adsense

May 02, 2020

SIROH NABAWIYAH Bagian 18 (Sejarah Nabi Muhammad SAW)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Perlindungan Allah

Abu Thalib segera melaksanakan apa yg disarankan oleh Buhaira, karena peringatan itu memang beralasan.

Segera, setelah Abu Thalib dan Muhammad meninggalkan rumah Buhaira, datanglah 3 orang ahli kitab bernama Zurair, Daris, dan Tammam kepada Buhaira. Ketiganya menyandang senjata di pinggang.

Mereka bertanya kepada Buhaira apakah ia juga melihat seorang anak dengan ciri-ciri seperti ini dan itu.

Buhaira tahu bahwa mereka mencari Muhammad.

Rupanya, ketiga orang ini juga telah mendengar tentang Muhammad.

Buhaira memandang senjata2 yang mereka bawa dengan perasaan ngeri.

Buhaira tahu mereka mencari Muhammad dengan maksud membunuhnya.

Oleh karena itu, Buhaira berusaha memberikan perlindungan kepada Muhammad.

Tidak henti-hentinya Buhaira menasihati ketiga tamunya akan adanya kekuasaan Allah.

Diingatkannya bahwa bagaimanapun usaha mereka, mereka tidak akan mampu mendekati Muhammad untuk membunuhnya.

Akhirnya, ketiganya pun melihat kebenaran dalam perkataan Buhaira.

Batallah niat mereka untuk mengejar dan membunuh Muhammad, kemudian berlalulah mereka dari hadapan Buhaira.

Allah menjaga Muhammad dari kejahatan dan kotoran-kotoran jahiliyah.

Allah membimbing Muhammad tumbuh menjadi orang yang paling ksatria, paling baik akhlaknya, paling mulia asal-usulnya, paling baik pergaulannya, paling agung sikap santunnya, paling murni kejujurannya, paling jauh dari keburukan dan akhlak yang mengotori kaum lelaki sehingga semua orang menjulukinya "Al Amin" karena Allah mengumpulkan sifat-sifat itu pada diri Muhammad.

Kelak setelah menjadi Rasul, Muhammad bercerita tentang perlindungan Allah kepadanya sejak masa kecil dari segala bentuk kejahiliyahan.

Rasulullah bersabda,

"Pada masa kecilku, aku bersama anak-anak kecil Quraisy mengangkut batu untuk satu permainan yang biasa dilakukan anak-anak.

Semua dari kami melepas baju untuk alas di atas pundak (sebagai ganjalan) untuk memikul batu.

"Aku maju dan mundur bersama mereka. Namun, tiba-tiba seseorang yang belum pernah aku lihat sebelumnya menamparku dengan tamparan yang amat menyakitkan.

Ia berkata, 'Kenakan pakaianmu!'

Kemudian, aku mengambil pakaianku dan memakainya.

Setelah itu, aku memikul batu di atas pundakku dengan tetap mengenakan pakaian dan tidak seperti teman temanku."

Membantu Paman

Muhammad juga pernah menjadi gembala sewaan, untuk membantu Abu Thalib yang hidup dalam kemiskinan

Perang Fijar

Sebagai seorang remaja yang tumbuh di lingkungan Jazirah Arab, Muhammad juga mengalami perang.

Perang itu disebut Perang Fijar.

Saat peperangan dimulai, Umur Muhammad memasuki lima belas tahun.

Perang itu sendiri disebabkan sebuah pembunuhan.

Barradz bin Qois dari Bani Kinanah membunuh Urwa Ar-Rahhal bin Utba dari Bani Hawazin, hanya karena Barradz jengkel ketika Urwa dipilih untuk memimpin kafilah dagang Nu'man bin Mundhir yang kaya.

Diam diam , Barradz mengikuti kafilah Urwa dari belakang dan membunuh Urwa.

Padahal ketika itu adalah bulan suci, bulan yang tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk menumpahkan darah.

Karena Quraisy pelindung Barradz, Bani Hawazin mengumumkan perang terhadap Quraisy untuk membalas kematian Urwa.

Perang pun pecah pada bulan suci.

Selama empat tahun berturut-turut, kedua belah pihak saling menyerang.

Dalam pertempuran itu, awalnya Muhammad bertugas memunguti anak panah lawan yang berjatuhan dan memberikannya kepada paman-pamannya.

Namun, pada tahun-tahun berikutnya, dia juga meluncurkan panah ke arah lawan untuk melindungi paman-pamannya.

Perang pun berakhir dengan perdamaian ala pedalaman :

Pihak yang menderita lebih sedikit korban manusianya harus membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sejumlah selisih kelebihan korban.

Dalam hal ini, pihak Quraisy yang lebih sedikit menderita korban harus membayar kelebihan korban sebanyak dua puluh orang Hawazin.

Barradz bin Qois

Barradz bin Qois, si penyebab Perang Fijar, adalah seorang pemabuk.

Karena merusak citra sukunya, dia diusir dan mendapat naungan suku lain.

Namun di sana, dia juga mabuk berat dan membuat onar kemudian diusir lagi.

Akhirnya, Harb bin Muawiyah, ayah Abu Sofyan, menampungnya walaupun hampir saja Barradz bin Qois diusir lagi, karena terus berbuat onar.

Dikarenakan perlindungan Harb dari Quraisy inilah, Bani Hawazin menyerang Quraisy ketika Barradz bin Qois membunuh Urwa bin Utba.

Bersambung

Wallahua'lam

May 01, 2020

SIROH NABAWIYAH Bagian 17 (Sejarah Nabi Muhammad SAW)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Percakapan Buhaira

Akan tetapi, segera saja Buhaira merasakan ada sesuatu yang kurang dari rombongan Quraisy itu.

Maka, ia kembali mengulangi permintaannya,

"Hai Orang-orang Quraisy, jangan sampai ada yang tidak makan makananku ini."

Salah seorang Quraisy berkata,

"Hai Buhaira, tidak ada seorang pun tertinggal yang layak datang kepadamu, kecuali anak muda yang paling kecil di antara kami.

Ia berada di tempat perbekalan rombongan."

Buhaira menggeleng-geleng kepala,

" Kalian jangan seperti itu. Panggil dia untuk makan bersama kalian ! "

Orang-orang Quraisy merasa malu.

Salah seorang dari mereka bahkan berkata,

"Demi Lata dan Uzza, adalah aib dari kami kalau putra Abdullah bin Abdul Muthalib tidak ikut makan bersama kami."

Setelah Muhammad dipanggil, Buhaira memeluknya dan mendudukkannya bersama rombongan Quraisy yang lain.

Sambil menyaksikan tamu-tamunya makan, sebenarnya mata Buhaira tertuju kepada Muhammad dengan seksama.

Dari hasil pengamatannya itulah, Buhaira mengambil kesimpulan dalam hati,

"Anak ini mempunyai sifat-sifat kenabian."

Jamuan selesai.

Sambil mengucapkan terimakasih, rombongan Quraisy pun membubarkan diri menuju tempat perkemahan mereka untuk beristirahat.

Namun, Buhaira tidak membiarkan Muhammad pergi.

Diajaknya anak itu untuk duduk dan bicara.

"Hai anak muda," panggil Buhaira,

" Dengan menyebut nama Lata dan Uzza, aku akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadamu dan engkau harus menjawabnya."

Wajah Muhammad tampak berubah dan ia menjawab,

" Jangan bertanya tentang apa pun kepadaku sambil menyebut nama Lata dan Uzza.

Demi Allah, tidak ada yang sangat aku benci melainkan keduanya."

Buhaira tersenyum dan  mengulangi permintaannya,

" Baiklah, kalau begitu aku akan bertanya kepadamu dengan menyebut nama Allah dan engkau harus menjawab pertanyaanku."

Wajah Muhammad berubah cerah dan ia mengangguk,

"Tanyakan kepadaku apa saja yang ingin engkau tanyakan."

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد

Saran Buhaira kepada Abu Thalib

Buhaira menanyakan banyak sekali hal kepada Muhammad,  tentang tidur Muhammad, tentang postur tubuh Muhammad, dan banyak lagi hal lainnya.
 
Muhammad menjawab semua itu dan semua jawaban itu sesuai benar dengan perkiraan Buhaira.

Kemudian, Buhaira melihat punggung Muhammad dan mendapati tanda kenabian di antara kedua bahu Muhammad.

Tanda kenabian itu seperti bekas orang berbekam.

Setelah itu, Buhaira mendekati Abu Thalib dan bertanya kepada nya,

'' Apakah anak muda ini anakmu ? ''

''Iya, dia anakku." Jawab Abu Thalib

Buhaira menggeleng.

" Tidak, dia bukan anakmu.

Anak muda ini tidak pantas mempunyai ayah yang masih hidup"

Abu Thalib agak tercengang, lalu dia pun mengangguk.

" Kau benar.  Dia bukan anakku, dia anak saudaraku "

Buhaira mengangguk-angguk puas lalu bertanya lagi.

" Apa yang dikerjakan ayahnya ? "

" Ayahnya telah meninggal dunia ketika dia masih berada dalam kandungan ibunya "

"Engkau benar" kata Buhaira menghela nafas dalam-dalam.

Kemudian, sambil berbisik, dia menyampaikan sebuah saran dengan sangat sungguh-sungguh.

"Sekarang, dengar saranku baik-baik.

Bawa anak saudara mu ini ke negeri asalmu sekarang juga !

Jaga dia dari orang-orang Yahudi !

Demi Allah, jika mereka melihat padanya seperti apa yang aku lihat, mereka pasti akan membunuhnya.

Sesungguhnya, akan terjadi sesuatu yang besar pada diri anak saudaramu ini.

Karena itu, segera bawa pulang dia ke negeri asalmu ! "

Abu Thalib tampak ketakutan dengan peringatan itu.

Dia yakin bahwa apa yang dikatakan Buhaira itu benar.

Maka dari itu, segera setelah urusan perdagangannya selesai, Abu Thalib segera membawa Muhammad pulang.

Sesulit apa pun beban hidupnya, Abu Thalib tidak pernah lagi pergi berdagang ke tempat jauh demi melindungi keponakannya itu.

Bushra (kota di mana Buhaira tinggal)

Jalur yang dilewati kafilah Abu Thalib adalah jalan kafilah Barat yang menyusuri Laut Merah, Madyan, Wadi Al Qurra, Hijir, dan Kota Bushra.

Kota Bushra atau Bostra telah lama didirikan Romawi sebagai ibu kota wilayah Hauran, untuk menahan serbuan Badui pedalaman.

Di kota ini, Romawi memusatkan pasukan dan mengumpulkan pajak dari para kafilah.

Bagi kafilah sendiri, Bostra adalah pusat perdagangan paling ramai sebelum tiba di Syria yang terletak lebih ke Utara.

Bersambung

Wallahua'lam

Khobbab bin Al-Arot_Guru Besar Seni Pengorbanan_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 24)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Sejumlah orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Khabbab pada waktu itu memang seorang pandai besi yang ahli membuat senjata, terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekkah dan dikirimnya ke pasar-pasar. Tidak seperti biasanya, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya itu tidak dijumpai oleh rombongan Quraisy yang datang ke rumahnya. Mereka pun duduk menunggu kedatangannya.

Tidak lama kemudian, Khabbab datang dengan wajah terlukis tanda tanya yang bercahaya dan kedua matanya meneteskan air mata kegembiraan. Ia pun mengucapkan salam kepada rekan-rekannya itu lalu duduk di dekat mereka.

Mereka segera menanyakan kepada Khabbab, "Apakah pengerjaan pedang-pedang kami telah selesai, wahai Khabbab?"

Air mata Khabbab sudah kering, pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, ia mengatakan, “Sungguh, keadaannya sangat menakjubkan!"

Orang orang itu kembali bertanya kepadanya, “Wahai Khabbab, keadaan mana yang kamu maksud? Kami menanyakan kepadamu tentang pedang kami, apakah sudah selesai kamu kerjakan?"

Dengan pandangannya yang menerawang seolah-olah mimpi, Khabbab justru bertanya, "Apakah kalian sudah melihatnya? Apakah kalian sudah pernah mendengar ucapannya?"

Mereka saling pandang diliputi tanda tanya dan keheranan. Salah seorang di antara mereka kembali bertanya dan kali ini dengan suatu muslihat, “Apakah kamu sendiri sudah melihatnya, wahai Khabbab?”

Khabbab mengetahui siasat lawan, sehingga berbalik bertanya, “Siapa maksudmu?"

"Maksudku ialah orang yang kamu katakan itu." jawab orang tadi dengan nada marah.

Akhirnya, Khabbab memberikan jawabannya setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tidak dapat dipancing-pancing. Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukanlah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, melainkan karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang.

Dalam keadaan masih terharu dan terpesona, serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, ia mengatakan, “Benar, saya telah melihat dan mendengarnya. Saya menyaksikan kebenaran terpancar dari dirinya, dan cahaya terang dari tutur katanya.”

Sekarang, orang-orang Quraisy yang memesan senjata itu mulai mengerti. Salah seorang di antara mereka berteriak, "Siapa dia orang yang kau katakan itu, wahai budak Ummu Anmar?"

Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menjawab, "Siapa lagi, wahai Arab sahabatku? Siapa lagi di antara kaum kalian yang dari dirinya terpancar kebenaran dan dari tutur katanya memancarkan cahaya selain dia seorang?”

Seorang lainnya berteriak dan tampak gusar, "Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad."

Khabhab menganggukkan kepalanya dengan penuh kegembiraan dan berkata, “Benar, dialah utusan Allah kepada kita untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Khabbab tidak ingat lagi apa yang dia ucapkan atau yang diucapkan orang kepadanya. Ia pingsan beberapa saat lamanya dan ketika sadar, ia mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tidak ada lagi, sedangkan tubuh bengkak-bengkak dan tulang tulangnya terasa sakit. Darah mengalir membasahi pakaian dan tubuhnya. Kedua matanya memandang ke sekelilingnya dengan tajam. Sepertinya tempat itu terlalu sempit untuk pandangannya yang mulai terbuka.

Dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di muka pintu rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedangkan kedua matanya yang cerdas berkelana jauh, menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan dan kiri. Pandangannya bukan berhenti sampai pada dimensi yang biasa dikenal oleh manusia, melainkan hendak menembus dimensi yang hilang pada diri manusia. Kedua matanya itu ingin menyelidiki dimensi yang selama ini hilang dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di Mekkah dan orang-orang di manapun dan kapanpun.

Mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad pada hari itu merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju dimensi yang hilang dalam kehidupan seluruh umat manusia? Demikianlah, Khabbab tenggelam dalam renungan dan pemikiran mendalam. Setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan bersiap untuk menerima siksaan dan penderitaan baru.

Mulai saat itu, Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Ia mendapatkan kedudukan itu di antara orang-orang yang walaupun miskin dan tidak berdaya berani tegak menghadapi kesombongan, kezaliman, dan kegilaan Quraisy. Ia memperoleh kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran, sebagai berita gembira tibanya hari-hari bagi orang tertindas yang tidak berdaya.

Mereka semua akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya. Dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tanggung jawab semua itu sebagai seorang perintis.

Asy-Sya'bi mengatakan, "Khabbab menunjukkan ketabahannya, hingga tidak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga dagingnya terbakar."

Orang-orang Kafir Quraisy telah mengubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang disediakan sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka memasukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian melilitkan ke tubuh, kedua tangan dan kedua kaki Khabbab.

Suatu hari ia pergi bersama rekan-rekannya yang senasib dalam penderitaan menemui Rasulullah, tetapi bukan karena kecewa dan kesal atas pengorbanan selama ini. melainkan karena mengharapkan keselamatan. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memintakan pertolongan bagi kami?" Agar lebih jelas, mari kita dengarkan Khabbab menceritakan langsung kepada kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri:

“Kami pergi mengadu kepada Rasulullah yang ketika itu sedang tidur berbantalan kain burdahnya dibawah naungan Ka'bah. Kami berkata kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memintakan pertolongan bagi kami?’

Rasulullah pun duduk. Muka beliau berubah merah, lalu sabdanya, 'Sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang disiksa, tubuhnya dikubur hingga sebatas leher ke atas, lalu sebuah gergaji diambil untuk menggergaji kepalanya. Namun, siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari agamanya. Ada pula yang disikat antara daging dan tulang-tulangnya dengan sikat besi. Siksaan itu juga tidak dapat menggoyahkan keimanannya. Sungguh, Allah benar-benar akan menyempurnakan urusan ini, hingga seorang pengembara dapat bepergian dari Sana'a ke Hadramaut, dan tidak ada yang ditakutkan selain Allah 'Azza wa lalla, walaupun serigala berada di antara hewan gembalaannya. Namun, sayang, kalian terburu-buru."

Khabbab dengan rekan-rekannya yang mendengarkan kata-kata itu bertambah keimanan dan keteguhan hati mereka. Mereka semua berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya ketabahan, kesabaran dan pengorbanan yang diharapkan dari mereka.

Demikianlah Khabbab menanggung penderitaan dengan sabar, tabah dan tawakal. Orang-orang Quraisy terpaksa meminta bantuan Ummu Anmar, yang tidak lain bekas majikan Khabbab yang telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun tangan dan turut mengambil bagian dalam menyiksanya. Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu menaruhnya di atas kepala dan ubun-ubun Khabbab, sementara Khabbab menggeliat kesakitan. Tetapi, nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa puas dan gembira.

Suatu hari Rasulullah lewat di hadapannya, saat besi yang membara di atas kepalanya membakar dan memanggangnya. Dada Rasulullah terasa sesak karena pilu dan iba. Tetapi, apa yang dapat diperbuat oleh Rasulullah untuk menolong Khabbab waktu itu? Tidak ada, selain meneguhkan hati dan mendoakannya. Pada saat itu Rasulullah mengangkat kedua belah telapak tangannya ke arah langit dan bersabda, "Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khabbab. "

Allah pun berkehendak hanya selang beberapa hari setelah itu. Ummu Amnar menerima hukuman balasan yang disegerakan di dunia ini, seolah-olah hendak dijadikan peringatan oleh Dzat Yang Mahakuasa, baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo lainnya. Dia diserang oleh semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. Menurut keterangan ahli sejarah, ia melolong seperti anjing. Ada yang menyatakan kepadanya bahwa satu-satunya obat yang dapat menyembuhkannya ialah menyeterika kepalanya dengan besi menyala. Akhirnya, kepalanya yang angkuh itu menjadi sasaran besi panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang.

Jika orang-orang Quraisy hendak mematahkan keimanan dengan siksa, orang-orang beriman mengatasi siksaan itu dengan pengorbanan. Khabbab adalah salah seorang yang dipilih oleh takdir untuk menjadi guru besar dalam ilmu tebusan dan pengorbanan. Bisa dikatakan bahwa seluruh waktu dan masa hidupnya dibaktikannya untuk agama yang panji-panjinya mulai berkibar.

Pada masa-masa dakwah pertama, Khabbab tidak merasa cukup dengan hanya ibadah dan shalat semata, tetapi ia juga memanfaatkan kemampuannya mengajar. Ia mendatangi rumah sebagian sahabatnya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka karena takut kekejaman Quraisy, lalu membacakan dan mengajarkan ayat-ayat AlQur'an kepada mereka. Ia mencapai kemahiran dalam belajar Al Qur'an yang diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat.

Bila terhadap Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah bersabda tentang dirinya, “Barang siapa ingin membaca Al-Qur'an tepat sebagaimana diturunkan, hendaklah ia meniru bacaan Ibnu Ummi Abdin," maka kita katakan pula, "Abdullah bin Mas'ud menganggap Khabbab sebagai nara sumber mengenai soal-soal yang berkaitan dengan Al Qur'an, baik tentang hafalan maupun pelajarannya."

Khabbab pula yang mengajarkan Al-Qur'an kepada Fathimah binti Al-Khatthab dan suaminya Sa'id bin Zaid ketika mereka dipergoki oleh Umar bin Al Khatthab (sebelum ia masuk islam, -peny.) yang datang dengan pedang di pinggang untuk membuat perhitungan dengan Islam dan Rasulullah. Tetapi, ketika dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang tertulis pada lembaran yang dipergunakan oleh Khabbab untuk mengajar, ia pun berseru dengan suaranya yang diberkahi, “Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad!"

Ketika Khabbab mendengar ucapan Umar itu, ia segera keluar dari tempat persembunyiannya, dan berkata, "Wahai Umar, Demi Allah, aku berharap semoga engkaulah orang yang telah dipilih oleh Allah dalam memperkenankan permohonan Nabi Nya. Karena, kemarin aku mendengar beliau memohon, ‘Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang di antara dua lelaki yang lebih Engkau sukai: Abul Hakam bin Hisyam atau Umar bin Al-Khatthab'.”


Umar langsung menyahut, “Di mana aku dapat menemui orang ini, wahai Khabbab?"

Khabbab menjawab. “Di Shafa, di rumah Arqam bin Abul Arqam."

Umar pun bergegas pergi untuk mendapatkan keuntungan yang tidak terkira, menemui awal nasibnya yang bahagia.

Khabbab bin Al-Arat menyertai Rasulullah dalam semua pertempuran, dan selama hayatnya ia tetap membela keimanan dan keyakinannya. Ketika Baitul Mal melimpah ruah dengan harta kekayaan pada masa pemerintahan Umar dan Utsman, Khabbab mendapat gaji besar karena termasuk golongan Muhajirin yang masuk Islam lebih awal. Penghasilannya yang cukup ini memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya disimpan pada suatu tempat di rumah itu, yang dikenal oleh para sahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara mereka ada sesuatu keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukannya dari tempat itu.

Meski demikian, Khabbab tidak pernah tidur nyenyak dan air matanya tidak pernah kering setiap teringat Rasulullah dan para sahabatnya yang telah membaktikan hidupnya kepada Allah. Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi kaum muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka. Dengarkanlah pembicaraannya dengan para pengunjung yang datang menjenguknya ketika ia sedang sakit yang membawa ajalnya.

Mereka berkata kepadanya, “Berbahagialah, wahai Abu Abdullah karena engkau akan menjumpai sahabat-sahabatmu."

Khabbab pun menjawab sambil menangis, “Tidak ada yang membuatku khawatir, tetapi kalian telah mengingatkanku kepada para sahabat dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa semua amal bakti mereka, sebelum mereka mendapatkan ganjaran di dunia sedikit pun juga. Sementara kita..., kita masih tetap hidup dan mendapat kekayaan dunia, hingga tidak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali tanah."

Kemudian ia menunjukkan rumah sederhana yang telah dibangunnya itu, lalu menunjukkan tempat untuk menaruh harta kekayaannya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tidak pernah menghalanginya terhadap siapa pun yang meminta."

Setelah itu ia menoleh kepada kain kafan yang telah disediakan orang untuknya. Ketika ia melihat kain itu mewah dan berlebih-lebihan, ia berkata sambil meneteskan air mata, “Lihatlah ini kain kafanku. Bukankah kain kafan Hamzah paman Rasulullah ketika gugur sebagai salah seorang syuhada hanyalah burdah berwarna abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya, sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya?"

Khabbab wafat pada tahun 37 H. Dengan demikian ahli pembuat pedang pada masa jahiliah itu telah tiada. Guru besar di bidang pengabdian dan pengorbanan dalam Islam itu telah berpulang. Kini telah meninggal seorang laki-laki yang termasuk dalam kelompok yang terhadap mereka Al-Qur'an turun untuk membela dan melindungi, ketika sebagian orang terhormat dari kaum Quraisy menuntut agar Rasulullah menyediakan hari-hari khusus untuk mereka, sedangkan bagi orang-orang miskin seperti Khabbab, Shuhaib, dan Bilal mendapat jatah hari yang lain.

Ternyata, Al Qur'an yang mulia berpihak kepada hamba-hamba Allah yang miskin tersebut untuk memuji dan memuliakan mereka. Ayat-ayat Al Qur'an berkumandang menyatakan kepada Rasul yang mulia:

"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan Nya. Kamu tidak memikul tanggungjawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggungjawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang orang yang zalim).

Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman).

'Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?'

Apabila orang orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, 'Salamun 'alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas Diri Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-An'am: 52-54)

Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah sangat memuliakan mereka. Beliau membentangkan kain untuk mereka dan merangkul bahu, serta bersabda, "Selamat datang untuk orang-orang yang diriku diberi wasiat oleh Allah untuk memperhatikan mereka."

Sungguh, salah seorang putra terbaik yang hidup pada masa wahyu turun dan generasi yang rela berkorban itu telah wafat. Mungkin kata-kata terbaik yang kita ucapkan untuk melepas tokoh ini, ialah kata-kata yang diucapkan oleh Ali ketika ia kembali dari Perang Shiffin, yang ketika itu pandangannya tertuju pada sebuah makam yang basah dan segar. Ia bertanya, "Makam siapa ini?" Orang-orang menjawab. “Makam Khabbab.” Ali pun merenung lama sekali dengan hati yang khusyuk dan berduka, lalu berkata:

"Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Khabbab

Menganut Islam dengan penuh semangat

Berhijrah semata-mata karena taat

Dan hidup sebagai pelaku jihad.“

Abu Ubaidah bin Al-Jarroh_Orang Kepercayaan Umat_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 25)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah dengan tangan kanannya sambil bersabda mengenai pribadinya, "Setiap umar mempunyai orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah."

Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur Dzatus Salasil sebagai bala bantuan bagi pasukan Amr bin Al-Ash, dan ia diangkat sebagai panglima pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar.

Siapakah sahabat yang mula pertama disebut sebagai amirul umara ini?

Siapakah orang yang tinggi perawakannya, tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan dua giginya ompong kena panah?

Siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga Umar bin Al Khatthab ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir berkata mengenai pribadinya, "Seandainya Abu Ubaidah bin Jarrah masih hidup, ia pasti menjadi bagian di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Jika Rabbku menanyakan hal itu, aku akan menjawab, 'Saya telah mengangkat orang kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya'."

Orang tersebut adalah Abu Ubaidah, yakni Amir bin Abdullah bin Al Jarrah. Ia masuk lslam melaluiAbu Bakar Ash Shiddiq pada awal kerasulan, yakni sebelum Rasulullah mengambil rumah Al-Arqam sebagai tempat dakwah. la ikut hijrah ke Habasyah pada kali yang kedua. Ia kembali pulang dengan tujuan agar dapat mendampingi Rasulullah di Perang Badar. Perang Uhud, dan pertempuran lainnya. Sepeninggal Rasulullah, ia melanjutkan jalan hidupnya sebagai seorang yang kuat dan dipercaya mendampingi Abu Bakar dan juga Umar dalam urusan pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam fokus pada tanggung jawab keagamaan, dengan penuh kezuhudan dan ketakwaan serta keteguhan dan amanah.

Ketika Abu Ubaidah berbaiat kepada Rasulullah untuk membaktikan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya makna tiga kata yang terangkai menjadi sebutan “di jalan Allah". Ia telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan segala upaya dan pengorbanan yang dibutuhkan di jalan tersebut. Sejak ia mengulurkan tangannya untuk berbaiat kepada Rasulullah, ia tidak melihat dirinya, hari-hari yang dijalani, dan seluruh hidupnya selain sebagai sebuah amanah yang dititipkan Allah kepadanya dan harus dibaktikan di jalanNya demi mencapai keridhaan Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyelewengkannya dari jalan Allah.

Ketika Abu Ubaidah telah menepati janji seperti yang dilakukan oleh para sahabat lainnya, Rasulullah melihat perilaku hati nurani dan tata cara hidupnya layak untuk menerima gelar mulia yang disematkan serta dihadiahkan Rasulullah kepadanya, dengan sabdanya, ”Orang kepercayaan umat ini ialah Abu Ubaidah bin Al Jarrah." Amanah yang telah ditunaikan oleh Abu Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol.

Pada Perang Uhud, ia dapat melihat dari gerak-gerik dan jalan pertempuran bahwa tujuan utama orang-orang musyrik itu bukanlah hendak merebut kemenangan, melainkan untuk menghabisi dan merenggut nyawa Nabi. Ia berjanji kepada dirinya akan selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu. Dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke depan menyerbu tentara paganis yang datang dengan kezaliman dan permusuhan untuk memadamkan cahaya Allah. Setiap situasi pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah, ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari posisi Rasulullah.

Ia selalu memantau keselamatan beliau dengan perasaan cemas dan gelisah. Jika ia melihat ada bahaya datang mengancam Nabi, ia bagai disentakkan dari tempat berdirinya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakan beliau.

Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh, tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya. Ia hampir saja kehilangan akal sehatnya ketika melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik mengenai Nabi.

Pedangnya yang sebilah itu terlihat berkelebatan tidak ubahnya bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga mencerai beraikan mereka. Lalu ia terbang melompat untuk mendekati ke posisi Rasulullah. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajah, dan beliau menghapus darah itu dengan tangan kanan sambil bersabda. "Bagaimana mungkin suatu kaum yang melukai wajah Nabi mereka akan berbahagia, padahal ia menyerunya kepada Rabb mereka?"

Abu Ubaidah melihat dua buah mata rantai pengikat topi besi pelindung kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipi. Abu Ubaidah tidak dapat menahan gejolak hati, ia segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi serinya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, dan bersamaan dengan itu satu gigi seri Abu Ubaidah copot. Setelah itu ia menarik mata rantai yang kedua dan juga menyebabkan satu lagi gigi serinya copot.

Sekarang, mari kita serahkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menceritakan peristiwa itu dengan kata-katanya, "Pada waktu Perang Uhud, saat Rasulullah ditimpa anak panah hingga dua buah mata rantai pengikat topi besi pelindung kepala menancap ke pipi beliau bagian atas, aku segera berlari ke arah Rasulullah. Namun, ternyata ada seorang yang datang bagaikan terbang dari arah timur. Aku pun berkata, 'Ya Allah, semoga itu merupakan pertolongan.'

Ketika kami sampai di tempat Rasulullah, ternyata orang tersebut adalah Abu Ubaidah yang telah mendahuluiku ke sana. Ia berkata, 'Atas nama Allah, saya meminta izin kepadamu, wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah'

Saya pun membiarkannya, dan dengan gigi seri, Abu Ubaidah mencabut salah satu mata rantai pengikat topi besi pelindung kepala beliau itu hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu sebuah gigi seri Abu Ubaidah juga jatuh. Kemudian ia menarik mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga tercabut pula, sehingga menyebabkan Abu Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi ompong."

Ketika tanggung jawab para sahabat bertambah besar dan meluas, amanah dan kejujuran Abu Ubaidah pun semakin meningkat. Tatkala ia dikirim oleh Nabi dalam Perang Daun Khabath memimpin lebih dari 300 orang prajurit dengan perbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, padahal itu merupakan tugas yang berat dan jarak yang akan ditempuh sangat jauh, Abu Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Ia bersama anak buahnya pergi ke tempat yang dituju, dan jatah perbekalan setiap prajurit setiap harinya hanya segenggam kurma.

Setelah bekal hampir habis, bagian tiap-tiap prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Dan tatkala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut khabath. Mereka menumbuk daun itu hingga halus seperti tepung dengan menggunakan senjata. Selain dijadikan sebagai bahan makanan, daun-daun tersebut juga mereka gunakan sebagai wadah untuk minum. Itulah sebabnya perang ini disebut Perang Daun Khabath.

Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, tidak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya. yakni tugas yang dititahkan oleh Rasulullah kepada mereka. Rasulullah sangat sayang kepada Abu Ubaidah sebagai orang kepercayaan umat, dan beliau sangat terkesan kepadanya.

Ketika utusan Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur'an, As Sunnah, dan Islam, Rasulullah bersabda, “Sungguh, aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya..., benar benar terpercaya..., benar-benar terpercaya."

Para sahabat mendengar pujian yang keluar dari lisan Rasulullah ini, dan masing-masing berharap agar pilihan jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Umar bin Al Khatthab menceritakan peristiwa ini sebagai berikut, “Aku tidak pernah berangan-angan menjadi pemimpin, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat cepat berangkat untuk shalat Zuhur. Ketika Rasulullah selesai shalat Zuhur mengimami kami, beliau mengucapkan salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan kiri.

Aku pun menegakkan badan agar kelihatan oleh beliau. Tetapi beliau tetap saja melayangkan pandangannya dan mencari-cari, hingga akhirnya Abu Ubaidah tampak oleh beliau, maka beliau memanggilnya lalu bersabda, 'Pergilah bersama mereka dan putuskanlah perselisihan yang terjadi di antara mereka dengan benar.' Abu Ubaidah pun berangkat bersama orang-orang itu."

Dengan peristiwa tersebut tentu saja tidak berarti bahwa Abu Ubaidah merupakan satu-satunya orang yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedangkan lainnya tidak. Maksudnya ialah seorang yang beruntung mendapatkan kepercayaan yang berharga serta tugas mulia itu. Selain itu, ia adalah salah seorang, atau mungkin satu-satunya orang, yang pada waktu itu suasana kerja dan dakwah yang ada memang mengizinkannya untuk meninggalkan Madinah guna mengemban tugas yang cocok dengan bakat dan kemampuannya.

Sebagaimana Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan pada masa Rasulullah, setelah beliau wafat pun ia tetap sebagai orang kepercayaan untuk memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajar apabila ia menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia. Di bawah panji-panji Islam, ia adalah sebagai prajurit di manapun ia berada. Dengan keutamaan dan keberaniannya, dalam posisi ini ia melebihi seorang panglima. Saat ia bertugas sebagai panglima, keikhlasan dan kerendahan hatinya telah membuatnya tidak lebih dari seorang prajurit biasa.

Tatkala Khalid bin Al-Walid sedang memimpin tentara islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentukan, dan tiba-tiba Amirul Mukminin Umar memaklumkan titahnya untuk mengangkat Abu Ubaidah sebagai pengganti Khalid. Ketika Abu Ubaidah menerima berita itu dari utusan Khalifah, ia meminta kepada utusan tersebut agar merahasiakan berita itu dari pendengaran orang-orang. Ia sendiri juga merahasiakan berita itu sebagai sebuah niat baik yang muncul dari dada seorang yang zuhud, arif, dan terpercaya hingga panglima Khalid merebut kemenangan besar.

Setelah kemenangan diraih, ia menjumpai Khalid dengan etika yang mulia untuk menyerahkan surat dari Amirul Mukminin. Khalid bertanya kepadanya, “Semoga Allah merahmatimu, wahai Abu Ubaidah, Apa sebabnya engkau tidak menyampaikannya kepadaku pada saat surat ini tiba?"

Maka orang kepercayaan umat ini menjawab, “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombakmu. Bukan kekuasaan dunia yang kita cari dan bukan pula untuk dunia kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah."

Abu Ubaidah akhirnya menjadi pucuk pimpinan pada komandan perang di Syam yang melindungi wilayah yang luas, dengan kuantitas amunisi dan personel yang sangat besar. Tetapi, bila Anda melihatnya, Anda pasti akan mengira bahwa ia tidak ada bedanya dengan prajurit biasa serta sosoknya terlihat sama dengan kaum muslimin lainnya.

Ketika ia mendengar perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan kekaguman mereka terhadap sebutan amirul umara', ia pun mengumpulkan mereka lalu ia berdiri untuk menyampaikan pidato. Perhatikanlah oleh Anda apa yang diucapkan kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, kebesaran, dan amanahnya, “Wahai umat manusia, saya ini adalah seorang Muslim dari suku Quraisy. Siapa saja di antara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam, yang lebih takwa daripada diri saya, hati saya ingin sekali berada dalam bimbingannya."

Semoga Allah melanggengkan kebahagiaanmu, wahai Abu Ubaidah. Semoga Dia mengekalkan agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu. Seorang Muslim dari suku Quraisy, tidak kurang, tidak lebih ucapanmu itu.

Agama: Islam. Suku: Quraisy. Hanya inilah keinginannya, tidak lain. Adapun kedudukannya sebagai panglima besar, ia adalah komandan tentara Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya. Begitupun sebagai wali (gubernur) negeri di wilayah Syam, yang semua kehendaknya berlaku dan perintahnya ditaati, semua itu dan yang semacamnya tidak akan menggoyahkan ketakwaannya sedikitpun, dan tidak dijadikan sebagai kebanggaan.

Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab datang berkunjung ke Syam, dan kepada para penyambutnya, ia bertanya, “Di mana saudara saya?"

Mereka balik bertanya, "Siapa?" Umar menjawab, “Abu Ubaidah bin Al-Jarrah."

Kemudian Abu Ubaidah datang dan Amirul Mukminin pun bergegas memeluknya. Setelah itu, mereka berdua pergi ke rumah Abu Ubaidah. Ternyata, di rumahnya tidak ditemukan satu pun perabot rumah tangga, kecuali hanya pedang, tameng, serta pelana binatang tunggangannya.

Umar bertanya kepadanya sembari tersenyum, “Mengapa engkau tidak mengambil bagian untuk dirimu sendiri sebagaimana dilakukan oleh orang lain?"

Abu Ubaidah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, keadaan ini telah menyebabkan hatiku lega dan merasa tenang."

Suatu hari di Madinah, tatkala Amirul Mukminin Umar Al-Faruq sibuk menangani urusan dunia Islam yang luas, tiba-tiba ada orang yang menyampaikan berita berkabung atas kewafatan Abu Ubaidah. Kedua mata Umar pun terpejam dan dipenuhi linangan air. Air matanya terus mengalir, hingga akhirnya Amirul Mukminin membuka matanya dengan tawakal dan berserah diri.

Umar memohonkan rahmat bagi sahabatnya itu, dan membangkitkan kenangan-kenangan lamanya bersama mendiang Abu Ubaidah yang ditampungnya dengan hati yang sabar karena diliputi duka. Kemudian Umar menyampaikan ucapan berkenaan sahabatnya itu, “Seandainya aku harus berharap, tidak ada harapanku selain sebuah rumah yang penuh didiami oleh tokoh-tokoh seperti Abu Ubaidah."

Orang kepercayaan dari umat ini wafat di atas bumi Persia yang telah disucikannya dari paganisme dan barbarisme Romawi. Sekarang ini, di pangkuan bumi Yordania, bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan. Walaupun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, itu tidak penting bagi dia dan Anda, karena seandainya Anda hendak mencapainya, Anda tidak memerlukan petunjuk jalan karena jasa jasanya yang tidak terkira akan menuntun Anda ke tempatnya itu.

Utsman bin Mazh'un_Tokoh yang Mengabdikan Seluruh Hidupnya untuk Ibadah_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 26)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Seandainya Anda hendak menyusun daftar nama sahabat Rasulullah  menurut urutan masa masuknya ke dalam agama Islam, maka pada urutan keempat belas ditempati oleh Utsman bin Mazh'un. Anda perlu tahu bahwa Utsman bln Mazh'un ini merupakan muhajir pertama yang wafat di Madinah, sekaligus sebagai orang Islam pertama yang dimakamkan di Baqi'.

Hal penting terakhir yang harus Anda ketahui bahwa sahabat mulia yang sedang Anda telaah riwayat hidupnya sekarang ini Ialah "seorang suci" yang agung, tetapi bukan dari kalangan yang suka mengisolasi diri, dan sebaliknya merupakan orang suci yang terjun di arena kehidupan. Kesuciannya itu berupa amal yang tidak henti-hentinya dalam menempuh jalan kebenaran, serta ketekunannya yang pantang menyerah dalam mencapai kemaslahatan dan kebaikan.

Ketika agama Islam cahayanya mulai menyinar dari hati Rasulullah dan kalimat-kalimat yang disampaikannya di beberapa majelis, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, Utsman bin Mazh'un adalah salah seorang dari beberapa gelintir manusia yang segera menerima panggilan Ilahi dan bergabung ke dalam kelompok pengikut Rasulullah. Ia pun ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagaimana dialami oleh orang beriman lainnya dari kalangan orang-orang yang berhati tabah dan sabar.

Ketika Rasulullah mengutamakan keselamatan orang-orang beriman dari kalangan bawah dan teraniaya ini, dengan jalan menyuruh mereka berhijrah ke Habasyah, sedangkan beliau siap menghadapi bahaya seorang diri, Utsman bin Mazh'un terpilih sebagai pemimpin rombongan hijrah pertama ini. Dengan membawa putranya yang bernama Saib, ia menatap ke depan dan melangkahkan kaki ke suatu negeri yang jauh, guna menghindari muslihat musuh Allah, Abu Jahal, serta kebuasan dan kekejaman orang-orang Quraisy lainnya.

Seperti yang terjadi pada orang-orang yang berhijrah ke Habasyah lainnya, baik hijrah pertama maupun kedua, tekad dan kemauan Utsman untuk berpegang teguh pada Islam kian bertambah besar. Memang benar bahwa hijrah ke Habasyah sebanyak dua kali itu telah membentuk sebuah fenomena yang unik dan gemilang dalam urusan umat Islam. Orang-orang yang beriman dan mengakui kebenaran Rasulullah serta mengikuti cahaya Ilahi yang diturunkan kepada beliau benar-benar merasa muak terhadap pemujaan berhala dengan segala kesesatan dan kebodohannya. Dalam diri mereka semua telah tertanam fitrah yang benar yang tidak bersedia lagi menyembah patung-patung yang dipahat dari batu atau dibentuk dari tanah liat.

Ketika mereka berada di Habasyah, mereka menghadapi agama yang teratur dan tersebar luas, lengkap dengan gereja-gereja dan pendeta-pendetanya. Agama itu jauh dari agama berhala yang telah mereka kenal di negeri mereka, begitu juga cara penyembahan patung-patung dengan bentuknya yang tidak asing lagi serta dengan upacara-upacara ibadat yang biasa mereka saksikan di kampung halaman mereka. Orang-orang gereja di negeri Habasyah itu tentu saja telah berupaya sekuat daya untuk menarik orang-orang yang berhijrah tersebut ke dalam agama mereka, dan meyakinkan kebenaran agama Masehi. Namun, semua yang kita sebutkan tersebut justru mendorong para sahabat yang berhijrah tersebut semakin teguh dan tidak beranjak dari kecintaan mereka yang mendalam terhadap Islam dan Muhammad, Rasulullah.

Dengan hati rindu dan gelisah mereka menunggu suatu saat yang telah dekat, untuk dapat pulang ke kampung halaman tercinta, untuk beribadat kepada Allah Yang Maha Esa dan berdiri di belakang Nabi yang agung, baik dalam masjid kala damai maupun di medan tempur saat mempertahankan diri dari ancaman kaum musyrikin.

Demikianlah, para sahabat tinggal di Habasyah dalam keadaan aman dan tenteram, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh'un yang dalam perantauannya itu tidak dapat melupakan rencana-rencana jahat saudara sepupunya, Umayah bin Khalaf dan pedihnya siksa yang ditimpakan atas dirinya. Karena itu, ia menghibur dirinya dengan menggubah syair yang berisikan sindiran dan peringatan terhadap saudaranya itu, Ia berkata:

"Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya

Kamu meruncingkannya setajam-tajamnya

Kamu memerangi orang-orang yang suci lagi mulia

Kamu mencelakakan orang-orang yang berwibawa

Ingatlah suatu saat bahaya datang menimpa

Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata

Ketika orang-orang muhajirin di tempat mereka hijrah itu beribadah kepada Allah dengan tekun serta mempelajari ayat-ayat Al Qur'an yang ada pada mereka, dengan semangat yang selalu menggelora meskipun berada di negeri orang, tiba-tiba mereka mendengar berita bahwa orang-orang Quraisy telah menganut Islam, dan mengikuti Rasulullah, bersujud kepada Allah.

Berita tersebut membangkitkan semangat mereka untuk mengemasi barang-barang dan bergegas berangkat ke Mekkah, bersama kerinduan dan kecintaan kepada kampung halaman. Namun, ketika mereka sampai di dekat tempat tujuan, ternyata berita tentang masuk Islamnya orang-orang Quraisy itu hanyalah dusta belaka. Mereka merasa sangat kecewa karena telah berlaku ceroboh dan tergesa-gesa. Tetapi, apakah mungkin mereka akan kembali, sedangkan Mekkah telah berada di hadapan mereka?

Di pihak lain, orang-orang musyrik di kota Mekkah telah mendengar kedatangan buronan yang telah lama mereka kejar-kejar dan mereka telah memasang jebakan untuk menangkapnya. Kini mereka telah masuk ke dalam jebakan Quraisy dan nasib telah membawa mereka ke tempat ini.

Pada waktu itu, suaka atau jaminan keamanan merupakan salah satu tradisi Arab yang dijunjung tinggi dan dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, berarti ia berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tidak boleh ditumpahkan dan keamanan dirinya tidak perlu dikhawatirkan. Namun, orang-orang yang mencari perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk mendapatkannya.

Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh'un yang berada dalam perlindungan Al Walid bin Al Mughirah. Ia masuk ke Mekkah dalam keadaan aman dan tenteram, dan menyeberangi jalan serta gang gangnya, menghadiri tempat-tempat pertemuan tanpa khawatir akan kezaliman dan bahaya.

Ibnu Mazh'un, laki laki yang ditempa Al Qur'an dan dididik oleh Muhammad ini, memperhatikan keadaan sekelilingnya. la melihat saudara-saudara sesama Muslimin yang berasal dari kalangan fakir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya tidak bisa memperoleh perlindungan karena tidak ada orang yang sedia melindungi mereka. Ia melihat mereka dihadang oleh bahaya dari segala jurusan, dikejar kezaliman dari setiap jalan. Sementara itu, ia sendiri aman tenteram, terhindar dari gangguan bangsanya. Ruhnya yang biasa bebas itu berontak dan perasaannya mulai bergejolak. Ia menyesal atas tindakan yang telah diambilnya.

Utsman keluar dari rumahnya dengan niat yang bulat dan tekad yang pasti hendak menanggalkan perlindungan dari Al Walid. Selama itu perlindungan tersebut memang membuatnya aman derita di jalan Allah yang sebenarnya terasa nikmat. Ia seperti kehilangan rasa senasib sepenanggungan bersama saudaranya kaum muslimin yang merupakan tunas-tunas dunia dalam keimanan dan generasi alam baru yang esok pagi akan terpancar cahaya ke seluruh penjuru, cahaya keimanan, dan ketauhidan.

Baiklah, mari kita dengar cerita dari saksi mata yang melukiskan bagi kita peristiwa yang telah terjadi, yang menuturkan, "Ketika Utsman bin Mazh'un menyaksikan penderitaan yang dialami oleh para sahabat Rasulullah, sedangkan ia sendiri bebas ke mana saja dengan aman dan tenteram berkat perlindungan Al-Walid bin Al Mughirah, ia pun berkata, 'Demi Allah, sungguh ini adalah kerugian besar bagiku karena aku bisa bebas ke mana pun dalam keadaan aman disebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedangkan rekan-rekan seagama menderita azab dan siksa yang tidak kualami.'

Lalu ia pergi mendapatkan Al Walid bin Al-Mughlrah dan berkata, 'Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindunganmu dan sekarang ini aku melepaskan diri dari perlindunganmu itu.’ Walid bertanya. Mengapa wahai keponakanku? Apakah ada salah seorang anak buahku yang mengganggumu?’

Utsman menjawab, 'Tidak, hanya saja saya ingin berlindung kepada Allah, dan tidak suka lagi kepada selain diri Nya. Karenanya, pergilah ke masjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka, seperti engkau dahulu mengumumkan perlindungan terhadap diriku!'

Mereka berdua akhirnya pergi ke masjid, lalu Al-Walid berkata, ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan terhadap dirinya.'

Utsman menyahut, 'Betul, seperti yang dikatakan itu. Ia memang seorang yang memegang teguh janjinya. Hanya saja aku berkehendak agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada Allah Ta'ala.'

Setelah itu Utsman pun bergegas pergi, sedangkan di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi'ah menggubah sebuah syair dan melagukannya di hadapan mereka, hingga membuat Utsman tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka.

Lubaid berkata, 'Ingatlah bahwa apa pun yang terdapat di bawah kolong langit ini selain daripada Allah adalah batil.’

'Benar ucapan Anda itu.' kata Utsman menanggapinya. Lubaid berkata lagi. 'Semua kesenangan, pasti lenyap dan sirna.' 'Itu dusta, karena kesenangan surga tidak akan lenyap.' sahut Utsman.

Lubaid berkata, 'Wahai orang-orang Quraisy! Demi Allah, tidak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagaimana sikap kalian kalau ini terjadi?'

Salah seorang di antara mereka berkata. 'Si dungu ini telah meninggalkan agama kita. Jadi, tidak usah digubris apa ucapannya?'

Utsman membalas ucapannya itu hingga di antara mereka terjadi pertengkaran. Orang tersebut tiba-tiba bangkit mendekati Utsman lalu memukulnya hingga tepat mengenai matanya, sedangkan Al Walid bin Al Mughirah masih berada di dekat itu dan menyaksikan apa yang terjadi.

Ia berkata kepada Utsman, “Wahai keponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, itu berarti benteng perlindunganmu sangat tangguh."

Utsman menjawab, “Tidak, bahkan mataku yang sehat ini juga sangat membutuhkan pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah. Sungguh, wahai Abu Abdi Syams, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripada dirimu."

Walid berkata, "Ayolah Utsman, jika kamu berkenan, kembalilah masuk ke dalam perlindunganku."

"Terima kasih!” jawab Ibnu Mazh'un menolak tawaran itu.

Ibnu Mazh'un meninggalkan tempat itu, tempat terjadinya peristiwa tersebut dengan mata yang pedih dan kesakitan, tetapi jiwanya yang besar memancarkan keteguhan hati dan kesejahteraan serta penuh harapan. Di tengah jalan menuju rumahnya dengan gembira ia mendendangkan syair:

Andaikata dalam mencapai ridha Ilahi

Mataku ditinju tanganjahil orang mulhid

Maka Dzat Yang Maha Pengasih telah menyediakan Imbalannya

Karena, siapa yang diridhai-Nya pasti berbahagia

Wahai umat, walau menurut katamu aku ini sesat

Aku akan tetap dalam agama Rasul, Muhammad

Tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan agama yang benar

Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena mena

Seperti itulah cara Utsman bln Mazh'un memberikan contoh dan teladan utama yang memang layak dan sewajarnya. Demikian pula lembaran kehidupan ini menyaksikan suatu pribadi utama yang telah menyemarakkan wujud ini dengan harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa dan kata-kata bersayapnya yang abadi dan mempesona, “Demi Allah, sebelah mataku yang sehat ini sangat merindukan pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah dan saat ini aku berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripada dirimu."

Setelah Utsman mengembalikan perlindungan kepada Al-Walid, ia pun mendapatkan siksaan dari orang-orang Quraisy. Tetapi, dengan itu ia tidak merana, sebaliknya bahagia. Siksaan itu tidak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni. Ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya.

Utsman berhijrah ke Madinah hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab, Umayah, Utbah, atau oleh tokoh-tokoh Quraisy lainnya yang sejak lama telah menyebabkan mereka tidak dapat menidurkan mata di malam hari, dan bergerak bebas di siang hari. la berangkat ke Madinah bersama rombongan para sahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian yang telah mencapai puncak kesulitan dan kesukarannya. Dari pintu gerbang yang luas dari kota itu nanti mereka akan melanjutkan pengembaraan ke seluruh pelosok bumi, membawa dan mengibarkan panji-panji Ilahi, serta menyampaikan berita gembira dengan kalimat-kalimat dan ayat-ayat petunjuk-Nya.

Di kota hijrah Al Madinah Al-Munawwarah itu, kepribadian Utsman bin Mazh'un yang tidak ubah bagai batu permata yang telah diasah itu terlihat jelas, dan kebesaran jiwanya yang istimewa tampak nyata. Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Ia adalah orang suci dan mulia lagi bijaksana, yang tidak mengurung diri untuk tidak menjauhi kehidupan duniawi, tetapi orang suci luar biasa yang mengisi kehidupannya dengan amal dan jihad di jalan Allah. Ia adalah seorang rahib pada larut malam, dan prajurit berkuda pada waktu siang, bahkan ia adalah seorang rahib, baik pada waktu siang maupun malam, sekaligus seorang prajurit berkuda yang berjuang siang dan malam.

Bisa dikatakan bahwa para sahabat Rasulullah pada masa itu semuanya berjiwa zuhud dan gemar beribadah, tetapi Ibnu Mazh'un memiliki ciri-ciri khas. Dalam zuhud dan ibadahnya ia sangat tekun dan mampu mencapai puncak tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik siang maupun malam dialihkannya menjadi shalat yang terus menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya. Setelah merasakan manisnya keasyikan beribadah itu, ia hendak memutuskan hubungan dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia. Ia tidak ingin memakai pakaian kecuali yang kasar, dan tidak mau makan makanan selain yang sangat bersahaja.

Suatu hari ia masuk masjid, dengan pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambalnya dengankulit kepala unta saat Rasulullah g sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Hati Rasulullah pun bagaikan disayat melihat itu, dan air mata para sahabat mengalir. Rasulullah bertanya kepada mereka, "Bagaimana pendapat kalian, bila kalian memiliki satu pakaian untuk siang hari dan satu pakaian untuk malam hari, disediakan satu piring hidangan makanan untuk menggantikan piring lain yang telah disingkirkan, serta kalian dapat menutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana ditutupnya Ka'bah?”

Mereka menjawab, “Kami ingin hal itu menjadi kenyataan, wahai Rasulullah, sehingga kita dapat mengalami hidup makmur dan bahagia."

Rasul bersabda, "Sesungguhnya hal itu telah terjadi. Keadaan kalian sekarang ini lebih baik daripada keadaan kalian waktu lalu."

Ibnu Mazh'un yang turut mendengar percakapan itu bertambah tekun menjalani kehidupan yang sederhana dan menghindari sejauh jauhnya kesenangan dunia. Bahkan, menahan diri dan tidak ingin menggauli istrinya seandainya hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah yang segera memanggil dan menyampaikan kepadanya, 'Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu.'

Ibnu Mazh'un sangat disayangi oleh Rasulullah. Rasulullah berada di sisinya ketika ruhnya yang suci bersiap-siap untuk berangkat menghadap Allah, untuk menjadi orang muhajirin pertama yang wafat di Madinah, sekaligus orang pertama yang merintis jalan menuju surga pada masa beliau.

Rasulullah membungkuk menciumi kening Ibnu Mazh'un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata beliau yang diliputi kasih sayang dan duka cita hingga saat kematiannya. Wajah Utsman tampak bersinar ceria. Rasulullah bersabda melepas sahabatnya yang tercinta itu, "Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu, wahai Abu Saib. Engkau pergi meninggalkan dunia, tidak satu keuntungan pun yang kamu peroleh darinya, serta tidak satu kerugian pun yang dideritanya olehmu."

Sepeninggal sahabat ini, Rasulullah yang sangat penyayang itu tidak pernah melupakannya. Beliau selalu mengingat dan memujinya. Bahkan, untuk melepas putri beliau Ruqayyah, yakni ketika nyawanya hendak meninggalkan jasadnya, beliau mengungkapkan, "Pergilah menyusul pendahulu kita yang pilihan, Utsman bin Mazh'un.” []

Zaid bin Haritsah_Cintanya Lebih Besar untuk Rosululloh_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 27)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala


Rasulullah berdiri melepas tentara Islam yang akan berangkat menuju medan Perang Mu'tah, melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan pasukan secara berurutan. Beliau bersabda, “Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Apabila ia gugur, pimpinan akan diambil alih oleh Ja'far bin Abu Thalib; dan seandainya Ja'far gugur pula, komando hendaklah dipegang oleh Abdullah bin Rawahah."

Nah, siapakah Zaid bin Haritsah itu? Bagaimanakah orangnya? Siapakah pribadi yang mendapatkan julukan sebagai orang kesayangan Rasulullah itu? Tampang dan perawakannya biasa saja; pendek dengan kulit cokelat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat. Namun, sejarah hidupnya sangat agung.

Haritsah, yang merupakan ayahanda Zaid telah mempersiapkan kendaraan dan bekal untuk istrinya, Su'da, yang telah lama berniat mengunjungi keluarganya di kampung Bani Ma'an. Ia keluar untuk melepas keberangkatan istrinya yang akan pergi dengan membawa anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Ketika sang suami telah menitipkan istri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan istrinya, dan pulang lagi rumah dan melanjutkan aktivitas kerja, tiba-tiba perasaan sedih menyelinap di hatinya, disertai perasaan aneh, yang menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan istrinya. Tetapi, tempat tinggalnya jauh dan kafilah pun sudah jauh meninggalkan kampung itu. Karena itu, sekarang Haritsah harus rela melepas kepergian putra dan istrinya dalam perjalanan itu.

Ia melepas istri dan anaknya dengan air mata berlinang. Ia diam terpaku sekian lama di tempat berdirinya sampai istri dan anaknya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya terguncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. Ia hanyut dibawa perasaan seolah-holah ikut berangkat bersama rombongan kafilah.

Setelah beberapa lama Su'da berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an, suatu hari desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menyatroni kampung. Akhirnya, kampung Bani Ma'an hancur karena tidak dapat mempertahankan diri. Semua harta yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka ibu Zaid kembali kepada suaminya seorang diri.

Ketika Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia langsung jatuh tidak sadarkan diri. Setelah sadar, ia berjalan mencari anaknya dengan membawa tongkat di pundaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, barang kali di antara mereka ada yang tahu tentang anaknya tersayang sekaligus buah hatinya, Zaid. Tetapi, usaha itu tidak berhasil. Untuk menghibur hati, ia melantunkan syair sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk hati yang sedang tersiksa:

Ku tangisi Zaid, dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya

Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati?

Demi Allah, aku tidak tahu. sungguh aku hanya bertanya

Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa?

Kala matahari terbit aku terkenang padanya

Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma

Hembusan angin membangkitkan kerinduan

Wahai, alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi merana

Sudah berabad-abad lamanya, perbudakan dianggap sebagai suatu yang lazim oleh masyarakat pada zaman itu. Itulah yang terjadi di Athena, Yunani, di Roma, dan begitu pula di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali di Jazirah Arab sendiri.

Komplotan perampok yang menyerang desa Bani Ma'an itu pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokan itu ke pasar Ukazh yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam, yang kemudian memberikannya kepada bibinya, Khadijah. Pada waktu itu Khadijah telah menjadi istri Muhammad bin Abdullah, yang pada waktu itu wahyu belum turun kepada beliau. Hanya saja, beliau telah memiliki semua sifat agung yang telah disiapkan oleh takdir untuk menjadi seorang utusan.

Khadijah selanjutnya memberikan Zaid budaknya itu kepada Rasulullah sebagai pelayan beliau. Beliau menerimanya senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dengan kepribadian yang agung dan jiwanya yang mulia, beliau mengasuh dan mendidik Zaid dengan segala kelembutan dan kasih sayang.

Pada salah satu musim haji, sekelompok orang dari perkampungan Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekkah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya. Zaid pun membalasnya dengan menyampaikan pesan kerinduan dan salam hormatnya kepada kedua orang tuanya. Ia berpesan kepada para jamaah haji itu, "Kabarkanlah kepada kedua orang tuaku, bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia."

Saat ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, ia segera mengatur perjalanan ke Mekkah bersama seorang saudaranya. Di Mekkah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad Al Amin. Setelah berhadapan muka dengan beliau, Haritsah berkata, "Wahai putra Abdul Muththalib, wahai putra pemimpin kaumnya, engkau termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang kepadamu hendak meminta anak kami. Berbelas kasihlah kepada kami dan terimalah uang tebusannya seberapa adanya."

Rasulullah sendiri mengetahui bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepada beliau, tetapi beliau memahami bagaimana hak seorang ayah terhadap anaknya. Karena itu, beliau bersabda kepada Haritsah, “Panggillah Zaid ke sini dan biarkanlah ia menentukan pilihannya sendiri. Bila ia memilihmu, aku akan mengembalikannya kepadamu tanpa tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, demi Allah, aku tidak akan menerima tebusan untuk orang yang telah memilihku."

Wajah Haritsah berseri-seri dan tidak menyangka akan mendengarkan kelapangan hati seperti itu. Ia pun berkata. "Engkau benar-benar telah menyadarkan kami dan membuat kami insaf di balik kesadaran itu."

Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Ketika ia sampai di hadapan Rasul, beliau langsung bertanya. “Apakah engkau tahu siapa orang-orang ini?"

Zaid menjawab, "Ya, yang ini ayahku dan yang itu pamanku."

Kemudian Nabi mengulangi lagi persoalan kebebasan memilih orang yang disenanginya seperti telah dikatakan sebelumnya kepada ayah Zaid. Tanpa berpikir panjang. Zaid menjawab. “Tak ada orang pilihanku kecuali engkau. Engkaulah ayah dan pamanku."

Mendengar itu, kedua mata Rasulullah basah oleh air mata, karena rasa syukur dan haru. Beliau lalu memegang tangan Zaid dan menuntunnya ke pelataran Ka'bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul. Beliau berseru, ”Saksikan oleh kalian semua bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku menjadi ahli warisnya.”

Mendengar itu, hati Haritsah seolah-olah terbang ke awan oleh perasaan gembira, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, melainkan sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan Ash-Shadiq Al-Amin, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk Mekkah seluruhnya.

Akhirnya, ayah Zaid dan pamannya kembali kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin Mekkah dalam keadaan aman sentosa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui apakah ia celaka di lembah atau binasa terkapar di bukit. Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat, sehingga membuat dirinya dikenal di seluruh Mekkah dengan nama Zaid bin Muhammad.

Suatu hari yang cerah seruan wahyu yang pertama datang kepada Muhammad:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan pemutaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (Al-‘Alaq: 1-5)

Kemudian susul-menyusul datang wahyu kepada Rasul:

"Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan, dan agungkalah Rabb-mu." (Al-Muddattsir: l 3)

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Rabb-mu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu), berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir." (Al-Ma'idah: 67)

Tidak lama setelah Rasul memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu itu, Zaid menjadi orang kedua yang masuk Islam, bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama. Rasul sangat sayang kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar, disebabkan kejujurannya yang tidak ada tandingannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, disertai terpelihara lidah dan tangannya.

Semua itu, atau yang lebih dari itu, menjadi hiasan bagi Zaid bin Haritsah atau "Zaid Tersayang" yang merupakan julukan untuknya oleh sahabat-sahabat Rasul. Aisyah berkata, “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, ia selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah."

Begitu tinggi kedudukan Zaid di sisi Rasulullah. Siapakah sebenarnya Zaid ini? Seperti yang telah kami katakan, ia adalah seorang anak yang pernah ditawan, lalu diperjualbelikan, dan akhirnya dimerdekakan oleh Rasulullah. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit cokelat kemerahan, dan hidung tidak mancung. Namun, ia adalah manusia yang berhati teguh serta berjiwa merdeka. Karena itulah, ia mendapat tempat tertinggi di dalam Islam dan di hati Rasulullah. Karena Islam dan utusan yang membawanya tidak sedikit pun memandang kedudukan yang tinggi itu dari keturunan yang terhormat ataupun penampilan luar, maka dalam keluasan paham agama besar ini, nama-nama seperti Bilal, Shuhaib, Ammar, Khabbab, Usamah, dan Zaid mendulang kedudukan yang cemerlang. Mereka semua memiliki kedudukan yang gemilang, baik sebagai orang-orang saleh maupun sebagai pahlawan perang.

Secara tegas, Islam telah mengumandangkan nilai-nilai hidup dalam kitab sucinya Al Qur'an yang mulia:

"Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (Al Hujurat: 13)

Islamlah agama yang membukakan segala pintu dan jalan untuk mengembangkan berbagai bakat yang baik dan cara hidup yang suci, jujur dan diridhai Allah.

Rasulullah menikahkan Zaid dengan Zainab, anak bibinya. Namun, ternyata kesediaan Zainab memasuki jenjang perkawinan dengan Zaid hanya karena rasa sungkan bila menolak anjuran dan saran dari Rasulullah, selain karena tidak sampai hati menyatakan penolakan terhadap Zaid sendiri. Kehidupan rumah tangga dan perkawinan mereka tidak dapat bertahan lama, karena tiadanya tali pengikat yang kuat, yaitu cinta yang ikhlas karena Allah dari Zainab, sehingga berakhir dengan perceraian.

(Ringkas cerita, -peny.) Sekarang, tahukah kalian bahwa kekuatan laskar Islam yang pernah maju ke medan perang Ath-Tharaf, Al Ish, Al-Hismi, dan lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah? Begitulah sebagaimana yang pernah kita dengar dari Ummul Mukminin Aisyah sebelumnya, "Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, ia pasti yang diangkat menjadi pemimpinnya."

Akhirnya Perang Mu'tah pun tiba waktunya. Orang-orang Romawi dengan kekaisaran mereka yang tua bangka secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan eksistensi mereka. Terutama di daerah Jajahan mereka, Syam, yang berbatasan dengan wilayah agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari kekhawatiran ini, mereka hendak mencaplok Syam sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.

Nabi mengetahui gerak-gerik orang-orang Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam. Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan dan menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam. Tentara Islam maju bergerak ke Balqa' di wilayah Syam. Ketika sampai di perbatasan, mereka dihadapi oleh tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, yang mengerahkan kabilah-kabilah Badui yang tinggal di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedangkan laskar Islam mengambil posisi di dekat suatu negeri kecil yang bernama Mu'tah, yang jadi nama pertempuran ini sendiri.

Rasulullah mengetahui benar arti penting dan urgensi peperangan ini. Karena itu, beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang, yang pada waktu malam bertaqarrub kepada Ilahi, sedangkan siang hari menjadi pendekar pembela agama. Tiga orang pahlawan yang siap menjual jiwa raga mereka kepada Allah, mereka yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, hanya mengharap ridha-Nya Yang Mahamulia kelak. Mereka bertiga yang secara berurutan memimpin tentara itu ialah Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, semoga Allah ridha kepada mereka dan menjadikan mereka ridha kepada Nya, serta Allah meridhai pula seluruh sahabat-sahabat yang lain.

Seperti itulah yang kita saksikan pada permulaan cerita ini. Rasul berdiri di hadapan pasukan Islam yang hendak berangkat. Rasul melepas mereka dengan berpesan, "Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah. Seandainya ia gugur, pimpinan dipegang oleh jafar bin Abu Thalib. Seandainya pula ja'far gugur, kepemimpinan diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah."

Sekalipun Ja'far bin Abu Thalib adalah orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri. Sekalipun keberanian dan ketangkasannya tidak diragukan lagi, di samping berasal dari keturunan yang terhormat, ia harus menjadi orang kedua sesudah Zaid, sebagai panglima pengganti, sedangkan Zaid beliau angkat sebagai panglima pertama.

Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada status keturunan atau yang ditegakkan di atas dasar atas batil dan rasialisme, lalu menggantinya dengan hubungan baru yang dipimpin oleh hidayah Ilahi yang berpokok pada hakikat kemanusiaan.

Rasulullah seolah-olah telah mengetahui apa yang terjadi dalam pertempuran yang akan berlangsung itu, beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya secara berurutan: Zaid, lalu Ja'far, kemudian Ibnu Rawahah. Ternyata ketiganya menemui Rabb mereka sebagai syuhada sesuai dengan urutan itu pula.

Ketika kaum muslimin melihat tentara Romawi yang jumlahnya menurut taksiran-tidak kurang dari 200 ribu orang; suatu jumlah yang tidak mereka duga sama sekali, mereka terkejut. Tetapi, kapankah pertempuran yang didasari iman mempertimbangkan kuantitas?

Ketika itulah, mereka maju terus tanpa gentar, tidak peduli dan tidak menghiraukan sebanyak apa pun jumlah musuh. Panglima mereka, Zaid, tampak di depan mengendarai kuda dengan tangkasnya, sambil memegang kuat panji-panji Rasulullah maju menyerbu laksana topan, di celah-celah desingan anak panah, ujung tombak, dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata mata mencari kemenangan, melainkan lebih dari itu; mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan di sisi Nya, sesuai dengan firman Nya:

"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka, dengan memberikan surga untuk mereka." (At-Taubah: 111)

Zaid tidak sempat melihat pasir Balqa', bahkan tidak mengetahui keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau bergelombang laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya bahwa itulah hari istirahat dan kemenangannya. Ia telah terjun ke medan laga menerjang, menebas, membunuh atau dibunuh. Tetapi, ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya. Ia hanyalah membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian; surga yang kekal di sisi Allah.

Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang terakhir. Rohnya yang melayang dalam perjalanannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera, melainkan hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah. Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua, Ja'far, melesat maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya, untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ke tanah.

Ja'far bin Abu Tholib _Perawakan dan Perilakunya Mirip Rosululloh_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 28)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Perhatikanlah penampilan pada masa mudanya yang gagah, tampan, dan berwibawa. Perhatikanlah warna kulitnya yang cerah bercahaya. Lihatlah kelemah lembutan, kesopanan, kasih sayang, kebaikan, kerendahan hati, serta ketakwaannya. Perhatikan keberaniannya yang tidak kenal takut dan kemurahannya yang tidak kenal batas. Lihatlah kebersihan hidup dan kesucian jiwanya, serta kejujuran dan keamanahannya. Lihatlah, pada dirinya berkumpul segala pokok kebaikan, keutamaan, dan kebesaran.

Jangan heran, karena Anda sekarang berada di hadapan seorang manusia yang perawakan dan perilakunya mirip dengan Rasulullah. Anda berada di depan seseorang yang telah diberi gelar oleh Rasul sendiri sebagai Bapak Kaum Miskin. Anda berhadapan dengan seseorang yang diberi gelar "Si Bersayap Dua di surga." Anda sedang bertatap muka dengan Si Burung Surga yang selalu berkicau. Siapakah dia? Itulah Ja'far bin Abu Thalib, salah seorang pelopor Islam generasi awal yang memiliki saham besar dalam menempa nurani kehidupan.

Ia datang kepada Rasulullah untuk menganut Islam, dengan mengambil kedudukan tinggi di antara mereka yang lebih dahulu beriman. Istrinya, Asma' binti Umais, juga menganut Islam pada hari yang sama. Mereka berdua juga harus menerima penyiksaan dan penganiayaan yang mereka hadapi dengan segala keberanian dan ketabahan.

Ketika itu Rasulullah pada waktu itu memilih beberapa sahabat yang akan hijrah ke Habasyah (Etiopia), dan tanpa berpikir panjang Ja'far bersama istrinya tampil mengajukan diri. Mereka berdua pun hijrah dan tinggal di sana selama beberapa tahun. Selama hijrah itu, mereka berdua dikaruniai Allah tiga anak, yaitu Muhammad, Abdullah, dan Auf.

Selama di Etiopia, Ja'far bin Abu Thalib tampil menjadi juru bicara yang lancar dan sopan, serta cocok menyandang nama dan duta Islam. Hal itu karena Allah mengaruniakan nikmat yang paling agung dalam wujud ketajaman mata hati, kecemerlangan akal, kecerdasan jiwa, dan kefasihan lidah. Bila pertempuran Mu'tah, yang pada akhirnya mengantarkan dirinya menuju kesyahidan, dianggap sebagai pengalaman hidup yang terdahsyat, teragung, dan tak terlupakan, hari-hari ketika ia berdialog dengan Raja Najasyi tidak kurang dahsyat dan mengesankan daripada itu, bahkan tidak kurang hebat nilai dan kemuliaannya. Hari itu adalah hari istimewa dan penampilan yang mempesona.

Peristiwa tersebut terjadi karena kaum muslimin hijrahnya ke Etiopia, yang membuat kaum Quraisy tidak pernah senang dan tinggal diam, bahkan tindakan tersebut menambah kemarahan dan rasa dengki mereka. Mereka sangat takut dan cemas bila kaum muslimin di tempat yang baru ini menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak. Bahkan, seandainya kesempatan berkembang dan bertambah kuat ini tidak sampai terjadi, mereka tetap saja tidak merasa puas karena orang-orang Islam itu lepas dari kendali dan terhindar dari penindasan mereka.

Kaum muslimin tentu akan menetap di sana dengan harapan dan masa depan yang gemilang, yang akan melegakan jiwa Muhammad dan lapangnya Islam. Karena itulah, para pemimpin Quraisy mengirimkan dua orang utusan pilihan kepada Raja Najasyi, lengkap dengan membawa hadiah-hadiah yang sangat berharga dari kaum Quraisy. Kedua utusan ini menyampaikan harapan Quraisy agar Sang Raja mengusir kaum muslimin yang hijrah meninggalkan negerinya untuk mencari perlindungan tersebut dan menyerahkan nasib mereka kepada kaum Quraisy. Dua utusan yang datang itu ialah Abdullah bin Abu Rabi'ah dan Amr bin Al-Ash, yang keduanya waktu itu belum masuk Islam.

Najasyi yang waktu itu bertakhta di singgasana Etiopia, adalah seorang tokoh yang mempunyai iman yang kuat. Dalam lubuk hatinya, ia menganut agama Nasrani secara murni, jauh dari penyelewengan dan terhindar dari fanatik buta serta menutup diri. Nama baiknya telah tersebar ke mana-mana, dan perjalanan hidupnya yang adil telah melampaui batas negerinya. Oleh karena itu, Rasulullah memilih negerinya menjadi tempat hijrah bagi sahabat-sahabatnya, dan karena ini pula kaum kafir Quraisy merasa khawatir seandainya maksud dan tipu muslihat mereka gagal dan tidak berhasil. Karena itu, kedua utusannya dibekali sejumlah hadiah besar yang berharga untuk uskup dan tokoh gereja di sana.

Para pemuka Quraisy menasihati kedua utusannya agar mereka jangan menghadap Raja Najasyi sebelum memberikan hadiah-hadiah yang dibawa kepada Patrick dengan tujuan agar para pendeta itu merasa puas dan berpihak kepada mereka, selain agar orang-orang itu mendukung tuntutan mereka di hadapan Raja nantinya. Kedua utusan itu pun sampailah ke tempat tujuan mereka, Etiopia. Mereka menghadap para tokoh agama dengan membawa hadiah-hadiah besar yang dibagi bagikannya kepada mereka. Kemudian mereka juga mengirim hadiah kepada Raja.

Dua utusan tersebut terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta. Keduanya berharap dengan dukungan moral para pendeta itu, Raja Najasyi akan mengusir kaum muslimin keluar dari negerinya. Demikianlah, hari bagi kedua utusan itu untuk menghadap Raja sudah ditetapkan. Kaum muslimin pun diundang untuk menghadapi dendam kesumat Quraisy yang masih saja bernafsu besar untuk melakukan muslihat keji dan menimpakan siksaan kepada mereka.

Dengan wajah yang jernih berwibawa, dan kerendahan hati yang penuh pesona, Raja pun duduk di atas kursi kebesarannya yang tinggi, dikelilingi oleh para tokoh gereja serta tokoh terdekat di lingkungan istana. Di hadapannya, di ruangan yang luas, kaum muslimin duduk dengan tenang oleh ketenteraman dari Allah dan dilindungi oleh rahmat Nya.

Kedua utusan kaum Quraisy berdiri mengulangi tuduhan mereka yang pernah mereka lontarkan terhadap kaum muslimin di hadapan Kaisar pada suatu pertemuan khusus yang disediakan oleh Kaisar sebelum pertemuan besar yang menegangkan ini, "Baginda Raja yang mulia. Orang-orang bodoh ini telah menyasar ke negeri paduka. Mereka meninggalkan agama nenek moyang, tetapi tidak pula hendak memasuki agama paduka. Bahkan, mereka datang membawa agama baru yang mereka ciptakan dan tidak pernah kami kenal, dan tidak pula oleh paduka. Sungguh, kami telah diutus oleh orang-orang mulia dan terpandang di antara bangsa dan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka. keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan orang-orang ini kepada kaumnya."

Najasyi memalingkan mukanya ke arah kaum muslimin sambil melontarkan pertanyaan, “Agama apakah itu yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tetapi tidak memandang perlu pula kepada agama kami?"

Ja'far pun bangkit berdiri, untuk menunaikan tugas yang telah dibebankan oleh rekan rekannya sesama muhajirin; tugas yang telah mereka tetapkan dalam suatu rapat yang diadakan sebelum pertemuan ini. Ia melepaskan pandangan ramah penuh kecintaan kepada Baginda Raja yang telah berbuat baik menerima mereka.

Ja'far berkata, “Wahai paduka yang mulia, kami dulu memang orang-orang yang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berkelana. Orang kuat waktu itu memakan yang lemah, hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada kami dari kalangan kami.

Kami mengenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan, dan kemuliaan jiwanya. la mengajak kami untuk meng-esakan Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya, dan agar membuang jauh jauh batu-batu dan berhala yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu. Beliau menyuruh kami berbicara benar, menunaikan amanah, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, dan menahan diri dari menumpahkan darah serta semua yang dilarang Allah. Beliau melarang kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita yang baik-baik.

Kemudian kami membenarkan dia dan kami beriman kepadanya. Kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Rabbnya. Lalu kami beribadah kepada Allah Yang Maha Esa dan kami tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun. Kami mengharamkan apa yang diharamkanNya kepada kami, dan kami menghalalkan apa yang dihalalkan Nya untuk kami.

Karena itu semua, kaum kami memusuhi kami, dan mengganggu kami dari agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-perbuatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Ketika mereka memaksa, menganiaya, mempersempit kehidupan, dan menghalangi kami dari agama kami, kami keluar berhijrah ke negeri paduka dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhindar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka."

Ja'far mengucapkan kata-kata yang mempesona ini laksana cahaya fajar. Kata-kata itu membangkitkan perasaan dan keharuan pada jiwa Raja.

Sambil menoleh pada Ja'far, Raja bertanya, “Apakah engkau membawa sesuatu yang diturunkan atas Rasulmu itu?"

“Ya." jawab Ja'far. “Bacakanlah kepadaku!" timpal Najasyi.

Ja'far langsung membacakan bagian dari surat Maryam dengan irama indah dan kekhusyukan yang memikat. Mendengar itu, Najasyi menangis dan para pendeta serta tokoh agama yang hadir pun ikut menangis. Ketika air mata baginda yang mengalir deras itu telah berhenti, ia berpaling kepada kedua utusan Quraisy itu, seraya berkata, “Sesungguhnya apa yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa berasal dari satu cahaya. Pergilah kalian berdua! Demi Allah kami tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian!"

Pertemuan itu pun berakhir. Allah telah menolong hamba-hambaNya dan menguatkan mereka, sedangkan kedua utusan Quraisy mendapat kekalahan yang hina. Tetapi, Amr bin Al-Ash adalah seorang yang lihai dan cerdik membuat tipu muslihat licik. Ia tidak mau menyerah kalah begitu saja, apalagi berputus asa. Ketika ia kembali bersama temannya ke tempat menginapnya, ia terus menerus memutar otak untuk mencari jalan keluar, dan akhirnya berkata kepada temannya, “Demi Allah, besok aku akan kembali menemui Najasyi. Aku akan menyampaikan kepada Raja keterangan-ketetangan yang akan memukul kaum muslimin dan membasmi kekokohan mereka."

Temannya berkata, “Jangan lakukan itu. bukankah kita masih ada hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita?”

Amr menjawab, “Demi Allah, akan kuberitakan kepada Najasyi, bahwa mereka mendakwa Isa putra Maryam itu sebagai manusia biasa seperti manusia yang lain."

Itulah rupanya suatu tipu muslihat baru yang telah diatur oleh utusan Quraisy terhadap kaum muslimin untuk memojokkan mereka ke sudut yang sempit, agar mereka jatuh ke lembah yang curam. Seandainya orang Islam terang-terangan mengatakan, bahwa isa itu salah seorang hamba Allah seperti manusia lainnya, hal ini pasti akan membangkitkan kemarahan dan permusuhan dari Raja dan tokoh agama setempat. Sebaliknya, jika mereka tidak menganggap Isa sebagai manusia biasa, tentu ini menyebabkan mereka keluar dari akidah agama mereka yang benar.

Paginya kedua utusan itu segera menghadap Raja, dan berkata kepadanya, “Wahai Paduka, orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa." Para pendeta dan kaum agama menjadi geger dan gempar. Bayangan kalimat yang singkat itu cukup mengguncangkan Najasyi dan para pengikutnya. Mereka memanggil orang-orang Islam sekali lagi, untuk menanyai bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Isa Al-Masih.

Kaum muslimin menyadari bahwa akan ada perdebatan baru. Mereka pun duduk berunding, dan akhirnya memperoleh kata sepakat, untuk menyatakan yang benar saja, sebagaimana yang mereka dengar dari Nabi mereka. Mereka tidak hendak menyimpang sedikit pun darinya, dan apa yang akan terjadi biarlah terjadi.

Pertmuan baru pun diadakan. Najasyi memulai percakapan dengan bertanya kepada Ja'far, “Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?” Ja'far bangkit sekali lagi laksana mercusuar yang memancarkan sinar terang. Ia menjawab, "Kami akan mengatakan tentang Isa mg sesuai dengan keterangan yang dibawa oleh Nabi kami, Muhammad bahwa “ia adalah seorang hamba Allah dan Rasul Nya serta Kalimat-Nya yang ditiupkan Nya kepada Maryam dan ruh dari Nya."

Najasyi bertepuk tangan tanda setuju, seraya mengumumkan, memang begitulah yang dikatakan Al-Masih tentang dirinya. Namun, di jajaran tokoh agama yang hadir di situ terjadi hiruk-pikuk, seolah-olah memperlihatkan ketidaksetujuan mereka. Najasyi yang terpelajar lagi beriman itu terus melanjutkan bicaranya seraya berkata kepada orang-orang Islam, "Silakan Anda sekalian tinggal bebas di negeriku. Siapa yang berani mencela dan menyakiti kalian, orang itu akan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya."

Kemudian Najasyi berpaling kepada tokoh-tokoh terdekatnya, lalu sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke arah kedua utusan kaum Quraisy, ia berkata, “Kembalikanlah hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini. Aku tidak membutuhkannya. Demi Allah, Allah tidak pernah mengambil uang sogokan dariku kala Dia mengaruniakan takhta ini kepadaku, sehingga aku pun tidak akan menerimanya dalam hal ini."

Kedua utusan Quraisy itu pun pergi keluar meninggalkan tempat penemuan dengan perasaan hina dan terpukul. Mereka segera memalingkan arah perjalanannya pulang menuju Mekkah. Kaum muslimin di bawah pimpinan Ja'far juga keluar dari tempat pertemuan itu, untuk memulai penghidupan baru di tanah Etiopia; penghidupan yang aman tenteram, sebagaimana mereka katakan, "Di negeri yang baik, dengan tetangga yang baik", hingga akhirnya datang saatnya Allah mengizinkan mereka kembali kepada Rasul mereka, kepada sahabat dan kampung halaman mereka. (Kisah ini berdasarkan riwayat Ibnu Ishaq yang dinukil oleh Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah nya: I/334-338, edt.)

Ketika Rasulullah bersama kaum muslimin bergembira oleh kemenangan pada Perang Khaibar, tiba-tiba Ja'far bin Abu Thalib bersama kaum muslimin yang berhijrah pulang dari Etiopia. Nabi sangat bahagia dan gembira karena kedatangan mereka. Beliau memeluk Ja'far dengan mesra sambil berkata, “Aku tidak tahu, manakah yang lebih menggembirakanku, apakah penaklukan Khaibar atau kepulangan Ja'far."

Rasulullah pergi bersama sahabat-sahabatnya ke Mekkah, hendak melaksanakan umrah qadha. Setelah Rasulullah kembali ke Madinah, hati Ja'far bergelora dan dipenuhi keharuan. Ketika mendengar berita tentang sahabat sahabatnya seiman, baik yang gugur syahid maupun yang masih hidup selaku pahlawan-pahlawan yang berjasa pada Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan peperangan lainnya, kedua matanya basah oleh linangan air mata. Ia mengenang orang-orang beriman yang telah menepati janjinya dengan mengorbankan nyawa karena Allah.

“Wahai, kapankah aku akan berbuat demikian pula?" pikirnya. Hatinya seolah-olah terbang merindukan surga. Ia pun menunggu-nunggu kesempatan dan peluang yang berharga itu, berjuang untuk mendapatkan kesyahidan di jalan Allah.

Pasukan Islam ke Perang Mu'tah yang telah kita bicarakan sebelumnya, sedang bersiap-siap hendak diberangkatkan. Bendera dan panji-panji perang berkibar dengan megahnya, disertai dengan gemerencing bunyi senjata. Ja'far memandang peperangan ini sebagai peluang yang sangat baik dan satu-satunya kesempatan seumur hidup untuk merebut salah satu di antara dua kemungkinan: membuktikan kejayaan besar bagi agama Allah dalam hidupnya, atau ia akan beruntung sebagai orang yang gugur syahid di jalan Allah. Dia pun datang memohon kepada Rasulullah untuk turut mengambil bagian dalam peperangan ini.

Ja'far sadar sepenuhnya bahwa peperangan ini bukan main-main. Peperangan tersebut bukan peperangan yang kecil, melainkan peperangan yang luar biasa, baik dari sisi jauh dan sulitnya medan yang akan ditempuh maupun besarnya musuh yang akan dihadapi, yang belum pernah dialami umat Islam selama ini. Itu merupakan peperangan melawan tentara Kerajaan Romawi yang besar dan kuat, yang memiliki kemampuan perlengkapan dan pengalaman, serta didukung oleh persenjataan yang tidak tertandingi oleh orang-orang Arab maupun kaum muslimin. Walau demikian, perasaan hati dan semangatnya rindu hendak terbang ke sana. Ja'far termasuk di antara tiga serangkai yang diangkat Rasulullah menjadi panglima pasukan dan pemimpinnya di Perang Mu'tah ini. Tentara Islam pun keluar bergerak menuju Syam dan di dalamnya terdapat Ja'far bin Abu Thalib.

Suatu hari yang dahsyat kedua pasukan itu pun berhadapan muka, dan tidak lama kemudian pertempuran hebat pun dimulai. Ja'far tidak merasa kecut dan gentar melihat tentara Romawi yang jumlahnya 200 ribu orang prajurit itu. Sebaliknya, saat itu bangkitlah semangat juang yang tinggi pada dirinya, karena sadar akan kemuliaan seorang mukmin yang sejati, dan sebagai seorang pahlawan yang ulung, haruslah kemampuan juangnya berlipat ganda daripada musuh.

Sewaktu panji-panji pasukan hampir jatuh terlepas dari tangan kanan Zaid bin Haritsah, Ja'far menyambar bendera itu secepat kilat dengan tangan kanannya pula. Dengan panji di tangan, ia terus menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh, serbuan dari seseorang yang berjuang di jalan Allah, dengan tujuan menyaksikan umat manusia bebas dari kekufuran atau mati syahid, memenuhi panggilan Sang Pencipta.

Prajurit Romawi semakin banyak mengelilinginya. Ketika Ja'far merasa kudanya menghalangi gerakannya, ia pun melompat dari kudanya, lalu mengayunkan pedangnya ke segala jurusan laksana malaikat maut pencabut nyawa dan mengenai leher musuhnya. Sekilas terlihat olehnya seorang serdadu musuh melompat hendak menunggangi kudanya. Karena ia tidak sudi hewannya itu dikendarai manusia najis, Ja'far pun menebas kudanya dengan pedangnya hingga tewas.

Setapak demi setapak ia terus berjalan di antara barisan serdadu Romawi yang berlapis-lapis laksana badai bergelombang hendak membinasakannya. Dengan suara lantang, Ja'far berteriak:

"Wahai surga yang kudambakan sebagai penghuninya

Harum semerbak aromanya, sejuk segar air minumnya

Tentara Romawi telah menghampiri siksaannya

Yang kafir dan jauh dari sanak keluarganya

Kewajibanku adalah menghantamnya kala menjumpainya."

Tentara Romawi menyaksikan bagaimana kemampuan Ja'far bertempur yang seolah-olah sepasukan tentara. Mereka terus mengepung Ja'far; hendak membunuhnya laksana orang-orang gila yang sedang kerasukan setan. Kepungan mereka semakin ketat hingga tidak ada harapan untuk lepas lagi. Mereka menebas tangan kanannya dengan pedang hingga putus, tetapi sebelum panji itu jatuh ke tanah, ia segera menyambarnya dengan tangan kiri. Mereka lalu menebas tangan kirinya, tetapi Ja'far masih mengepit panji itu dengan kedua pangkal lengannya ke dada.

Pada saat yang sangat gawat ini, ia bertekad akan memikul tanggung jawab untuk tidak membiarkan panji Rasulullah jatuh menyentuh tanah, selama hayat masih dikandung badan. Panji itu jangan sampai jatuh ke tanah kecuali ia ditakdirkan harus gugur. Kala jasadnya yang suci terbaring di medan laga, panji pasukan masih terdekap di antara kedua pangkal lengan dan dadanya. Bunyi kibaran bendera itu, seolah-olah memanggil Abdullah bin Rawahah. Pahlawan ini membelah barisan musuh bagaikan anak panah lepas dari busurnya ke arah panji itu, lalu merenggutnya dengan kuat. Kemudian berlalu untuk mengukir sejarah yang besar pula.

Demikianlah, Ja'far mempertaruhkan nyawa dalam menempuh suatu kematian agung yang tidak tertandingi. Begitulah caranya menghadap Allah Yang Mahatinggi lagi Mahamulia, menyampaikan pengorbanan besar yang tidak terkira, berselimutkan darah kepahlawanannya. Allah Yang Maha Mengetahui, menyampaikan berita tentang akhir peperangan kepada Rasul Nya, begitu pula akhir hidup Ja'far. Rasulullah menyerahkan nyawa Ja'far kembali kepada Allah dan beliau pun menangis.

Rasulullahg pun pergi ke rumah saudara sepupunya ini. Beliau berdoa untuk anak cucunya. Mereka dipeluk dan diciuminya, sementara air mata beliau yang mulia bercucuran tidak tertahankan. Kemudian Rasulullah kembali ke majelisnya dikelilingi para sahabat. Seorang penyair Islam terkemuka yang bernama Al-Hassan bin Tsabit tampil dengan syairnya menceritakan Ja'far yang gugur bersama rekan-rekannya:

"Seorang prajurit maju memimpin pasukan orang beriman

Menjemput maut, mengharap ridha Rabb semesta alam

Putra Bani Hasyim yang cemerlang bak cahaya purnama

Menyibak kegelapan tiran nan aniaya

Menyabet dan menebas setiap penyerang

Akhirnya gugur sebagai pahlawan kesyahidan

Maka ganjarannya bersama para syuhada pendahulunya

Di surga yang dipenuhi dengan kebun-kebun yang hijau

_Kami tahu apa yang terpuji pada diri Ja'far

Kesetiaan dan perintah yang tegas ketika sedang memerintah

Selama ada pejuang seperti putra Hasyim ini

Pendukung kemuliaan akan senantiasa menjadi kebanggaan."

Setelah Al-Hassan, Ka'ab bin Malik bangkit melantunkan syairya yang agung:

"Kemuliaan tertumpah atas pahlawan yang susul-menyusul

Di Perang Mu'tah tidak tergoyahkan bersusun bahu membahu

Restu Allah atas mereka, para pemuda gagah perkasa

Curahan rahmat kiranya membasuh tulang belulang mereka

Tabah dan sabar, demiAllah rela mempertaruhkan nyawa

Setapak pun tidak akan mundur, menentang setiap bahaya

Panji perang di tangan Ja'far sebagai pendahulu

Menambah semangat tempur bagi setiap penyerbu

Kedua pasukan berbenturan dalam baku hantam

Ja'far dikepung musuh sabet kiri terkam kanan

Tiba-tiba bulan purnama redup kehilangan jiwanya

Sang surya pun gerhana, dan hampir-hampir tenggelam saat siang."

Seluruh kaum dhuafa menangisi kepergian ayah mereka, karena Ja'far adalah ayah bagi mereka. Abu Hurairah menuturkan, “Sebaik-baik manusia terhadap orang-orang miskin adalah Ja'far bin Abu Thalib."

Ya, memang benar, Ja'far memang sosok yang sangat pemurah dengan hartanya semasa hidupnya.

Saat gugur syahid pun ia menunjukkan kemurahan hatinya dengan mengorbankan nyawa dan hidupnya. Abdullah bin Umar menuturkan, “Aku ikut terjun di Perang Mu'tah dengan Ja'far. Waktu kami mencarinya, kami dapati di tubuhnya terdapat luka-luka bekas tusukan dan lemparan lebih dari 90 tempat." Bayangkan, sembilan puluh bekas luka-luka tusukan pedang dan lemparan tombak.

Walau demikian, prajurit perang yang menewaskannya tidak kuasa menghalangi ruhnya ke tempat kembalinya di sisi Allah. Sekali-kali tidak!

Pedang dan tombak mereka tidak lain hanyalah sebagai jembatan yang menyeberangkan ruhnya yang mulia ke sisi Allah Yang Mahatinggi lagi Maha Penyayang.

Di sanalah ia bertempat dengan tenang dan berbahagia, di tempat yang istimewa. Di sana ia berada di surga abadi, lengkap memakai bintang-bintang tanda jasa, yang bergantungan di setiap bekas luka akibat tusukan pedang dan lemparan tombak. Jika Anda ingin tahu keadaannya, dengarkanlah sabda Rasulullah, “Aku telah melihatnya di surga. Kedua bahunya yang penuh bekas-bekas cucuran darah dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan." []