “Tetapi, Hamzah, tidak ada wanita yang menangisinya"

Sabda beliau itu terdengar oleh Sa'ad bin Mu'adz. la menyangka Rasulullah akan senang hati bila ada wanita yang menangisi pamannya, lalu segeralah ia mendatangi wanita-wanita Bani Abdul Asyhal dan menyuruh mereka agar menangisi Hamzah pula. Suruhan itu pun dituruti, namun ketika Rasulullah mendengar tangis mereka, beliau pergi menemui mereka dan bersabda, "Bukan ini yang saya maksudkan. Pulanglah kalian, semoga Allah memberi kalian rahmat, dan tidak boleh menangis lagi setelah hari ini."

Para penyair dari kalangan sahabat Rasulullah berlomba-lomba menggubah syair untuk mengantarkan kepergian Hamzah dan mengenangkan jasa-jasanya yang besar. Di antaranya, Al-Hasan bin Tsabit mengatakan:

Tinggalkan masa lalu yang penuh berhala
Ikuti jejak Hamzah yang bergelimang dengan pahala
Penunggang kuda di medan laga
Bagaikan singa terluka di hutan belantara
Seorang keturunan Hasyim mencapai puncak yang cemerlang tampil ke medan laga membela kebenaran
Gugur sebagai syahid di medan pertempuran
Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran

Abdullah bin Rawahah mengatakan:

Air mata mengalir tidak ada hentinya
Walau ratap dan tangis tidak ada artinya terhadapmu, wahai singa Allah, mereka bertanya-tanya 'Benarkah Hamzah yang gugur?'
Ujian telah menimpa kami hamba Allah
Begitu pula Muhammad Rasulullah
Dengan kepergianmu benteng musuh berantakan, dengan kepergianmu tercapailah tujuan

Shafiyah binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah dan saudara Hamzah, mengatakan:

Ia telah dipanggil oleh Ilah yang berhak disembah, pemilik Arsy Ke dalam surga tempat hidup bersenang-senang
Memang itulah yang kita tunggu dan selalu harapkan
Hingga pada hari mahsyar Hamzah beroleh tempat yang lapang
Demi Allah, selama angin barat berhembus, daku takkan lupa, baik di waktu bermukim maupun bepergian ke mana saja selalu berkabung dan menangisi
Singa Allah Sang Pemuka
Pembela Islam terhadap setiap kafir orang angkara
Sementara daku mengucapkan syair, keluargaku sama berdoa
Semoga Allah memberimu balasan, wahai saudara, wahai pembela

Tetapi ratapan terbaik untuk mengenang Hamzah ialah kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah ketika berdiri di depan jasad Hamzah sewaktu dilihatnya berada di antara syuhada pertempuran itu. Beliau bersabda:

"Rahmat Sang Maya Penyayang terlimpah atas dirimu. Akulah saksi bagimu di hadapan Al-Hakim. Engkaulah ksatria penyambung silaturahim. Berbuat kebaikan, pembela yang dizalimi."

Tidak bisa dipungkiri bahwa musibah yang menimpa Nabi berupa kematian paman beliau yang utama, Hamzah, adalah musibah yang sangat besar, hingga sebagai penghibur baginya sangat sukar ditemukan. Tetapi, takdir telah menyediakan hiburan terbaik bagi Rasulullah.

Dalam perjalanan pulang dari Uhud ke rumahnya. Rasulullah melewati seorang wanita warga Bani Dinar, yang dalam peperangan itu telah kehilangan ayah, suami, dan saudaranya. Ketika wanita itu melihat kaum muslimin pulang dari medan perang, ia segera mendapatkan mereka dan menanyakan berita pertempuran. Mereka sampaikan bela sungkawa atas gugurnya suami, ayah, dan saudaranya itu. Sambil mengeluh, wanita itu bertanya, “Bagaimana kabar Rasulullah?" Mereka menjawab, “Baik-baik saja, alhamdulillah. Beliau dalam keadaan yang kamu inginkan."

"Ajaklah beliau ke sini agar saya dapat melihatnya," pintanya.

Mereka pun tetap berdiri di samping wanita tersebut, hingga Rasulullah dekat kepada mereka. Ketika wanita tersebut melihat kedatangan beliau, ia langsung menghampiri dan berkata, "Apa pun musibah yang menimpa, asal tidak menimpa diri Anda, itu terasa ringan."

Kata-kata tersebut merupakan hiburan yang terbaik dan paling kekal. Rasulullah bisa jadi tersenyum menyaksikan peristiwa istimewa dan satu-satunya ini, karena dalam dunia pengorbanan, kesetiaan dan kecintaan, peristiwa itu tidak ada bandingannya.

Seorang wanita yang lemah dan miskin itu telah kehilangan ayah, suami dan saudaranya. Tetapi, sambutannya terhadap perang yang menyampaikan berita yang dapat mengguncangkan gunung, cukup dengan kata kata. "Tetapi, bagaimana kabar Rasulullah?" Sungguh, suatu peristiwa yang telah diatur corak dan waktunya oleh tangan takdir secara baik dan tepat, guna disajikan sebagai penghibur bagi Rasulullah dalam menghadapi musibah atas kesyahidan Singa Allah dan panglima para syuhada.


__________
Catatan:

Kisah tentang Hindun binti Utbah yang memotong-motong jasad Hamzah tidak shahih. Abdullah bin Khumais menjelaskannya dalam tulisannya di website Multaqa Ahli Hadits:

”Tersebut beberapa riwayat dha'if dalam persoalan ini:

Musa bin Uqbah meriwayatkan bahwa Wahsyi mengambil hati Hamzah dan menyerahkannya kepada Hindun binti Utbah. Hindun hendak menelannya tetapi tidak dapat melakukannya. Ibnu Katsir menyebutkan kisah ini di AI-Bidayah wa An-Nihayah, hal. 158, tanpa sanad. Jadi, ini dhaif. lbnu Ishaq meriwayatkan bahwa Hindun memotong hati Hamzah. Ia menambahkan bahwa Hindun juga memotong telinga dan hidung beberapa syuhada lain untuk dijadikan gelang dan kalung. Ia memberikan gelang dan kalungnya sendiri kepada Wahsyi. lbnu Hisyam (159) meriwayatkannya dengan sanad yang terputus dan mauqul pada gurunya, lbnu Kaisan. Jadi, sanad ini dhaif. AI-Waqidi meriwayatkan bahwa ketika Hamzah gugur, Wahsyi membawa hatinya ke Mekkah untuk dipetlihatkan kepada tuannya, Jubair bin Muth'im. Al-Maghazi, hal. 160. Al-Waqidi adalah perawi matruk, sehingga riwayatnya sangat lemah.

As-Syami menyebutkan bahwa Al-Waqidil dan Al-Maqeizi di dalam Al-lmta' meriwayatkan bahwa Wahsyi membelah perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya, kemudian ia membawanya ke Hindun. Hindun lalu mengunyah-ngunyah lalu memuntahkannya. Kemudian, Hindun bersama Wahsyi mendatangi tempat jasad Hamzah berada, kemudian ia memotong hati, hidung, dan kedua telinga Hamzah, lalu la menjadikannya sebagai anting-anting, gelang, dan kalung yang dipakainya hingga tiba di Mekkah. Lihat: Subul AI-Huda wa Ar-Rasyad, hlm. 161.

Riwayat AI-Waqidi dan Al-Maqrizi yang ditunjukkan oleh Asy-Syami ini mungkin bermaksud untuk menyatukan dua tiwayat; riwayat lbnu Uqbah dan riwayat lbnu Ishaq. Keduanya bertemu di Al Madhmun, dan riwayat ini dha'if.

Kesimpulannya, dapat kita katakan bahwa melalui penyatuan semua riwayat yang shahih dan dhaif, maka kita menemukan dua catatan:

Pertama, mutilasi jasad Hamzah terbukti benar dari beberapa jalur periwayatan yang shahih seperti telah kami sebutkan. Ini menunjukkan bahwa kisah pembelahan perut Hamzah yang disebutkan oleh ahli sejarah perang dan biografi tidak ada dasarnya.

Kedua, Hindun bersih dari tindakan yang memalukan itu. Hal ini karena lemahnya semua jalur yang menyebutkan bahwa Hindun sndiri yang memotong hati Hamzah dan memutilasi jasadnya. Lihat: Ma Sya'a wa Lam Yatsbut fi As-Sirah, Al-Ausyan, hlm. 147-152. (edt.)

Hamzah bin Abdul Muththolib Singa Alloh dan Panglima Syuhada'_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 17)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala


Kota Mekkah masih mendengkur nyenyak dalam tidur malamnya, setelah siangnya lelah oleh segala macam usaha, kerja keras, kesibukan ibadah, dan aneka permainan. Orang Quraisy tertidur lelap dan membalik balikkan tubuh mereka di atas ranjang. Tetapi, di sana ada seorang insan yang resah gelisah. Matanya tidak terpejam. Ia pergi ke kamar tidur lebih awal dan beristirahat dalam waktu singkat, lalu bangkit dengan penuh kerinduan karena rupanya ada janji dengan Allah. Ia menuju tempat shalat yang terletak di biliknya, lalu bermunajat kepada Allah dan berdoa penuh ketekunan.

Setiap kali istrinya terbangun dan mendengar gemuruh dadanya yang tunduk meminta dan untaian doanya yang hangat dan merengek-rengek, ia merasa kasihan dan memohon agar suaminya tersebut memperhatikan dirinya dan mengambil waktu istirahat yang cukup. Dengan air mata yang mengalir, yang mendahului kata-katanya, ia menjawab, “Wahai Khadijah, waktu untuk tidur telah berlalu."

Urusannya pada waktu itu memang belum memusingkan orang-orang Quraisy ataupun mengganggu tidur nyenyak mereka, walaupun sudah mulai menjadi titik perhatian. Ia baru saja memulai dakwahnya dan menyampaikan ajarannya secara rahasia dan berbisik-bisik (baca: sembunyi-sembunyi -peny.). Orang-orang yang beriman kepadanya waktu itu masih sangat sedikit. Tetapi, di antara orang-orang yang belum beriman itu ada pula yang menaruh kasih sayang dan penghormatan kepadanya serta memendam niat dan keinginan hati untuk beriman dan menyertai kafilahnya yang penuh berkah. Mereka terhalang untuk menyatakan keinginan itu karena keadaan dan lingkungan, tekanan kebiasaan dan adat istiadat, serta kebimbangan hati untuk memenuhi panggilan atau menolak seruan. Di antara orang yang masuk dalam golongan ini adalah Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Nabi dan saudara sepersusuannya.

Hamzah telah mengetahui kebesaran dan kesempurnaan keponakannya. Ia memahami sebaik-baiknya kepribadian, watak, serta akhlaknya. Ia bukan hanya mengenalnya sebagai seorang paman terhadap keponakannya semata, melainkan juga sebagai saudara terhadap saudaranya, dan sahabat terhadap teman karibnya. Pasalnya, Rasulullah dan Hamzah hidup dalam satu generasi dan usia mereka berdua yang berdekatan. Mereka dibesarkan bersama, bermain bersama dan menjadi sahabat karib, serta menempuh jalan kehidupan selangkah demi selangkah selalu bersama sejak awal.

Hanya saja, ketika usia muda menjelang, mereka berdua menempuh jalan masing-masing. Hamzah mulai bersaing dengan teman-temannya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan merintis jalan bagi dirinya untuk beroleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar Mekkah dan pemimpin pemimpin Quraisy, sedangkan Muhammad tetap bertahan di lingkungan cahaya rohani yang mulai menerangi jalan baginya menuju Ilahi, serta mengikuti bisikan hati yang mengajaknya menjauhi kebisingan hidup untuk mencapai renungan yang dalam, serta mempersiapkan diri dalam menyambut dan menerima kebenaran.

Kita tegaskan, bahwa walaupun kedua anak muda itu telah mengambil arah yang berlainan, tetapi tidak satu detik pun hilang dari ingatan Hamzah. Keutamaan sahabat sekaligus keponakan itu telah banyak diketahui Hamzah, yakni keutamaan dan kemuliaan yang mengantarkan pemiliknya kepada kedudukan tinggi di mata seluruh manusia, dan melukiskan secara gamblang masa depannya yang gemilang.

Pagi itu seperti biasa Hamzah keluar dari rumahnya. Di sisi Ka'bah ia melihat rombongan pembesar dan bangsawan Quraisy, lalu ia pun duduk bersama mereka untuk mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Ternyata mereka sedang membicarakan Muhammad. Untuk pertama kali Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah disebabkan oleh dakwah yang dilakukan oleh keponakannya. Kemarahan, kebencian, dan kedengkian tampak jelas dari kata-kata mereka.

Sebelum itu mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli. Tetapi, sekarang wajah-wajah mereka mengerikan, menyeringai karena berang, kecewa, serta hendak menerkam. Hamzah tertawa mendengar obrolan mereka, ia menuduh mereka terlalu berlebihan dan salah menilai orang.

Saat itu pula, Abu Jahal segera menegaskan kepada mereka yang hadir bahwa sebenarnya Hamzah paling tahu tentang bahaya ajaran yang diserukan oleh Muhammad, hanya saja ia menganggap enteng hingga Quraisy menjadi lengah dan tidak menyadari. Kemudian suatu saat nanti orang-orang Quraisy ditimpa keburukan dan urusan keponakannya itu menguasai mereka.

Mereka melanjutkan pembicaraan dalam suasana hiruk pikuk dan tidak luput dari ancaman, sedangkan Hamzah kadang-kadang turut tertawa dan sesekali menampakkan wajah murka. Ketika pertemuan itu usai dan mereka kembali ke acaranya masing-masing, kepala Hamzah pun dipenuhi oleh pikiran dan perasaan baru, yang menyebabkan perhatiannya tertuju kepada urusan keponakannya dan mempertimbangkan kembali apa dampak baik dan buruknya.

Hari-hari pun berlalu silih berganti, dan makin lama desas-desus yang disebarkan Quraisy terkait dakwah Rasul makin memuncak. Akhirnya, desas-desus itu berubah menjadi hasutan dan persekongkolan, sementara Hamzah memperhatikan suasana dari jauh. Ketabahan hati keponakannya itu sangat menakjubkannya, sedangkan usahanya yang mati-matian membela keimanan dan kelancaran dakwahnya merupakan hal yang baru bagi kaum Quraisy secara umum, walaupun sebenarnya mereka terkenal gigih dan keras kepala.

Ketika itu keragu-raguan mungkin saja dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang tentang kebenaran Rasulullah dan kebesaran jiwanya, tetapi ia tidak akan menemukan jalan untuk mempengaruhi dan memperdayai Hamzah. Hamzah adalah orang yang paling tahu siapa Muhammad sejak masa kanak-kanak hingga waktu mudanya yang tidak ternoda, dan terpercaya sampai usia dewasanya.

la mengenal Muhammad sebagaimana ia mengenal dirinya sendiri, bahkan lebih dari itu. Sejak mereka lahir ke alam wujud, menjadi remaja dan sama-sama berangkat dewasa, di mana lembaran kehidupan Muhammad terbuka di hadapan matanya suci bersih laksana sinar matahari, ia tidak pernah sekali pun melihat cacat pada lembaran itu. Tidak sekali pun, ia melihatnya marah atau naik darah, kecewa atau putus asa, apalagi menampakkan ketamakan dan keserakahan, berolok-olok, atau berbuat hal yang sia-sia.

Hamzah bukan saja seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah belaka, melainkan juga dikaruniai kekuatan kemauan dan ketajaman akal pikiran. Karena itu, tidak wajar bila ia ketinggalan dan tidak ingin mengikuti orang yang diketahuinya betul-betul jujur dan dapat dipercaya. Hanya saja, ia memendam keinginan itu di dalam hati, menunggu waktu yang tepat untuk membukakannya, dan waktu itu telah dekat. Ia tidak akan menunggu lama.

Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Hamzah keluar dari rumahnya menjinjing busur dan menujukan langkahnya ke arah padang belantara untuk melatih kegemaran dan melakukan olah raga yang sangat disukainya yaitu berburu. Ia sangat mahir dalam hal ini. Ia menuruti hobinya itu selama kira-kira setengah hari di sana, dan ketika kembali dari perburuannya ia langsung pergi ke Ka'bah untuk tawaf seperti biasa sebelum pulang ke rumahnya. (Tawaf ialah salah satu bagian dari ritual haji. Haji sendiri ialah ritual yang sudah ada sejak diutusnya Nabi Ibrahim, dan sisa-sisa ajarannya masih ada hingga  masa awal diutusnya Nabi Muhammad namun terdapat beberapa penyimpangan dalam  pelaksanaannya. Dan atas bimbingan Allah Nabi Muhammad kemudian datang membenahi dan menyempurnakan pelaksanaan ibadah ini. -peny.).

Setibanya dekat Ka'bah ia ditemui oleh seorang pelayan wanita Abdullah bin Jud'an. Saat wanita itu melihat Hamzah telah dekat dengan Ka'bah, ia berkata kepadanya, “Wahai Abu Umarah, andai saja engkau melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad baru-baru ini. Abul Hakam bin Hisyam menyakiti dan memaki-makinya ketika mendapatkan dirinya sedang duduk di sana, hingga mengalami perkara yang tidak diinginkan."

Wanita itu lalu melanjutkan ceritanya mengenai perlakuan Abu Jahal terhadap Rasulullah. Hamzah mendengarkan perkataannya dengan baik, kemudian ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu membawa busur panahnya dan menyandangkan ke bahu. Setelah itu, dengan langkah tegap ia bergegas menuju Ka'bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di sana. Bila tidak bertemu di sana, ia akan mencarinya di mana pun juga sampai berhasil.

Tetapi, sebelum sampai di Ka'bah, ia telah melihat Abu Jahal di pekarangannya sedang dikelilingi oleh beberapa orang pembesar Quraisy. Dalam suasana yang mencekam. Hamzah maju mendekati Abu Jahal lalu mengambil busurnya dan memukulkannya ke kepala Abu Jahal hingga terluka dan berdarah-darah. Sebelum orang-orang yang hadir menyadari apa yang terjadi, Hamzah sudah membentak Abu Jahal, dengan ungkapan, “Mengapa kamu cela dan kamu maki Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan mengatakan apa yang dikatakannya? Ulangilah makianmu itu kepadaku jika kamu berani!"

Seketika itu juga, orang-orang yang berada di tempat kejadian tersebut lupa akan penghinaan yang baru menimpa pemimpin mereka dan darah yang mengalir dari kepalanya, terhenyak kaget oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang tidak ubah bagai bunyi halilintar di siang bolong. Kata-kata yang diucapkannya untuk menyatakan bahwa ia telah menganut agama Muhammad, mengakui apa yang diakuinya dan mengatakan apa yang dikatakannya.

“Apa? Apakah Hamzah telah masuk Islam?"

Hamzah adalah sosok anak muda Quraisy yang paling gigih membela haknya serta yang paling mulia. Sungguh, suatu bencana besar yang tidak dapat diatasi oleh bangsa Quraisy karena keislaman Hamzah akan menarik perhatian tokoh-tokoh pilihan untuk ikut memasuki agama itu, hingga Muhammad akan mendapat tenaga dan kekuatan yang akan membela dakwah dan memperkokoh barisannya, dan suatu saat nanti orang-orang Quraisy akan bangun dan tersadarkan diri karena mendengar bunyi linggis dan tembilang yang menghancurleburkan berhala-berhala dan tuhan-tuhan mereka.

Memang benar, Hamzah telah masuk Islam dan di hadapan umum ia telah mengungkapkan isi hatinya selama ini. Ia meninggalkan orang-orang itu merenungi kekecewaan dan kegagalan harapan mereka, dan membiarkan Abu Jahal menjilat darah yang mengucur dari kepalanya yang terluka. Hamzah kembali memungut busur dengan tangan kanannya, dan menggantungkannya di bahu, lalu dengan langkah yang tegap dan hati yang pekat pergi pulang ke rumahnya.

Hamzah adalah seorang yang berpikiran cerdas dan berhati lurus. Ketika ia telah pulang ke rumahnya dan hilang rasa lelahnya, ia duduk sambil berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Bagaimana cara ia menyatakan keislamannya dan kapan.

Ia telah menyatakannya saat emosi dan tersinggung, saat marah dan naik darah. Ia tidak sudi bila keponakannya diperlakukan secara sewenang-wenang dan dianiaya tanpa adanya pembela. Karena itu, ia naik darah dan berdiri tegak membela Muhammad dan kehormatan Bani Hasyim; memukul kepala Abu Jahal hingga terluka dan berteriak di depannya bahwa ia telah memeluk agama Islam.

Tetapi, menurut Anda, apakah seseorang yang meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya, agama yang telah mereka anut sejak beribu-ribu tahun dan bahkan berabad-abad, lalu langsung menerima agama baru yang belum lagi diselidiki ajarannya dan belum dikenal hakikatnya kecuali sedikit saja, disebut sebagai cara yang terbaik? Memang benar, ia tidak sedikit pun ragu tentang kebenaran Muhammad dan ketulusan maksudnya. Hanya saja, mungkinkah seseorang menerima satu agama baru beserta segala kewajiban dan tanggung jawabnya saat marah dan naik darah sebagaimana yang dilakukan oleh Hamzah sekarang ini?

Pikiran Hamzah terus dihantui oleh banyak pertanyaan. Siang hari, hatinya tidak bisa tenteram, sedangkan malam hari matanya tidak mau terpejam. Ketika akal telah diliputi oleh rasa penasaran terhadap hakikat sesuatu, keraguan pun datang sebagai jalan menuju keyakinan. Demikianlah, akal Hamzah yang baru saja tersentuh oleh keinginan untuk 
membahas masalah agama Islam dan membandingkan antara yang lama dan yang baru. Keraguan pun langsung menyelimuti dirinya yang dibangkitkan oleh kerinduan yang telah mendarah daging terhadap agama nenek moyangnya, dan kecemasan yang telah jadi pusaka turun-temurun terhadap segala hal yang baru. Semua kenangannya tentang Ka'bah beserta tuhan-tuhan dan berhala-berhalanya bangkit kembali, begitu pula tentang pengaruh keagamaan yang telah ditanamkan oleh patung-patung pahatan itu terhadap semua penduduk Mekkah dan bangsa Quraisy secara keseluruhan.

Di dalam dadanya memang terpendam niat untuk menghormati dakwah baru yang panji-panjinya dipikul oleh keponakannya. Namun, seandainya ia ditakdirkan akan menjadi salah seorang pengikut dari dakwah ini, yang beriman dan menyediakan diri untuk menjadi pembantu dan pembelanya, kapankah sebenarnya waktu yang tepat untuk menganutnya? Apakah saat murka dan tersinggung ataukah setelah berpikir dan merenung?

Demikianlah, keteguhan pendirian dan kemurnian berpikir mengharuskannya untuk mengkaji dan mempertimbangkan semua masalah ini sedalam-dalamnya. Terlintas dalam pikiran bahwa memisahkan diri dari sejarah tersebut dan meninggalkan agama lama yang telah mendarah daging ini tidak ubahnya bagai hendak melompati jurang yang lebar. Ia merasa heran, mengapa orang begitu mudah dan tergesa-gesa meninggalkan agama nenek moyangnya, serta menyesali semua yang telah dilakukan sebelumnya? Namun, akal terus berputar dan bertarung dengan keraguan.

Tatkala ia merasa bahwa logika semata tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaannya, dengan ikhlas dan tulus hati, ia pergi untuk mendapatkan jawaban dari yang gaib. Di sisi Ka'bah, ia mendongakkan wajahnya ke langit, memohon dengan segala ketundukan dan harapan kepada segala kekuatan dan cahaya yang terdapat di alam wujud ini agar mendapat petunjuk kepada yang benar dan jalan yang lurus.

Sekarang, mari kita dengar ceritanya ketika mengisahkan berita selanjutnya:

“Kemudian timbullah sesal dalam hatiku karena meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku. Aku pun diliputi kebingungan hingga mata tidak bisa terpejam. Akhirnya, aku pergi ke Ka'bah dan memohon kepada Allah agar membukakan hatiku untuk menerima kebenaran dan melenyapkan segala keraguan. (Kaum kafir Quraisy adalah kaum yang kekafiran mereka disebabkan oleh pengingkarannya terhadap kenabian Nabi  Muhammad dan karena sebab berpalingnya mereka dari ajaran beliau, juga karena menjadikan berhala-berhala sebgai sekutu bagi Allah dalam ibadah, bukan disebabkan karena menolak keberadaan Allah. Dalam diri mereka telah ada keyakinan bahwa yang menciptakan alam semesta adalah Allah, yang menurunkan hujan juga adalah Allah --lihat QS. Lukman: 25, Az-Zumar: 38, Al Ankabut: 63. Bahkan ketika bersumpah pun mereka biasa menggunakan ungkapan "Demi Allah". -peny.). Allah pun mengabulkan permohonanku itu dan memenuhi hatiku dengan keyakinan. Aku pun segera menemui Rasulullah dan menceritakan keadaanku kepadanya, Maka beliau berdoa kepada Allah agar menetapkan hatiku dalam agamanya."

Demikianlah, Hamzah menganut Islam secara yakin. Allah menguatkan Islam dengan Hamzah. Bagai batu karang yang kukuh menjulang, ia membela Rasulullah dan para sahabatnya yang lemah. Abu Jahal melihat Hamzah berdiri dalam barisan kaum muslimin, maka menurut keyakinannya perang sudah tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, ia menghasut orang-orang Quraisy untuk melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan para sahabat. Ia terus mempersiapkan diri untuk melancarkan perang saudara yang akan melenyapkan semua dendam dan sakit hatinya.

Hamzah tidak dapat membendung segala gangguan mereka, tetapi keislamannya seolah-olah menjadi benteng dan perisai, di samping menjadi daya tarik bagi kebanyakan kabilah Arab untuk mengikuti langkahnya. Kemudian, daya tarik itu dikuatkan lagi dengan keislaman Umar bin Al Khatthab, sehingga mereka pun berbondong-bondong menganut Islam.

Sejak masuk Islam, Hamzah telah bertekad akan membaktikan hidupnya untuk Allah dan agama-Nya, hingga Nabi berkenan memasangkan pada dirinya julukan istimewa ini, “Singa Allah dan singa Rasul Nya.” Pengiriman pasukan perang yang tidak disertai Nabi, yang pertama dikirim untuk menghadapi musuh, dipimpin oleh Hamzah. Panji Islam pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah kepada salah seorang Muslimin diserahkan kepada Hamzah. Kemudian, ketika kedua pasukan telah berhadap-hadapan di Perang Badar, keberanian luar biasa telah ditunjukkan oleh Singa Allah dan Singa Rasul-Nya yang tiada lain adalah Hamzah.

Sisa-sisa tentara Quraisy kembali dari Badar ke Mekkah dan berjalan terhuyung-huyung membawa kegagalan dan kekalahan. Abu Sufyan tidak ubah bagai pohon kayu besar yang tumbang dan tercabut hingga akarnya. la berjalan dengan kepala tertunduk meninggalkan medan laga yang dipenuhi tubuh para pemuka Quraisy yang telah tiada bernyawa, seperti Abu Jahal, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Umayah bin Khalaf, Uqbah bin Abu Mu'aith, Al-Aswad bin Abdul Aswad Al Makhzumi, Walid bin Utbah, Nadhar bin Harits, Ash bin Sa'id, Tha'mah bin Adi serta beberapa puluh pemimpin dan tokoh Quraisy lain seperti mereka.

Namun, kaum Quraisy tidak sudi menelan kekalahan pahit ini begitu saja. Mereka mulai mempersiapkan diri, menghimpun segala dana dan daya untuk menuntut balas dan menebus kekalahan mereka. Mereka telah bertekad bulat untuk berperang.

Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba. Orang-orang Quraisy keluar, disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraisy dalam peperangan kali ini adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembar-gemborkan sebelum perang, dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah sebagai sasaran dan target peperangan ini.

Sebelum berangkat, mereka telah memilih seseorang yang diberi tugas untuk menyelesaikan rencana mereka terhadap Hamzah. Orang itu adalah seorang budak Habasyah yang memiliki kemahiran luar biasa dalam melemparkan tombak. Dalam peperangan nanti mereka memerintahkan budak itu untuk memusatkan perhatian hanya kepada satu tugas saja, yaitu menjadikan Hamzah sebagai buruan dan melepaskan lemparan tombak dengan lemparan yang mematikan kepadanya.

Mereka memperingatkannya agar tidak melalaikan tugas tersebut bagaimanapun juga jalan peperangan dan akhir kesudahannya. Sebagai imbalan mereka berjanji akan membayar jasanya dengan harga yang mahal, yakni kebebasan dirinya. Budak yang bernama Wahsyi itu adalah milik Jubair bin Muth'am. Kala Perang Badar meletus, paman Jubair ini tewas di tengah medan perang dan ia ingin menuntut balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah bersama orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas."

Kemudian mereka bawa budak itu kepada Hindun binti Utbah, yakni istri Abu Sufyan. agar dihasut dan didesaknya untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah kehilangan ayah, paman, saudara, dan putranya. Ia mendengar berita bahwa Hamzah-lah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang Quraisy, baik laki-laki maupun perempuannya, dialah yang paling getol menghasut orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.

Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tidak ada sesuatu pun yang dilakukan oleh Hindun selain menggembleng dan menghasut Wahsyi, serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya kepada Hamzah dan merencanakan peran yang akan dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikan kepadanya kekayaan dan perhiasan paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sambil memegang anting-anting, permata yang mahal, serta kalung emas yang terlilit pada lehernya dengan jari-jarinya yang penuh kebencian, dan dengan pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu dapat membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu."

Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar itu. Angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin dan putri tokoh suku Quraisy.

Itulah persekongkolan jahat mereka. Segala unsur perang kali ini menginginkan Hamzah terbunuh tanpa ditawar-tawar.

Pertempuran itu pun tiba. Kedua pasukan telah mulai bertempur. Hamzah berada di tengah-tengah medan yang menjadi sarang maut dan pembunuhan. Ia memakai pakaian perang, sedangkan di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa diambilnya sebagai penghias dadanya dalam peperangan. Hamzah mulai menyerbu dan menyerang kiri kanan. Setiap kepala yang menjadi sasarannya, putus oleh pedangnya. Pukulannya terhadap orang-orang musyrik tiada henti-hentinya, dan seolah olah maut menyerahkan diri ke dalam tangannya, dilontarkannya kepada siapa yang dikehendakinya, lalu tertancap di hulu hatinya.

Seluruh kaum muslimin maju dan menyerbu ke baris depan, hingga kemenangan menentukan telah hampir berada di tangan. Sisa-sisa Quraisy terpukul mundur dan lari porak poranda. Seandainya pasukan panah tidak meninggalkan posisi mereka di puncak bukit, dan turun ke bawah untuk memungut harta rampasan dari musuh yang kalah; sekiranya mereka tidak melanggar perintah dan tidak membiarkan garis pertahanan panjang menjadi terbuka bagi masuknya pasukan berkuda Quraisy, Perang Uhud pasti akan menamatkan riwayat mereka dan menjadi kuburan bagi kaum Quraisy, baik lelaki maupun wanita, bahkan kuda dan unta mereka.

Saat mereka lengah dan tidak waspada itulah, pasukan berkuda Quraisy menyerang kaum muslimin dari belakang hingga mereka menjadi sasaran dan bulan-bulanan pedang yang menari-nari berkelebatan. Kaum muslimin berupaya keras mengatur barisan kembali dan memungut senjata yang telah ditinggalkan oleh sebagian mereka yang lari karena serbuan Quraisy yang mendadak itu. Namun, sergapan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu akibatnya memang sangat kejam dan pahit.

Ketika Hamzah menyadari apa yang telah terjadi, semangat, tenaga maupun perjuangannya semakin berlipat ganda. la menerjang ke kiri dan ke kanan, ke muka dan ke belakang, sementara Wahsyi sedang mengintainya di sana dan menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan tombak ke tubuhnya.

Sekarang, mari kita persilakan Wahsyi sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:

(Bersambung)