adsense

May 05, 2020

Sa'ad bin abi waqqas_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 12)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Sebabnya, tidak lain karena Sa'ad sadar sepenuhnya bahwa di Madinah Umar tidaklah mengemukakan pendapatnya semata atau mengambil keputusan seorang diri. Tetapi, ia pasti bermusyawarah dengan orang-orang di sekelilingnya dan sahabat-sahabat utama Rasulullah. Bagaimana pun gawatnya suasana perang, Sa'ad tidak ingin kehilangan berkah dan manfaat musyawarah, baik bagi dirinya maupun bagi tentaranya, apalagi ia tahu benar bahwa di pusat komando itu pimpinannya langsung dipegang Umar Al-Faruq, pembangkit ilham atau inspirasi agung.

Pesan dari Umar dilaksanakan oleh Sa'ad. la mengirim sejumlah orang di antara sahabat-sahabatnya sebagai utusan kepada Rustum panglima tentara Persia untuk menyerunya agar beriman kepada Allah dan memeluk Islam.

Soal jawab di antara mereka dengan Panglima Persia itu berlangsung lama, dan akhirnya mereka tidak diperbolehkan lagi berbicara, karena salah seorang di antara mereka mengatakan, "Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebaskan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa. Dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dan dari kezaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam. Siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan mereka. Tetapi, siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan Allah."

“Apa janji Allah kepada kalian?" tanya Rustum.

“Surga bagi kami yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup," jawab seorang juru bicara.

Para utusan kembali kepada Sa'ad sang panglima pasukan Islam dan menyampaikan bahwa tidak ada pilihan lain selain perang. Air mata Sa'ad berlinang. Ia berharap seandainya saat pertempuran itu dapat diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu, ia sedang sakit parah hingga ia sulit untuk bergerak. Tubuhnya penuh dengan bisul hingga ia tidak dapat duduk, apalagi untuk menaiki punggung kudanya dan terjun ke medan pertempuran yang sengit bersimbah darah. Seandainya perang itu terjadi sebelum ia jatuh sakit, atau setelah sakitnya sembuh, ia tentu akan menunjukkan prestasi yang agung. Adapun sekarang ini, duduk pun sulit baginya. Tetapi, tidak! Rasulullah telah mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya", karena kata-kata itu menunjukkan kelemahan, sedangkan orang Mukmin yang kuat tidak kehabisan akal dan tidak pemah lemah.

Ketika itu singa yang menyembunyikan kukunya itu bangkit, lalu berdiri di hadapan tentara menyampaikan pidato dengan tidak lupa mengutip ayat mulia berikut ini:

"Dengan nama AlIah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang."

"Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di Adz-Dzikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba Ku yang saleh." (QS. Al-Anbiya': 105)

Setelah menyampaikan pidatonya Sa’ad menunaikan shalat Zuhur bersama tentaranya, kemudian sambil menghadap ke arah mereka, ia mengucapkan takbir empat kali: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Alam pun bergemuruh oleh suara takbir, dan sambil menunjuk ke arah musuh dengan lengannya bagai anak panah yang sedang melesat, Sa'ad berseru kepada anak buahnya, “Majulah dengan berkah dari Allah!"

Dengan ketabahan menahan rasa sakit yang dideritanya, Sa'ad naik ke teras barak yang ditinggalinya dan dijadikan sebagai markas komandonya. Ia duduk bersandar dengan dialasi bantal sementara pintu barak terbuka lebar. Sedikit saja serangan dari orang-orang Persia ke barak itu sudah bisa menyebabkan panglima kaum Muslimin tersebut jatuh ke tangan mereka, hidup atau mati. Tetapi ia tidak gentar dan tidak merasa takut.

Bisul-bisul di tubuhnya pecah, tetapi ia tidak peduli dan terus berseru dan bertakbir serta mengeluarkan perintah kepada anak buahnya. “Majulah ke kanan," dan kepada yang lain:

"Tutup pertahanan sebelah kiri."

"Awas di depanmu, wahai Mughirah."

“Ke belakang mereka, wahai Jarir."

"Pukullah, wahai Nu'man."

“Serbulah, wahai Asy'ats."

“Hantamlah, wahai Qa'qa'."

"Majulah semua, wahai sahabat-sahabat Muhammad!"

Suaranya yang berwibawa, penuh tekad, dan semangat baja, menyebabkan setiap prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang utuh. Tentara Persia pun berjatuhan tidak ubahnya bagai lalat-lalat yang bergeletakan. Pemujaan berhala dan peribadatan kepada api roboh bersama mereka.

Setelah melihat tewasnya panglima besar dan prajurit-prajurit pilihan, sisa sisa musuh akhirnya lari tunggang-langgang. Mereka dikejar dan dihalau oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke Madain. Kemudian mereka memasuki kota tersebut untuk membawa singgasana dan mahkota Kisra, serta mengumpulkan ghanimah dan fa'i.

Pada pertempuran Madain, Sa'ad mencapai prestasi agung. Pertempuran ini terjadi kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, dan selama itu telah terjadi perang dengan skala kecil antara Persia dan kaum muslimin. Akhirnya semua sisa tentara Persia ini berhimpun di kota-kota Madain saja, bersiap-siap untuk menghadapi pertempuran terakhir sebagai penentuan.

Sa'ad menyadari bahwa situasi medan dan musim menguntungkan pihak penentang Islam, karena antara pasukannya dan Madain terbentang sungai Tigris yang lebar, alirannya sangat deras karena sedang banjir meluap-luap. Walaupun demikian dengan teguh hati ia tetap memutuskan untuk memulai serangan umum itu pada waktu itu juga dengan perhitungan bahwa mental pasukan musuh sedang menurun.

Itulah salah satu peristiwa yang membuktikan bahwa Sa'ad betul-betul sebagaimana dilukiskan oleh Abdurrahman bin Auf. "Singa yang menyembunyikan kukunya". Keimanan Sa'ad dan kepekatan hatinya tampak menonjol ketika menghadapi bahaya, hingga dapat mengatasi sesuatu yang mustahil dengan keberanian yang luar biasa.

Akhirnya, Sa'ad mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk menyeberangi sungai Tigris. Ia memerintahkan agar pasukannya mencari bagian sungai yang dangkal sebagai tempat penyeberangan. Akhirnya mereka menemukan tempat tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang mengancam.

Sebelum tentara memulai penyeberangan, panglima besar Sa'ad menyadari pentingnya pengamanan pinggiran seberang sungai yang hendak dicapai, yakni daerah yang masih berada dalam kekuasaan dan pengawasan musuh.

Ketika itu Sa'ad membentuk dua batalion: pertama, Batalion Mengerikan, dan mengangkat Ashim bin Amr sebagai komandannya dan kedua, Batalion Mematikan, yang dikomandoi oleh Al-Qa'qa bin Amr.

Tugas kedua batalion ini ialah menyingkap bahaya dan meretas jalan untuk menyiapkan tempat yang aman di seberang sungai agar induk pasukan yang akan mengiringi mereka dari belakang menyeberang dengan selamat. Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran yang menakjubkan.

Keberhasilan siasat Sa'ad ketika itu benar-benar membuat para ahli sejarah tercengang, bahkan bagi Sa'ad bin Abu Waqqash sendiri. Salman Al Farisi, yang merupakan kawan seperjuangannya dalam pertempuran itu, juga hampir-hampir tidak percaya akan hasil yang telah dicapai. la menepukkan kedua belah tangannya karena takjub dan bangga.

Salman berkata, “Agama Islam masih baru. tetapi lautan telah dapat mereka taklukkan, sebagaimana halnya daratan telah mereka kuasai. Demi Dzat yang jiwa Salman di Tangan Nya, sungguh, mereka akan keluar dari Islam berbondong-bondong. sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong-bondong." Dan apa yang dikatakan oleh Salman ini benar-benar terjadi.

Sebagaimana mereka telah terjun mengarungi sungai Tigris secara herbondong-bondong, mereka pun keluar dan selamat dari sungai itu secara berbondong-bondong tanpa kehilangan seorang prajurit pun, bahkan tidak ada satu barang pun yang tercecer meski hanya seutas tali kekang kuda.

Dikisahkan, mangkuk tempat minuman seorang prajurit jatuh ke dalam air. Dia tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang kehilangan barang waktu penyeberangan itu. Ia pun menyeru kepada rekan-rekannya agar menolongnya untuk mendapatkan barang itu kembali. Tiba tiba, ombak besar melemparkan mangkuk itu ke dekat rombongan hingga dapat mereka pungut.

Salah satu riwayat melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika penyeberangan sungai Tigris itu, "Sa'ad memerintahkan kaum muslimin agar membaca: Hasbunallahu wa ni'mal wakil (Cukuplah Allah sebagai penolong dan dan Dialah sebaik-baik pelindung). Lalu ia mengerahkan kudanya menerjuni sungai yang diikuti oleh pasukannya, hingga tidak seorang pun di antara anggota pasukan yang tinggal di belakang. Mereka berjalan di air, bagai berjalan di darat, hingga dari pinggir sungai ke pinggir seberang telah dipenuhi oleh prajurit, dan permukaan air tidak kelihatan lagi disebabkan sangat banyaknya anggota pasukan berkuda serta pasukan pejalan kaki.

Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika berada di air, seolah-olah mereka sedang bercakap cakap di darat. Sebabnya, tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan ketentuan Allah dan pertolongan-Nya, yakin terhadap janji dan bantuan-Nya."

Tatkala Sa'ad diangkat Umar sebagai Amir wilayah Iraq, ia mulai membangun dan merekonstruksi sumberdaya manusia. Ia melukis sejarah Kota Kufah dan hukum Islam diumumkan serta dilaksanakan di daerah yang luas itu.

Suatu hari, rakyat Kufah mengadukan Sa'ad -yang menjadi memimpin mereka- kepada Amirul Mukminin, Umar. Tabiat pemberontak rupanya telah menguasai mereka, sehingga mereka mengajukan klaim yang menggelikan. Mereka mengatakan, "Sa'ad tidak baik shalatnya." Mendengar itu Sa'ad hanya tertawa terbahak bahak, dan berkata, “Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka seperti shalat Rasulullah, yaitu memanjangkan dua rakaat yang awal dan memendekkan dua rakaat yang akhir."

Sa'ad dipanggil Umar ke Madinah untuk menghadap. Sa'ad tidak marah, bahkan segera memenuhi panggilan itu secepatnya. Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk mengembalikannya ke Kufah, tetapi sambil tertawa Sa'ad menjawab. “Apakah engkau hendak mengembalikan aku kepada kaum yang telah menuduh bahwa shalatku tidak baik?” Sa'ad memilih tinggal di Madinah.

Ketika Amirul Mukminin Umar ditikam oleh seseorang, ia memilih enam orang di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang akan mengurus soal pemilihan khalifah baru, dengan mengemukakan alasan bahwa keenam orang yang dipilihnya itu adalah terdiri dari orang-orang yang diridhai Rasulullah sewaktu beliau hendak berpulang ke rahmatullah. Di antara enam sahabat terdapatlah Sa'ad bin Abu Waqqash. Bahkan, dari kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di antara mereka, maka pilihannya akan jatuh pada Sa'ad.

Sewaktu memberi wasiat dan mengucapkan selamat perpisahan dengan sahabat sahabatnya, Umar berkata, “Jika khalifah dijabat oleh Sa'ad, demikianlah sebaiknya. Namun, bila itu dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa'ad sebagai penasihatnya."

Sa'ad dikaruniai usia panjang hingga saat terjadinya fitnah besar. Tetapi, Sa'ad tidak hendak mencampurinya, bahkan kepada keluarga dan putra-putranya dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita pun mengenai hal itu kepadanya. Suatu saat, perhatian semua orang tertuju kepadanya, dan keponakannya yang bernama Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash datang menjumpainya, seraya berkata, "Paman, di sini telah siap 100 ribu bilah pedang, yang menganggap bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan khilafah ini."

Sa'ad menjawab. “Dari 100 ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja. Jika aku tebaskan kepada orang Mukmin itu tidak akan mempan sedikit pun juga, tetapi bila saya pancungkan kepada orang kafir, niscaya putus batang lehernya." Mendengar jawaban itu keponakannya itu mengerti maksudnya dan membiarkannya dalam sikap damai dan tidak hendak bercampur tangan.

Ketika kekhalifahan telah sampai pada giliran Mu'awiyah dan kendali kekuasaan tergenggam dalam tangannya, Mu'awiyah bertanya kepada Sa'ad. "Mengapa Anda tidak ikut berperang di pihak kami?" Sa'ad menjawab, “Aku sedang lewat di suatu tempat yang dilanda angin topan berkabut gelap. Aku pun berkata, 'Wahai saudara... wahai saudaraku!' Aku kemudian menghentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali."

Mu'awiyah berkata. “Bukankah di dalam Al Qur'an tidak ada kata-kata.
 'Wahai saudara... wahai saudaraku...,' tetapi Allah Ta'ala berfirman:

'Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.'_ (Al Hujurat: 9).

Nah, Anda tidak berada di pihak yang dzalim terhadap pihak yang benar, dan tidak pula berada di pihak yang benar terhadap golongan yang dzalim."

Sa'ad menjawab, "Aku tidak hendak memerangi seorang laki-laki (maksudnya Ali) yang mengenai dirinya Rasulullah pemah bersabda. ‘Engkau di sampingku, tidak ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa. Hanya saja. (engkau bukan Nabi) karena tidak ada lagi Nabi setelah diriku'."

Pada tahun 54 H. yakni ketika usia Sa'ad telah lebih dari 80 tahun, ia sedang berada di rumahnya di Aqiq untuk menghadapi detik-detik akhir untuk kembali kepada Allah Ta'ala. Saat-saat terakhir itu diceritakan oleh putranya kepada kita sebagai berikut:

“Kepala Ayahku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal. Aku menangisi, maka ia berkata, 'Mengapa kamu menangis, wahai anakku? Sungguh, Allah tidak akan menyiksaku selamanya dan aku termasuk salah seorang penduduk surga.' "

Kekuatan imannya tidak tergoyahkan oleh apapun juga, bahkan oleh guncangan dan kengerian maut. Bukankah Rasulullah telah menyampaikan kabar gembira kepadanya dan ia percaya penuh akan kebenaran Rasulullah itu? Jadi, apa yang akan ditakutkannya lagi? “Sungguh, Allah tiada akan menyiksaku dan sungguh aku termasuk penduduk surga."

Hanya saja, Sa'ad ingin menemui Allah dengan membawa kenang-kenangan yang paling manis dan mengharukan, yang telah menghubungkan dengan agamanya dan mempertemukan dengan Rasul-Nya. Itulah sebabnya ia memberi isyarat ke arah peti simpanannya yang ketika mereka buka dan keluarkan isinya, temyata sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk.

la menyuruh keluarganya agar mengafani mayatnya nanti dengan kain itu. Ketika itu ia berkata, “Aku telah menghadapi orang-orang musyrik waktu Perang Badar dengan memakai kain itu dan telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan pada hari ini.” Memang, kain usang yang telah lapuk itu tidak dapat dianggap sebagai kain biasa. Ia adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan tinggi dan panjang yang dilalui pemiliknya dengan tulus dan beriman, serta gagah berani.

Sosok tubuh salah seorang yang terakhir meninggal di antara orang-orang Muhajirin ini dipikul di atas pundak orang-orang yang membawanya ke Madinah, untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok tokoh-tokoh suci, di antara para sahabat yang telah mendahuluinya menemui Allah, dan jasad-jasad mereka yang dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan tempatnya di tanah Baqi',

Selamat jalan, wahai Sa'ad. Selamat jalan, wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain, dan pemadam api sesembahan di Persia untuk selama-lamanya.

No comments: