adsense

March 26, 2022

Perbedaan Qiyamul Lail, Shalat Malam, Shalat Witir dan Shalat Tarawih

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Bismillah...

Bismillah..
Biar ga gagal faham...

# Perbedaan Qiyamul Lail, Shalat Malam, Shalat Witir dan Shalat Tarawih
.
1. Qiyamul lail: Menghidupkan malam dengan ibadah dan tidak mesti shalat terus, bisa baca alquran atau belajar
.
2. Shalatul lail (shalat malam): 
shalat di waktu malam, waktunya mulai dari ba'da isya sampai sebelum subuh. Jumlah raka'at shalat malam tidak terbatas, lebih baik dilakukan 2 rakaat-salam — 2 rakaat-salam
.
3. Shalat witir: 
.
-Shalat witir termasuk shalat malam
Shalat rakaat ganjil, minimal 1 rakaat, penutup shalat malam, tidak mesti harus tidur dahulu, jadi boleh minimal satu rakaat sebelum tidur
.
-Jika telah shalat witir kemudian tidur dan bangun sebelum subuh, boleh shalat malam lagi tetapi tidak shalat witir lagi sebagai penutup, karena tidak boleh ada 2 witir dalam satu malam
.
-Bagi yang berat shalat malam dan bangun sepertiga akhir malam (semoga kita dimudahkan), bisa shalat witir 1 rakaat saja sebelum tidur (berwudhu dahulu termasuk sunnah), itu sudah termasuk shalat malam
.
4. Shalat Tarawih: 
Shalat malam di waktu ramadahan
dinamakan tarawih karena ada "istirahatnya' karena dulunya bacaan ayat rakaatnya panjang-panjang

5. Shalat Tahajjud:
Nama lain shalat malam. Lebih utama sepertiga akhir malam dan didahului oleh tidur, jadi bangun untuk shalat malam
.

.
Penyusun Raehanul Bahraen

_

March 23, 2022

AGAMA ANTI MITOS DAN KHAYAL: BAGAIMANA SEJARAH PERADABAN ISLAM MEMANDANG ILMU PENGETAHUAN?]

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Islam adalah agama besar yang lahir di dalam sejarah dunia, tidak terselubung oleh kabut dongeng, mitos, dan khayal. Surat nabi Muhammad kepada Raja Mesir pada zamannya bahkan masih tersimpan hingga kini. Dengan demikian, kita dapat dengan mudah menguji kebenaran sejarah mengenai muncul dan berkembanganya Islam, serta membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern lahir dari kandungan Islam. Melalui tangan al-Haitsam, peradaban Islam menginisiasi metode ilmiah, yaitu metode empirik-induktif dan percobaan yang menjadi kunci pembuka rahasia alam semesta dan perintis modernisasi Eropa dan Amerika.

Sejak Islam disebarkan pertama kali oleh Nabi Muhammad, Islam begitu banyak mengandung aspek normatif yang memotivasi seorang muslim agar terus belajar, berpikir, dan membaca. Wahyu Allah yang pertama bahkan dimulai dengan kata “Iqra!”, seolah menyiratkan bahwa membaca menjadi sebuah kunci atas peradaban besar yang kelak akan dibangun. Uniknya, ayat ini turun ketika hanya terdapat 17 orang Quraisy yang bisa baca tulis.

Tak berhenti sampai di sini. Berbagai wahyu, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits juga banyak berisi renungan dan dorongan untuk berpikir dalam rangka memahami kemahakuasaan Allah. Seperti, “Afalaa tatafakkaruun? – Apakah engkau tidak berpikir?”, “Afalaa ta’qiluun? – Apakah engkau tidak berakal?”, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepada kamu supaya kamu berpikir” (TQS 2:226), “Sungguh telah kami terangkan kepada-mu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” (TQS 3:118), “Maka tidakkah kamu memahaminya?” (TQS 6:32). “Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (TQS 6:50), “Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” (TQS 7:169). “Apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui?” (TQS 39:9).

Tradisi intelektual inilah yang hendak diciptakan oleh Islam di tengah tandus nya tradisi berpikir bangsa Arab yang masih terlingkupi dengan takhayul dan khurafat.

Nabi Muhammad kemudian memotivasi pengikutinya untuk belajar membaca dan menulis. Siti Aisyah, istri nabi pun belajar membaca. Anak angkat Rasulullah, Zaid bin Tsabit, bahkan diinstruksikan untuk mempelajari tulisan Ibrani dan Suryani yang dikenal sebagai bahasa penopang peradaban saat itu. Terhadap tawanan perang Badar yang tak memiliki harta untuk menebus dirinya, bisa dibebaskan apabila mereka telah mengajar sepuluh orang kaum muslim membaca dan menulis.

Untuk keperluan penyebaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia, maka berkembanglah gerakan “melek” huruf. Tak hanya digunakan dalam kegiatan penelaahan agama, penelusuran atas ilmu pengetahuan kemudian berkembang lebih luas dan mencakup ilmu pengetahuan lainnya, terlebih setelah terjadi interaksi dengan peradaban lain. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas berkembangnya dakwah Islam dan cakupan wilayah khilafah yang semakin luas. Kepandaian tulis menulis pun pada akhirnya tidak lagi dimonopoli oleh kaum cendikiawan.

Daerah yang berada dalam pengaruh Islam bahkan mencakup berbagai suku bangsa, ras, bahasa, agama, dan kebudayaan. Mulai dari yang beragama Yahudi, Kristen, Zoroaster, Manes, Hindu; serta kebudayaan Yunani, Romawi, Mesir (Koptik atau Qibti, dan Nubia), Turki, dan Parsi. Selama perjumpaan dan percakapannya dengan agama dan kepercayaan lain dalam rangka membela Islam dan menghilangkan kepercayaan-kepercayaan yang salah, umat Islam mulai mempelajari dan menggunakan filsafat Yunani, tetapi dengan menyeleksinya dan membersihkannya dari unsur kekafiran.

Gerakan penerjemahan karya-karya Yunani dalam bahasa Suryani pun digencarkan, yang mana bahasa Suryani ialah bahasa ilmu dan kesusastraan yang kaya dan banyak menerjemahkan karya filsafat dan pengetahuan dari Yunani kuno. Uniknya, bahasa suryani masih serumpun dengan bahasa Arab sebagai bahasa yang banyak digunakan umat Islam kala itu.

Proses ini terutama terjadi di masa Khalifah Al-Ma’mun (786-833 M) yang merupakan suksesor Daulah Abasiyah di bidang ilmu pengetahuan. Secara serius beliau mendukung penuh perkembangan ilmu pengetahuan dan menggelontorkan dana yang begitu besar atasnya.

Menurut penuturan Ibnu Nadim dalam al-Fihris, agenda penerjemahan berbagai karya Yunani ini ternyata terinspirasi dari salah satu mimpi sang khalifah. Al-Ma’mun bermimpi melihat seorang laki-laki putih dengan kumis kemerah-merahan, kening yang lebar, alis yang tebal, berkepala gundul, kedua mata kebiru-biruan, berkarakter baik, duduk di atas tempat tidurnya. Sosok itu sangat berwibawa, hingga kemudian Al-Ma’mun pun bertanya, “Siapa anda?” Ia menjawab, “Aku Aristoteles”.

Al-Ma’mun pun segera berkorespondensi dengan Kaisar Romawi masa itu. Khilafah meminta dikirimkan karya-karya pilihan dan ilmu-ilmu klasik yang tersimpan di gudang-gudang kekaisaran Romawi. Kaisar Romawi memenuhi permintaan itu dan mengirimkannya kepada Khilafah. Khalifah segera memerintahkan kepada para ilmuan untuk mempelajarinya.

Selain itu, Khalifah juga menunjuk tim khusus penerjemahan. Mereka mengirimkan Hunain ibn Ishaq ke negeri Romawi, yang kembali dengan membawa karya-karya ilmiah dan manuskrip-manuskrip langka bidang filsafat, teknik, musik, aritmetika, dan kedokteran. Abu Sulaiman Al-Manthiwi As-Sijistani berkata,

“Sesungguhnya Bani Munjim mengirimkan sejumlah penerjemah terkemuka, di antaranya Hunain Ibn Ishaq, Hubaisy bin Al-Hasan, Tsabit Al-Qurah, dan lainnya dan membiayai mereka sebesar 500 dinar setiap bulannya. Mereka bertugas melakukan penerjemahan dan belajar kepada para pakar”.

Tanpa proses yang dilakukan oleh kaum muslim kala itu, karya klasik Yunani mungkin sudah hilang ditelan zaman dan hanya disimpan sebagai barang tak berguna di gudang-gudang kekaisaran Romawi.

Para ilmuan Khilafah memilih buku-buku pengetahuan yang belum dimiliki oleh umat Islam, dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan, diteliti, dan dibahas. Setelah itu, lahirlah ilmu pengetahuan dari kalangan umat Islam sendiri, baik yang bersifat memperkaya karya-karya asing yang telah ada, maupun yang sama sekali baru. Sumbangan-sumbangan kaum muslim terhadap ilmu pasti – seperti fisika, kimia, farmasi, kedokteran, ilmu hayat, imu bintang dan ilmu bumi menjadi dimikian besar.

Hubungan Islam dan ilmu pengetahuan tak bisa dibandingkan dengan perlakuan gereja terhadap para ilmuan, sebagaimana yang dialami oleh Nicolas Coppernicus yang mati disiksa pada tahun 1543 M, Giordano Bruno yang dibunuh pada tahun 1600 M dan Galileo Galilei yang mati dipenjara pada tahun 1642 M di bawah pengadilan iman (inkusisi) gereja Roma. Atau yang dialami oleh Miguel Servetto (Michael Servet) – penemu peredaran darah (dinukil dari Abu al-Hasan Ali Ibnu an-Nafis) yang dibakar pada tahun 1553 M di bawah reformator Jean Calvin.

Sarjana-sarjana muslim yang bertolak-ukur dari tauhid menganggap bahwa hukum alam merupakan sunnatullah yang objektif, tertib, dan teratur. Mereka tidak merancukan kepercayaan dengan metode pembahasan ilmiah atau memutarbalikkan fakta-fakta, sedangkan khurafat memang dilarang dalam Islam. Mereka tidak dibelenggu kedunguan gambaran alam semesta yang dipunyai Ptolemaios yang dilindungi oleh gereja berdasarkan nash-nash kejadian (1:6-7, 1:14-19) dan Kitab Yushak (10:12), Perjanjian Lama. Segala kesimpulan objektif telaah para ilmuwan muslim tidak pernah sekalipun berlawanan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Wallahu a’lam.[]

Sumber:

Firas Al-Khateb, 2016. Lost Islamic History. Zahira: Jakarta.

Ibnu Khaldun, 2000. Mukaddimah. Pustaka Firdaus: Jakarta.

Muhammad Al-Khudari, 2016. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbasiyyah. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.

S.I. Poeradisastra, 2008. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Komunitas Bambu: Jakarta.