adsense

April 30, 2022

KONDISI ulama salafus shalih ketika Ramadhan berakhir

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

KONDISI ulama salafus shalih ketika Ramadhan berakhir, sungguh menakjubkan. Kepergian bulan agung ini, seolah-olah menjadi musibah besar bagi mereka sehingga tak jarang di antara mereka yang merasa sedih, pilu, dan merasa kehilangan.

Bagaimana tidak, momentum tahunan yang penuh berkah, ampunan, dan pembebasan dari api neraka ini terasa begitu singkat, sedangkan mereka belum tahu pasti apakah amalan-amalan yang dilakukan sudah diterima dan apakah dosa-dosa yang menggunung tinggi sudah diangkat?

Ibnu Rajab al-Hanbali ketika menggambarkan kondisi salaf, beliau menjelaskan bahwa enam bulan sebelum Ramadhan menjelang, mereka berdoa dengan giat agar disampaikan kepada bulan agung ini. Sedangkan enam bulan sesudahnya, mereka sangat gigih berdoa agar segenap amalan mereka diterima Allah Subhanahu Wata’ala (Lathâ`ifu al-Ma’arif, 209). Persis setelah Ramadhan berakhir, mereka menampakkan kesedihan, dan merasa kehilangan. Di samping itu, mereka sangat antusias saling menasihati agar bisa meneruskan ketaatan sepanjang tahun.

Suatu saat, Umar bin Abdul Aziz RA keluar rumah di hari Idul Fitri. Dalam khutbahnya beliau menandaskan, “Wahai rakyatku sekalian! Kalian telah berpuasa karena Allah Subhanahu Wata’ala selama tiga puluh hari. Demikian juga telah menunaikan shalat malam tiga puluh hari. Hari ini kalian keluar untuk memohon kepada Allah agar semua amalan diterima.” Pada momen demikian, ada seorang salaf yang menampakkan kesedihan. Kemudian ia ditanya, “Bukankah ini hari kegembiraan dan kesenangan?” Ia menjawab, “Benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba yang Allah perintahkan melakukan amalan. Sedangkan aku tidak tahu apakah amalan itu diterima atau tidi? Itulah yang membuatku sedih.”

Fenomena lain yang tak kalah menarik, ketika Wahab bin al-Warad melihat suatu kaum yang tertawa di hari Idul Fitri, ia berkomentar, “Jika puasa mereka diterima, bukan seperti ini kondisi orang yang bersyukur. Jika tidak diterima, maka bukan demikian perbuatan orang yang takut.” Bayangkan! Tertawa di bulan yang biasa disebut dengan kemenangan saja, menjadi catatan tersendiri bagi ulama salaf. Bagi mereka, Idul Fitri bukanlah momentum untuk meluapkan kegembiraan, justru untuk instrospeksi diri apakah amalan sepanjang Ramadhan diterima Allah Subhanahu Wata’ala.

Lain halnya dengan Hasan Bashri. Beliau menganalogikan Ramadhan dengan sangat apik, “Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai kancah (arena) bagi hamba-Nya untuk berpacu melakukan ketaatan untuk meraih rida-Nya. Ada yang mendahului sehingga mendapat kemenangan. Ada juga yang terbelakang sehingga kalah.” Meski demikian, tetap saja beliau memberi catatan bagi orang yang bersenang-senang pada momentum agung ini, “Sungguh ironis bagi orang yang tertawa pada hari ini di saat orang baik mendapat kemenangan dan orang jahat mengalami kegagalan.”

Khalifah Keempat Ali RA memiliki kebiasaan unik. Pada akhir malam bulan Ramadhan beliau berseru, “Ooo, siapakah yang diterima amalnya lalu kita beri ucapan selamat kepadanya. Siapa pula yang tidak diterima amalnya, lalu kita berkabung untuknya.”

Senada dengan sahabat yang berjuluk Abu Turab tersebut, Ibnu Mas’ud berkomentar pada momentum akhir Ramadhan, “Siapakah orang yang diterima amalnya lalu kita ucapkan selamat kepadanya? Dan siapa yang tidak diterima amalnya lalu kita berkabung untuknya. Wahai orang yang diterima, selamat dan sukses untuk kalian. Wahai orang yan tertolak? Allah telah memperbaiki musibah kalian.” (Ibnu Rajab, 209, 210).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saat Ramadhan berakhir, mereka merasa sangat kehilangan. Mereka berada dalam kondisi harap-harap cemas apakah amalan-amalan selama Ramadhan diterima Allah. Di samping itu, akhir Ramadhan dijadikan momentum evaluasi diri dan wahana untuk saling mengingatkan agar tetap beramal kebaikan walau di bulan-bulan lain. Wallâhu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan