adsense

May 04, 2020

Bilal bin Robah_Penakhluk ketakutan_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 8)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

(Sambungan dar Bagian ke 7)


“Kurang ajar! apa yang kau bawa ini?" teriak Umayah geram. 

Akhirnya, tanpa bisa mengelak, ia terpaksa ikut berangkat dalam peperangan itu bersama kawan-kawannya. 

Rahasia takdir apakah kiranya yang tersembunyi di balik peristiwa ini? Sebelum itu, Uqbah bin Abu Mu'ith adalah seorang yang paling gigih mendorong Umayah untuk melakukan siksaan terhadap Bilal dan kaum muslimin yang tidak berdaya lainnya. Sekarang, ia pulalah yang mendesaknya supaya ikut dalam Perang Badar, tempat ia akan menemui ajalnya, sekaligus tempat kematian Uqbah itu sendiri. 

Sekali lagi, Umayah pada waktu itu keberatan dan enggan untuk ikut dalam peperangan, dan kalau bukan karena desakan Uqbah dengan cara sebagai kita ketahui itu, ia tidak akan turut serta di dalamnya. Tetapi, rencana Allah pasti berlaku. Umayah harus ikut. Ada piutang lama antara dirinya dan salah seorang hamba Allah yang kini datang saatnya untuk diselesaikan. Allah tidak pernah tidur. Bagaimana kalian memperlakukan orang maka seperti itu pula kalian akan diperlakukan orang lain.

Takdir ini memang harus terjadi pada orang sombong. Uqbah yang kata katanya didengar oleh Umayah dan kemauannya untuk menyiksa orang-orang mukmin yang tidak berdosa diturutinya, kini justru menjadi orang yang menyeretnya ke liang kubur. Di tangan siapakah kematiannya? Di tangan Bilal, tidak lain di tangan Bilal sendiri! Tangan yang oleh Umayah dulu diikat dengan ramal, sedangkan pemiliknya didera dan disiksa. Dengan tangan itu pula pada hari itu, yaitu waktu Perang Badar yang merupakan saat yang tepat dan diatur oleh takdir, utang piutang pun diselesaikan dan perhitungan dengan algojo-algojo Quraisy yang telah menimpakan penghinaan dan kezaliman terhadap orang-orang mukmin pun dilaksanakan. Peristiwa ini terjadi secara sempurna, tanpa ditambah atau dibumbui. 

Ketika pertempuran di antara dua pihak telah dimulai dan barisan kaum muslimin maju bergerak dengan semboyannya, “Ahad... Ahad… jantung Umayah bagai tercabut dari akarnya dan rasa takut menguasai dirinya. Kalimat yang kemarin diulang-ulang oleh hambanya di bawah tekanan siksa dan dera, sekarang telah menjadi semboyan dari suatu agama secara utuh, dan dari suatu umat yang baru secara keseluruhan. "Ahad... Ahad...!" Mengapa secepat itu ucapan itu berkembang? Ini adalah pertumbuhan yang sangat cepat? 

Pertempuran telah berkecamuk dan pedang bertemu pedang. Ketika perang telah hampir usai, Umayyah melihat sekilas keberadaan 
Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Rasulullah. Dia pun segera berlindung kepadanya, dan meminta agar menjadi tawanannya, dengan harapan dapat menyelamatkan nyawanya. Permintaan itu dikabulkan oleh Abdurrahman dan ia bersedia melindunginya. 

Di tengah-tengah hiruk-pikuknya perang, Abdurrahman membawa Umayyah ke tempat para tawanan. Namun, di tengah Bilal sepintas melihatnya dan langsung berteriak, “Ini dia, gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf! Biarkanlah aku mati daripada orang ini selamat." 

Seiring dengan teriakan itu, Bilal mengangkat pedangnya hendak memenggal kepala yang selama ini menjadi besar disebabkan kecongkakan dan kesombongan. Namun, Abdurrahman berkata kepadanya, "Wahai Bilal, ia tawananku!" 

“Tawanan? Bukankah pertempuran masih berkobar dan roda peperangan masih berputar?" tanya Bilal keheranan. Bagaimana mungkin ia menjadi tawanan, sedangkan belum lama berselang senjatanya menghunjam di tubuh kaum muslimin yang sampai sekarang masih meneteskan darahnya? 

Tidak! Bagi Bilal itu artinya ejekan dan penindasan. Cukuplah selama ini Umayyah mengolok-olok dan melakukan penindasan. la telah menindas demikian rupa, hingga hari ini tidak ada lagi kesempatan tersisa, dalam keadaan segawat ini; dalam momen yang menentukan ini.

Bilal melihat bahwa dirinya tidak akan mampu mematahkan perlindungan saudaranya seiman, Abdurrahman bin Auf. Karena itulah, ia berteriak dengan suara sekeras-kerasnya kepada kaum muslimin, "Wahai para penolong agama Allah, Inilah gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf. Lebih baik aku mati daripada ia dibiarkan lolos." 

Seketika itu pula serombongan kaum muslimin berdatangan dengan pedang penyebar maut di tangan mereka dan mengepung Umayyah bersama putranya. Abdurrahman bin Auf tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan ia tidak mampu melindungi bajunya yang telah terkoyak-koyak oleh desakan orang banyak.

Bilal memandangi tubuh Umayah yang telah rubuh oleh tebasan pedang-pedang itu lama sekali, kemudian ia bergegas meninggalkan tempat itu, sementara suaranya yang nyaring mengumandangkan, “Ahad… Ahad…" ' 

Saya pikir, kita tidak perlu membahas keutamaan toleransi dari pihak Bilal dalam suasana seperti itu. Namun, seandainya pertemuan antara Bilal dengan Umayah terjadi pada suasana lain, bolehlah kita meminta kepadanya agar memberi maaf. yang tidak mungkin ditolak oleh Bilal, sosok yang keimanan dan ketakwaannya sangat tinggi. 

Sebagaimana kita ketahui, mereka bertemu di medan laga, tiap-tiap pihak datang ke arena pertarungan itu dengan tujuan menghancurkan pihak lawannya. Pedang dan tombak berkelebat, para korban berguguran, dan maut merajalela berseliweran. Tiba-tiba, pada saat seperti itu, Bilal melihat Umayah; yang tidak sejengkal pun dari tubuhnya luput dari bekas kekejaman dan siksaan Umayah. 

Sekali lagi, di manakah Bilal melihat Umayah dan dalam suasana apa? Bilal melihatnya dalam kancah pertempuran. Umayah memenggal kepala kaum muslimin yang ditemuinya, dan seandainya ia mendapat kesempatan untuk memenggal kepala Bilal pada saat itu, tentu ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Itulah keadaan yang terjadi saat kedua laki-laki itu berhadapan muka. Dengan demikian, tidaklah adil menurut logika bila kita bertanya kepada Bilal, mengapa ia tidak memberi maaf dengan sebaik-baiknya. 

Hari demi hari terus berganti dan tibalah saatnya Mekkah dibebaskan. Dengan mengomandoi 10 ribu kaum muslimin, Rasulullah memasuki Mekkah sambil mengucapkan syukur dan takbir. Beliau langsung menuju Ka'bah yang telah dipadati berhala oleh Quraisy dengan jumlah bilangan hari dalam setahun, yakni tidak kurang dari 360 buah berhala. 

Kebenaran telah datang dan kebatilan pun hancur lebur. Mulai hari itu tidak ada lagi Lata, Uzza, atau Hubal. Sejak saat itu manusia tidak lagi menundukkan kepalanya kepada batu atau berhala, dan tidak ada lagi yang mereka puja sepenuh hati kecuali Allah yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dialah Rabb Yang Maha Tunggal lagi Esa; Maha Tinggi, lagi Maha Besar. 

Rasulullah memasuki Ka'bah dengan membawa Bilal sebagai teman. Baru saja masuk, beliau telah berhadapan dengan sebuah patung pahatan, menggambarkan lbrahim sedang berjudi dengan menggunakan anak panah. Rasulullah sangat murka. Beliau bersabda, "Semoga mereka dihancurkan Allah. Nenek moyang kita tidak pernah melakukan perjudian seperti ini. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi, bukan pula seorang Nasrani, melainkan seorang yang beragama suci dan seorang muslim, dan sekali-kali bukan dari golongan musyrik." 

Rasulullah memerintahkan Bilal naik ke bagian atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Bilal pun mengumandangkan seruan adzan. Alangkah mengharukan saat itu. Denyut nadi kehidupan di Mekkah terhenti, dan dengan jiwa yang satu, ribuan kaum muslimin dengan hati khusyuk dan secara berbisik mengulangi kalimat demi kalimat yang diucapkan Bilal. 

Orang-orang musyrik di rumahnya masing-masing hampir tidak percaya dan bertanya-tanya dalam hatinya: 

"Inikah dia Muhamad dengan orang-orang miskinnya yang kemarin terusir meninggalkan kampung halamannya?" 

Benarkan itu dia yang mereka usir, mereka perangi, dan mereka bunuh keluarga yang paling dicintainya serta kerabat yang paling dekat kepadanya? 

Betulkah itu dia yang beberapa saat yang lalu nyawa mereka berada di tangannya, memaklumkan kepada mereka, “Pergilah kalian, karena kalian semua bebas"? 

Tiga orang bangsawan Quraisy sedang duduk-duduk di pekarangan Ka'bah. Mereka tampak terpukul menyaksikan pemandangan itu, yaitu ketika Bilal menginjak injak berhala-berhala mereka dengan kedua telapak kakinya, kemudian di atas reruntuhannya yang telah hancur luluh, Bilal menyenandungkan suara adzan yang berkumandang di seluruh pelosok Mekkah, tidak ubahnya bagai tiupan angin di musim semi. Tiga orang itu ialah Abu Sufyan bin Harb yang telah masuk Islam beberapa saat yang lalu, Attab bin Usaid, dan Al-Harits bin Hisyam, kedua orang ini belum masuk Islam 

Attab berkata sambil memandangi Bilal yang sedang menyuarakan adzan, “Sungguh Usaid (ayahnya yang telah mati) telah dimuliakan Allah, karena ia tidak mendengar sesuatu yang sangat dibencinya." 

Al Harits menyahut, “Demi Allah, seandainya aku tahu bahwa Muhammad itu di pihak yang benar aku pasti mengikutinya." 

Abu Sufyan yang memang cerdas itu menukas pembicaraan kedua sahabatnya dengan ungkapan, “Aku tidak akan mengatakan sesuatu, karena seandainya aku berkata, kerikil kerikil ini pasti akan mengabarkannya." 

Ketika Nabi meninggalkan Ka'bah, beliau melihat mereka, lalu dalam sekejap waktu beliau membaca wajah-wajah mereka. Kemudian, dengan kedua mata yang bersinar dengan cahaya ilahi, beliau bersabda kepada mereka, “Aku tahu apa yang telah kalian katakan tadi." 

Beliau lalu menceritakan apa yang mereka katakan sebelumnya. Al-Harits dan Attab pun berseru, “Kami menyaksikan bahwa Anda adalah utusan Allah. Demi Allah, tidak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami, hingga kami dapat menuduh bahwa ia telah menyampaikannya kepada Anda."

Sekarang, mereka menghadapi Bilal dengan pandangan baru. Dalam lubuk hati mereka bergema kembali kalimat-kalimat yang mereka dengar dalam pidato Rasulullah pada awal memasuki Mekkah. "Wahai orang orang Quraisy, Allah telah melenyapkan dari kalian kesombongan jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang. Manusia itu bermula dari Adam, sedangkan Adam diciptakan dari tanah." 

Bilal melanjutkan hidupnya bersama Rasulullah dan ikut mengambil bagian dalam semua perjuangan bersenjata pada masa hidupnya. la tetap menjadi muadzin, menjaga serta menghidupkan syiar agama besar ini, yang telah membebaskan dirinya dari kegelapan menuju cahaya, dari perbudakan kepada kemerdekaan. 

Kedudukan Islam semakin tinggi, demikian pula kaum muslimin, taraf dan derajat mereka ikut naik, dan Bilal semakin lama semakin dekat di hati Rasulullah. Beliau pernah menyatakan dirinya sebagai seorang laki-laki penduduk surga. 

Tetapi, sikapnya tidak berubah, tetap seperti biasa; mulia dan besar hati, yang selalu memandang dirinya tidak lebih daripada seorang Habasyah yang kemarin menjadi budak. Suatu hari, ia pergi meminang dua orang wanita untuk calon istrinya sendiri dan saudaranya. Ia berkata kepada orang tua kedua wanita itu. “Saya ini Bilal, dan ini saudaraku. Kami berasal dari bangsa budak Habasyah. Pada mulanya, kami berada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk oleh Allah. Kami sebelumnya adalah budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah. Jika pinangan kami Anda terima, segala puji bagi Allah. namun bila Anda tolak, Allah Maha Besar." 

Rasulullah kembali ke hadirat Ilahi dalam keadaan ridha dan diridhai. Penanggung jawab kaum muslimin sepeninggal beliau dibebankan di atas pundak khalifahnya, Abu Bakar Ash Shiddiq. 

Suatu saat, Bilal pergi menjumpai khalifah Rasulullah tersebut untuk menyampaikan isi hatinya. Ia berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, saya mendengar Rasulullah bersabda, _'Amal yang paling utama bagi orang beriman adalah berjihad fi sabilillah'_." 

"Lalu, apa maksudmu, wahai Bilal?" tanya Abu Bakar. 

“Saya ingin berjihad di jalan Allah sampai saya meninggal dunia," jawab Bilal. 

"Siapa lagi yang akan menjadi muadzin bagi kami nanti?" tanya Abu Bakar. Dengan air mata berlinang Bilal menjawab, "Saya tidak akan menjadi muadzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah". 

“Tidak, tetaplah tinggal di sini hai Bilal, dan menjadi muadzin kami!" 

"Seandainya Anda memerdekakan saya dulu adalah untuk kepentingan Anda, baiklah saya terima permintaan Anda itu. Tetapi, bila Anda memerdekakan saya karena Allah, biarkanlah diri saya untuk Allah sesuai dengan maksud baik Anda itu." 

“Saya memerdekakanmu itu semata-mata karena Allah, wahai Bilal." 

Mengenai kehidupan Bilal selanjutnya, ada perbedaan pendapat di antara para ahli riwayat. Sebagian meriwayatkan bahwa ia pergi ke Syria dan menetap di sana sebagai mujahid dan penjaga perbatasan wilayah islam. Menurut pendapat lain, ia menerima permintaan Abu Bakar untuk tinggal bersamanya di Madinah. Kemudian setelah Abu Bakar wafat dan Umar diangkat sebagai khalifah, Bilal minta izin dan mohon diri kepadanya, lalu berangkat ke Syria. 

Bagaimanapun juga, Bilal telah mendedikasikan sisa hidup dan usianya untuk berjuang menjaga benteng-benteng Islam di perbatasan, dan membulatkan tekadnya untuk dapat menjumpai (wafat) Allah dan Rasul Nya, dalam keadaan sedang melakukan amal yang paling disukai oleh keduanya. Suaranya yang merdu, tulus dan penuh wibawa itu tidak lagi mengumandangkan adzan seperti biasa. Itu karena setiap kali membaca _“Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah"_, kenangan lamanya (tentang seorang yang namanya tengah ia sebut _-peny._) bangkit kembali, dan suaranya tertelan oleh kesedihan, digantikan oleh cucuran air mata. 

Adzannya yang terakhir ialah ketika Umar sebagai Amirul Mukminin datang ke Syria. Orang-orang menggunakan kesempatan tersebut dengan memohon kepada khalifah agar meminta Bilal menjadi muadzin untuk satu shalat saja. Amirul Mukminin memanggil Bilal dan ketika waktu shalat telah tiba, ia meminta dirinya agar menjadi muadzin. 

Bilal pun naik ke menara dan mengumandangkan adzan. Para sahabat yang pernah mendapati Rasulullah waktu Bilal menjadi muadzinnya menangis dan mencucurkan air mata. Mereka menangis seolah-olah tidak pernah menangis sebelumnya dan yang paling keras tangisnya di antara mereka ialah Umar. 

Bilal berpulang ke rahmatullah di Syria sebagai pejuang di jalan Allah seperti keinginannya. Di perut bumi Damaskus sekarang terpendam kerangka dan tulang belulang milik pribadi yang besar di antara manusia, yang sangat teguh dan tangguh pendiriannya dalam mempertahankan keyakinan dan keimanan.”

No comments: