adsense

December 10, 2019

Hukuman Bagi Penghina Nabi Muhammad ﷺ


Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Menghina Nabi ﷺ adalah tindakan kekafiran, dapat menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Baik dilakukan serius maupun dengan bercanda. Allah ﷻ berfirman,

وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ

Jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. At-Taubah: 65)

Saat orang-orang munafik yang menghina Nabi itu menyanggah, bahwa mereka melakukan itu hanya sekedar bercanda, Allah menjawab,

لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ

Tidak perlu kalian mencari-cari alasan, karena kalian telah kafir setelah beriman. (QS. At-Taubah : 66)

Syekh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan makna ayat ini dalam kitab tafsir karyanya,

فإن الاستهزاء باللّه وآياته ورسوله كفر مخرج عن الدين لأن أصل الدين مبني على تعظيم اللّه، وتعظيم دينه ورسله، والاستهزاء بشيء من ذلك مناف لهذا الأصل.

Menghina Allah, ayat-ayat dan Rasul-Nya, adalah penyebab Kekafiran, pelakunya keluar dari agama Islam (murtad). Karena agama ini dibangun di atas prinsip mengagungkan Allah, serta mengagungkan agama dan RasulNya. Menghina salah satu diantaranya bertentangan dengan prinsip pokok ini. (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 342)

Apa Hukuman Bagi Penghina Nabi?

Para ulama sepakat (ijma’), bahwa orang yang mengina Nabi, layak mendapat hukuman mati.

Mari kita simak keterangan Syaikhul Islam al-Harrani dalam kitabnya as-Sharim al-Maslul,

وقد حكى أبو بكر الفارسي من أصحاب الشافعي إجماع المسلمين على أن حد من سب النبي صلى الله عليه و سلم القتل كما أن حد من سب غيره الجلد

Abu bakr al-Farisi, salah satu ulama syafiiyah menyatakan, kaum muslimin sepakat bahwa hukuman bagi orang yang menghina Nabiﷺ adalah bunuh, sebagaimana hukuman bagi orang yang menghina mukmin lainnya berupa cambuk.

Selanjutnnya Syaikhul Islam menukil keterangan ulama lainnya,

قال الخطابي : لا أعلم أحدا من المسلمين اختلف في وجوب قتله؛

Al-Khithabi mengatakan, “Saya tidak mengetahui adanya beda pendapat di kalangan kaum muslimin tentang wajibnya membunuh penghina Nabi ﷺ.”

وقال محمد بن سحنون : أجمع العلماء على أن شاتم النبي صلى الله عليه و سلم و المتنقص له كافر و الوعيد جار عليه بعذاب الله له و حكمه عند الأمة القتل و من شك في كفره و عذابه كفر

Sementara Muhammad bin Syahnun juga mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang yang mencela Nabiﷺ dan menghina beliau statusnya kafir. Dan dia layak untuk mendapatkan ancaman berupa adzab Allah. Hukumnya mennurut para ulama adalah bunuh. Siapa yang masih meragukan kekufurannya dan siksaan bagi penghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia kufur.”

(as-Sharim al-Maslul, hlm. 9, dikutip dari artikel: Hukuman Mati untuk Penghina Nabi ﷺ)

Bagaimana Jika Sudah Bertaubat?

Jika pelakunya bertaubat sungguh-sungguh kepada Allah, Allah akan mengampuni dosanya. Karena Allah mengampuni semua dosa orang-orang yang tulus bertaubat meminta maaf kepadaNya.

۞قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar : 53)

Namun, masalah menghina Rasulullahﷺ, tidak hanya menyangkut pribadi beliau shallallahu’alaihi wasallam. Tapi juga menyangkut penghinaan kepada Allah ta’ala Tuhan alam semesta yang telah mengutusnya.

Sehingga di sini ada dua hak yang telah diinjak-injak:

[1] Hak Allah.

Ini dapat termaafkan dengan taubat yang jujur. Karena Allah telah menjanjikan akan mengampuni semua dosa bagi yang bertaubat.

Dalilnya surat Az-Zumar ayat 53 di atas.

[2] Hak Rasulullahﷺ.

Ini yang menjadi pembahasan alot para Ulama. Apakah juga bisa selesai dengan bertaubat, atau hukuman mati harus tetap dijalankan?

Pertama, jika seorang melakukan penghinaan kepada Rasulﷺ saat dia masih kafir, kemudian masuk Islam, maka dia tidak mendapatkan hukuman mati.

Karena Islam meleburkan seluruh dosa yang dia lakukan saat masih kafir. Allah berfirman,

قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِن يَنتَهُواْ يُغۡفَرۡ لَهُم مَّا قَدۡ سَلَفَ وَإِن يَعُودُواْ فَقَدۡ مَضَتۡ سُنَّتُ ٱلۡأَوَّلِينَ

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti dari kekafirannya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi memerangi Nabi, sungguh, berlaku (kepada mereka) hukuman Allah terhadap orang-orang dahulu (dibinasakan).” (QS. Al-Anfal : 38)

Kedua, seorang menghina Nabiﷺ
saat ia berstatus muslim.

Di sini para ulama berbeda pendapat. Ada tiga pendapat :

[1] Hukuman mati gugur dengan taubatnya.

[2] Taubat tidak diterima, dan hukuman mati harus diberlakukan.

[3] Taubatnya diterima dan hukuman mati harus tetap dijalankan.

Pendapat ketiga inilah insyaallah yang paling kuat. Sebagaimana dipilih oleh Syaikhul Islam al-Harrani rahimahullah, dan dikuatkan oleh Syekh Ibnu’Utsaimin rahimahullah, beliau menyatakan,

فصارت الأقوال في المسألة ثلاثة، أرجحها أن توبته تقبل ويقتل

Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama. Namun pendapat yang paling kuat, taubatnya diterima dan tetap berlaku hukuman mati. (Liqo’ al-Bab al- Maftuh 5/53)

Hal ini karena:

[1] Taubat hanya dapat mengugurkan dosa pelaku dengan Allah.

Allah telah menjanjikan akan memaafkan kesalahan hamba-Nya yang bertaubat jujur.

قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar : 53)

[2] Adapun dosanya kepada Nabi, ini yang kita tidak tahu apakah Nabi akan menuntutnya atau memaafkannya di hari Kiamat kelak.

Mengingat tidak adanya dalil tegas yang menerangkan pemberian maaf dari Nabi untuk orang-orang yang menghinanya. Yang ada malah dalil tegas menunjukkan hukuman mati bagi penghina Nabiﷺ. Sebagaimana dijelaskan salam hadis dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ يَهُودِيَّةً كَانَتْ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ ، فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ ، فَأَبْطَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا

Ada seorang wanita yahudi yang menghina Nabiﷺ, dan mencela beliau. Kemudian orang ini dicekik oleh seorang sahabat sampai mati. Namun Nabiﷺ menggugurkan hukuman apapun darinya. (HR. Abu Daud 4362 dan dinilai Jayid oleh Syaikhul Islam)

Karenanya, hukuman mati tetap berlaku dalam rangka untuk menyelesaikan dosanya kepada Nabiﷺ.

[3] Hukuman seperti ini, dapat memberikan efek jera bagi yang lain.

Agar tidak menyepelekan kehormatan baginda yang mulia Rasulullahﷺ. Menghina beliau, sama saja menghina ajaran suci yang dibawanya.

Siapa yang Berhak Menegakkan Hukuman?

Islam mengajarkan kepada penganutnya, untuk menyerahkan persoalan hukum seperti ini, kepada pihak yang berwenang. Dalam hal ini pemerintah. Main hakim sendiri, akan menimbulkan kegaduhan, kekacauan dan kerusakan yang lebih besar.

Imam Al Kasani rahimahullah menerangkan syarat-syarat bisa dilakukan hukuman had ,

أن يكون المقيم للحد هو الإمام أو من ولاه الإمام

Yang menjalankan hukuman had adalah pemimpin (pemerintah) atau yang mewakilinya. (Bada’i as-Shonai’, 9/249)

Saat terjadi peristiwa penghinaan kepada Nabiﷺ, oleh seorang kartunis kafir 2015 silam, ada seorang penanya menyampaikan kepada Dr. Soleh al-Fauzan (anggota ulama senior dan majlis fatwa Kerajaan Saudi Arabia),

هل يجوز اغتيال الرسام الكافر الذي عرف بوضع الرسوم المسيئة للنبي صلى الله عليه وسلم؟

Apakah boleh membunuh kartunis kafir yang dikenal telah membuat kartun berisi hinaan kepada Nabiﷺ?

Jawaban beliau,

الشيخ: هذا ليس طريقة سليمة الاغتيالات وهذه تزيدهم شرا وغيظا على المسلمين لكن الذي يدحرهم هو رد شبهاتهم وبيان مخازيهم وأما النصرة باليد والسلاح هذه للولي أمر المسلمين وبالجهاد في سبيل الله عز وجل نعم

Ini bukan langkah yang tepat. Melakukan pembantaian hanya akan menambah keburukan dan kemarahan mereka kepada kaum muslimin. Sikap yang bijak adalah membantah penyimpangan mereka dan menjelaskan perbuatan mereka yang sangat memalukan tersebut. Adapun membela Nabiﷺ dengan tangan dan senjata, ini wewenangnya pemerintah kaum muslimin dan hanya melalui jihad di jalan Allah ﷻ (yang dipimpin oleh pemerintah kaum muslimin).

(Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/1960)

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

November 19, 2019

Mengupas Mitos “Tanah Yang Dijanjikan” Bagi Israel Laknatullah

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Tanah yang dijanjikan (the promised land) adalah salah satu isu utama yang digunakan sebagai dalih dalam menggalang gerakan Zionisme dan menegakkan Negara Yahudi (the jewish state) yang digagas oleh Theodore Hertzl. Isu inilah yang kemudian dijadikan alasan untuk mengagresi tanah Palestina, mengusir warganya, dan melakukan pembantaian demi pembantaian hingga detik ini.
Argumentasi Teologis
Sejarah  “tanah  yang  dijanjikan”  dalam  kacamata  Islam  sebenarnya telah selesai di masa lalu. Awalnya, Allah SWT berkehendak melengkapi rahmat-Nya bagi Bani Israel, karena itu Musa as berkata kepada  mereka:  “Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu.”  (QS.  al-Maidah:  21).  Ketika  Bani  Israel  mendengar  ini,  mereka  enggan karena takut kepada para penguasa zalim yang tinggal di sana. Allah SWT ingin agar Bani Israel membebaskan Tanah Suci, agar penduduknya hanya menyembah Dia.
Tetapi, Bani Israel lebih menyukai hidup enak. Mereka ingin memperoleh segala  sesuatu  melalui  mukjizat.  Sehingga,  mereka  pun  berkata  kepada  Musa:  “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari sana. Jika mereka telah ke luar dari situ, pasti kami akan memasukinya.”  (QS.  al-Maidah:  22).
Hanya  dua  orang—dari  ribuan  orang  Bani  Israel—yang  bersedia  bangkit  dan  berkata:  “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”  (QS.  al-Maidah:  23).
Namun  mayoritas  Bani  Israel berkata  pada  Musa  as:  “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”  (QS.  al-Maidah:  24).
Lagi-lagi Bani Israel mengingkari Musa, sehingga dia menjadi sedih, sehingga ia pun menengadah  ke  langit  dan  berkata:  “Wahai  Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.”  (QS.  al-Maidah:  25).
Karenanya,  Allah murka  kepada  Bani  Israel, yang telah menyakiti dan tak mematuhi perintah Musa. Allah pun mengazab Bani Israel dalam bentuk keterasingan mereka di alam liar gurun pasir Sinai selama empat puluh tahun. Mereka hidup di tempat-tempat berbeda di gurun pasir tersebut selama masa itu.  Dengan  demikian,  jelaslah  bahwa  isu  “tanah  yang  dijanjikan” tersebut telah berakhir, dikarenakan penolakan dan pengingkaran kaum Yahudi sendiri.
Kenyataan historis Islam tersebut semakin dipertegas oleh pernyataan kelompok Yahudi yang tergabung dalam Naturei Karta, sebuah organisasi yang menentang keras gerakan Zionisme. Mereka menyebut diri mereka sebagai kelompok Yahudi Yudaisme, untuk membedakan dengan kelompok Yahudi Zionisme. Mereka menyatakan:
“Yudaisme  merupakan  keyakinan  yang  berasaskan  pada  wahyu  di  Sinai.  Keyakinan  ini  menegaskan  bahwa pengasingan adalah hukuman bagi kaum Yahudi dikarenakan dosa-dosa mereka. Sedangkan Zionisme telah lebih dari seabad menolak wahyu di Sinai itu. Keyakinan Zionis menyatakan bahwa pengasingan kaum Yahudi dapat diakhiri melalui agresi militer. Zionisme telah merampas hak warga Palestina, mengabaikan tuntutan mereka, serta menjadikan mereka sebagai target penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan. Kaum Yahudi Taurat di dunia terkejut dan terlukai oleh dogma non-religius dan kejam ini. Ribuan ulama dan pendeta Taurat telah mengutuk gerakan tersebut. Mereka tahu bahwa hubungan baik kaum Yahudi dan Muslimin sebelumnya di Tanah Suci (Palestina) telah terlukai oleh gerakan Zionisme. Negara Israel yang disangsikan itu berdiri menentang Taurat. Karena itu, kami Naturei Karta berada di garis depan dalam perang melawan Zionisme selama lebih dari seabad. Kehadiran kami adalah untuk menolak kebohongan dan kejahatan Zionisme, yang mengatasnamakan orang-orang Yahudi. Berdasarkan keyakinan Yahudi dan hukum Taurat, kaum Yahudi dilarang untuk memiliki negara sendiri, sementara menunggu datangnya Sang Mesiah.”

Roger  Garaudy,  seorang  ilmuwan  Perancis,  menyatakan  bahwa  isu  “tanah  yang  dijanjikan” versi  Israel  tersebut  merupakan  mitos.  Sehingga,  yang  sebenarnya  terjadi  adalah  “tanah  yang ditaklukkan”  (the conquered land),  bukan  “tanah  yang  dijanjikan”  (the promised land). Ia memberikan bukti-bukti konkrit yang mendukung pernyataannya tersebut dengan mengacu pada literatur-literatur Yahudi dan Kristen. Salah satunya, ia mengutip pernyataan Francoise Smyth (Dekan Fakultas Teologi Protestan di Paris saat itu): “Penelitian historis mutakhir telah menurunkan derajat ke taraf fiktif seputar representasi klasik eksodus (dari Mesir), penaklukan Kanaan, persatuan nasional Israel sebelum pengasingan, dan perbatasan-perbatasan. Historiografi Bibel tidak memberikan keterangan atas apa yang diceritakan.”
Dengan  demikian,  isu  “tanah  yang  dijanjikan” yang digunakan oleh  Israel  sebagai dalih pendudukan atas Palestina sejatinya bukan merupakan ajaran Taurat maupun Injil, apalagi Islam.
Argumentasi Genealogis
Kaum Ashkenazi saat ini merupakan populasi terbesar dalam ras Yahudi, kurang lebih mencapai 80 persen dari total Yahudi di dunia. Jauh melampaui dua ras Yahudi lainnya: Sephardim dan Mizrahi. Di Israel, populasi Ashkenazi sekitar 48 persen dari total Yahudi yang ada di negeri ilegal tersebut. Sejak awal pendudukan Israel di Palestina, kaum Ashkenazi memainkan peran penting di bidang ekonomi, politik, dan media.
Mereka (kaum Zionis Ashkenazi) senantiasa menyebarkan narasi bahwa semua ras Yahudi berasal dari satu nenek moyang yang asli Palestina. Kemudian, pasca penaklukan oleh kaum Muslimin pada abad ke-7 M, mereka lari meninggalkan Palestina dan menetap di Eropa Selatan. Lalu pindah ke Eropa Timur, melalui Jerman. Narasi ini kerap disebut Hipotesis Rhineland. Ini dijadikan alasan oleh kaum zionis Ashkenazi untuk memiliki kembali Palestina.

asal muasal Yahudi Askenazi (sumber foto: http://www.ancient-origins.net/news-evolution-human-origins/surprising-discovery-ashkenazi-jews-descend-europeans-00909)


Namun, saat ini seorang pakar dan peneliti genetika asal Israel lulusan Johns Hopkins University, Eran Elhaik, membantah narasi tersebut. Menurut penelitiannya, ras Yahudi Ashkenazi secara genetis berasal dari Kaukasus, suatu daerah di perbatasan Eropa dan Asia, yang berada di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia. Bukan berasal dari Timteng (Palestina). Mereka adalah keturunan bangsa Khazar, yaitu orang-orang Turki yang tinggal di negeri-negeri besar di Eurasia, yang kemudian bermigrasi ke Eropa Timur pada abad ke-12 dan 13 M. Dan, bangsa Khazar telah berkonversi ke agama Yahudi pada abad ke-8 M. Ini senada dengan pandangan sebelumnya, yang dilontarkan oleh penulis dan jurnalis Yahudi kenamaan, Arthur Koestler, dalam bukunya yang terkenal “The Thirteenth Tribe” (1976).
Dari penelitian tersebut bisa disimpulkan pula bahwa klaim “tanah yang dijanjikan” tidak berlaku. Klaim kaum Zionis Ashkenazi tersebut gugur dengan sendirinya, disebabkan asal-usul mereka bukan dari keturunan Bani Israel. Melainkan, dari bangsa Khazar yang non-Yahudi.

Referensi:
1. Roger  Garaudy,  “The  Founding  Myths  of  Israeli  Politics”. Telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul “Mitos dan Politik Israel”.
2. www.nkusa.org,  “Judaism  versus  Zionism”.
3. www.nkusa.org,  “Judaism  and  Zionism  are  not  The  Same  Thing”.
4. https://www.darkmoon.me/2013/top-israeli-scientist-says-ashkenazi-jews-came-from-khazaria-not-palestine/
5. Arthur Koestler, “The Thirteenth Tribe: The Khazar Empire and Its Heritage”.
6. https://www.britannica.com/place/Israel
7. https://www.britannica.com/topic/Ashkenazi
dll.

sumber :

Muhammad Anis
(dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Pascasarjana “Kajian Timur Tengah” UGM, Yogyakarta)

October 08, 2019

ULIL AMRI (PEMIMPIN) YANG WAJIB DITAATI DALAM ISLAM

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

sebelum berbicara lebih jauh tentang persoalan hukum seputar ketaatan kepada penguasa, hal yang penting untuk dikaji terlebih dahulu adalah:
  1. Apa definisi yang dihadirkan oleh para ulama tentang ulil amri.
  2. Apa saja kriteria seseorang bisa disebut sebagai ulil amri atau pemimpin umat Islam.
Definisi ulil amri
Secara bahasa, kata ulil amri terdiri dari dua suku kata yaitu; kata uli yang bermakna memiliki dan al-amr yang bermakna memerintah. Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzur menguraikan bahwa maksud dari kata uIi adalah memiliki. Dalam bahasa Arab, masih menurut Ibnu Mandzur, ia adalah kata tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu harus berdampingan dengan kata yang lain (idhafah).

Sedangkan definisi al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa yang mengatur pemerintahannya di antara rakyatnya.” (lihat; Lisanu Arab: 4/31)

Jadi, menurut istilah, kata ulil amri dapat didefinisikan yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (lihat: Al-Mufradat, 25)

Siapakah yang Disebut dengan Ulil Amri?
Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak ulil amri meskipun dalam kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)

Ibnu Abi ‘Izz dalam Syarah Aqidah Thahawiyah, berkata, “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) walaupun mereka berbuat dzalim. karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri.” (Lihat: Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 381)

Namun kemudian muncul salah satu pertanyaan yang cukup mendasar dan perlu dijabarkan secara utuh, yaitu; siapakah yang disebut dengan ulil amri?  Apakah setiap pemerintahan yang ada hari ini bisa disebut ulil amri?

Ketika menjelaskan ayat di atas, para ulama tafsir telah menyebutkan beberapa pandangan tentang siapakah yang dimaksud ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.

Imam At-Tabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai siapa ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para penguasa. Sebagian lagi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Dan Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat Tafsir at-Thabari, 7/176-182)

Sementara itu Ibnu Katsir, setelah mengutib beberapa pandangan ulama tentang ulil amri, beliau menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah penguasa dan ulama. Lalu beliau mengatakan, “Ayat ini merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa. Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman, ‘Taatilah Allah,’ maksudnya adalah ikutilah kitab-Nya. ‘Dan taatilah Rasul’ maksudnya adalah ambillah sunnahnya. ‘Dan ulil amri di antara kalian,’ maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136)

Perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas juga disebutkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya. Namun di antara seluruh pendapat tersebut, mayoritas ulama menguatkan bahwa maksud ulil amri dalam ayat tersebut ialah para penguasa dan ulama yang memiliki otoritas dalam mengurus urusan kaum muslimin, baik urusan dunia maupun agama mereka.
Imam Asy-Syaukani berkata:

وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية

Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.”  (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)

Imam Nawawi berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Lihat: Syarh Shahih Muslim 12/222)

Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170)




Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan uli al-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS al-Nisa’ [4]: 59).

Dalam bermasyarakat, keberadaan pemimpin mutlak diperlukan. Islam pun secara tegas mewajibkan kebera-daannya. Lebih dari, Islam juga menetap-kan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi pemimpin; serta sistem yang harus dijalankan oleh pemimpin itu. Kesimpulan itu didasarkan pada banyak dalil. Di antaranya adalah dalam QS al-Nisa ‘ [4]: 59. Ayat ini memberikan gambaran global kepada kita tentang dua perkara penting dalam kepemimpinan, yakni: kriteria pemimpin dan sistem yang wajib dijalankan pemimpin tersebut.

Wajib Beraqidah Islam Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû athî’ûLlâh wa athî’û al-Rasûl wa ulî al-amri munkum (hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul [Nya], dan uli al-amri di antara kamu). Seruan ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum Mukmin. Mereka diserukan untuk bersikap taat terhadap tiga pihak.  

Pertama, taat kepada Allah SWT. Yakni menjalankan perin-tah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana dijelaskan banyak mufassir, maksud taat kepada kepada Allah SWT di sini adalah mengikuti al-Quran.

Kedua, taat kepada Ra-sulullah SAW. Sebagai seorang rasul yang diutus untuk mengemban risalah-Nya, Rasulullah SAW wajib ditaati. Bahkan mentaati Rasulullah SAW sama halnya dengan mentaati Zat yang mengutusnya, Allah SWT (lihat QS al-Nisa’ [4]: 64, 80). Kendati mentaati Ra-sulullah SAW paralel dengan mentaati Allah SWT, namun dalam ayat ini kedua-duanya disebutkan. Hal itu menunjukkan perbedaan objek yang ditunjuk. Jika mentaati Allah SWT menun-juk kepada Kitabullah, maka mentaati Rasulullah SAW menun-juk kepada al-Sunnah al-Nabawiyyah. Keduanya, meskipun sama-sama wahyu dari Allah SWT yang wajib ditaati, terdapat perbedaan. Jika al-Quran, lafadznya dari Allah SWT, maka al-Sunnah, lafadznya dari Ra-sulullah SAW sendiri.

Ketiga, taat kepada ulî al-amri. Menurut pendapat jumhur ulama, –sebagaimana dituturkan al-Qurthubi dan Ibnu ‘Athiyah– makna ulî al-amri di sini adalah umarâ’ atau khulafâ’. Terhadap mereka, kaum Musim juga diwajibkan untuk mentaatinya. Hanya saja, ketaatan terhadap pemimpin itu dalam koridor ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Mereka wajib ditaati selama tidak melanggar syara’. Apabila terkatagori maksiat, maka tidak boleh ditaati. Rasu-lullah SAW bersabda: Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Allah Azza wa Jalla (HR Ahmad dari Ali ra). Wajibnya mentaati uli al-amri ini juga menunjukkan hukum wajibnya mewujud-kannya. Sebab, tidak mungkin Allah SWT mewajibkan kaum Muslim untuk taat kepada seseorang yang tidak ada wujud-nya. Sehingga perintah mentaati waliyy al-amri itu bisa juga dipahami perintah agar mewujudkannya. Demikian Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dalam Nizhâm al-Hukm. Kata minkum memberikan batasan bahwa uli al-amri itu harus min al-muslimîn (dari kalangan Muslim). Ini menjadi dalil bahwa khalifah harus seorang Muslim.

pertama: Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman. Kedua: Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat. Ketiga: Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam  sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaatiPara ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat,  yaitu dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam  pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Nabi SAW dalam menjalankan tugas kenabian.

Imam Al-Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3)

Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa, “Kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ , hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)

Senada dengan itu, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa, “imamah (kepemimpinan) merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Al-Muqaddimah, hal. 195)

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan ulil amri adalah para pemimpin umat Islam yang mengatur pemerintahannya dengan pedoman hukum Allah, yaitu sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan 

para pemimpin negara yang mengatur kepemerintahannya dengan selain hukum Allah, seperti demokrasi, komunis dan sebagainya, maka tidaklah layak disebut sebagai ulil amri.

Syaikh Ahmad Naqieb, salah satu da’i salafi yang berdomisili di Mesir, ketika ditanya apakah pemimpin demokrasi yang ada saat ini layak disebut ulil amri? Beliau menjawab, “Kita tidak membela kebatilan, jika demokrasi menjadi asas undang-undang sebuah kepemimpinan maka dia tidak disebut dengan waliyu syar’i (baca; ulil amri). Berhukum dengan demokrasi tidak sesuai dengan petunjuk syar’i. Akan tetapi kita menaati peraturan dia hanya demi kemaslahatannya saja.”

Lalu dalam rekaman yang lain, beliau juga menjelaskan bahwa yang disebut dengan waliyus syar’i adalah pemimpin yang menegakkan syariat Islam . Inilah pemimpin yang wajib ditaati meskipun dia melakukan kedzaliman atau melampaui 

batas. Selama ia menegakkan syariat Islam maka dia disebut dengan waliyus syar’i.

Apakah sepanjang masih salat tetap harus ditaati?

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw menyebut kriteria pemimpin yang harus ditaati. Salah satunya adalah selama mereka masih menegakkan shalat. Diriwayatkan dari Muslim dari Auf bin Malik, ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ،

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kita menyatakan perang kepada mereka ketika itu?’ beliau menjawab, ‘Jangan! Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah kalian’.” (HR. Muslim)

Dalam lafadh lain, Rasulullah saw menyebutkan, “Sungguh akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal (kebaikan mereka, -pen.) dan kalian ingkari (kemaksiatan mereka, -pen.). Barang siapa mengingkari kemaksiatannya, dia terlepas dari tanggung jawab. Dan barang siapa membencinya, dia selamat, tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang ridha dan mengikutinya.” Sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh, selama mereka mengerjakan shalat lima waktu bersama kalian.” (HR. Muslim)

Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu barometer ketaatan kepada ulil amri adalah selama pemimpin tersebut masih mengerjakan shalat. Sebaliknya, ketika tidak mau melaksanakan shalat maka tidak ada lagi kewajiban bagi rakyat menaatinya. Sebab, shalat adalah salah satu pemisah antara orang mukmin dan kafir. ketika seseorang tidak mau melaksanakan shalat maka dia sudah melakukan salah satu kekufuran.

Perlu dipahami bahwa pada dasarnya seorang pemimpin harus dilengserkan dari jabatannya ketika ia melakukan kekufuran. Tidak mau mengerjakan shalat hanyalah salah satu penyebab kekufuran. Lebih daripada itu, masih banyak bentuk tindakan lain yang menyebabkan seseorang menjadi kafir. Di antaranya adalah ketika ia menolak syariat Allah atau menggantikan undang-undang negara dengan selain hukum Allah. Pemimpin yang tidak menegakkan syariat maka tidak layak disebut ulil amri, bahkan ia pun harus dilengserkan dari jabatannya

Sehingga dalam banyak hadis, Nabi saw membatasi kewajiban taat kepada pemimpin adalah selama mereka menegakkan hukum Allah. Nabi saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah meskipun kaliau dipimpin oleh hamba sahaya dari habasyi, dengar dan taatilah dia selama memimpin kalian dengan kitabullah.” (HR. Tirmidzi, no. 1706, Nasa’i, 7/154, Ibnu  Majah, no. 2328, Ahmad, 6/402 dan Al-Hakim, 4/206, ia berkata hadis shahih dan dishahihkan juga oleh Al-Albani)


August 03, 2019

GEMPA DALAM TINJAUAN SYARIAT ISLAM

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادى له.
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعـــد:

Allah subhanahu wata’ala berfirman :
وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالْآيَاتِ إِلَّا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الْأَوَّلُونَ ۚ وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا ۚ وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا
Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena (tanda-tanda) itu telah didustakan oleh orang terdahulu. Dan telah Kami berikan kepada kaum Tsamud unta betina (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya (unta betina itu). Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.” [Qs. Al-Isra: 59]
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala ketika ingin menakuti para hamba-Nya, Dia mengirimkan apa saja yang Dia kehendaki dari para tentaranya agar manusia kembali ke jalan-Nya, agar manusia kembali bertaqwa, kembali mengingat Allah yang telah menciptakan mereka.
Allah subhanahu wata’ala juga berfirman :

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىٰ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ ۗ انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.” Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kekuasaan Kami) agar mereka memahami(nya).” [Qs. Al-An’am 65]

Imam Al-Qurthuby rahimahullah dalam kitab Al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an menafsirkan ayat tersebut dengan mengutip riwayat dari Mujahid dan Ibnu Jabir rahimahumallah:
من فوقكم الرجم بالحجارة والطوفان والصيحة والريح, كما فعل بعاد وثمود وقوم شعيب وقوم لوط وقوم نوح, عن مجاهد وابن جبير وغيرهما .
Dari atas kalian maksudnya dengan hujan batu, banjir bandang, pekikan suara yang sangat keras, dan angin puting beliung sebagaimana yang telah menimpa kaum kaum ‘Ad, Tsamud, kaum nabi Syu’aib, kaum nabi Luth, dan kaum nabi nuh.”
أو من تحت أرجلكم الخسف والرجفة, كما فعل بقارون وأصحاب مدين.
Atau dari bawah kaki kalian maksudnya penenggelaman dibumi dan gempa dahsyat, sebagaimana yang telah menimpa Qarun dan penduduk Madyan.”
Al-Qurthubi juga mengutip  riwayat Ibnu Abbas dan Mujahid yang  menafsirkan :
وقيل: من فوقكم يعني الأمراء الظلمة، ومن تحت أرجلكم  يعني السفلة وعبيد السوء
Makna dari atas kalian adalah para pemimpin yang dholim dan dari bawah kalian adalah bawahan dan budak yang buruk“.
Berbagai bencana yang telah menimpa ummat manusia merupakan ketetapan Allah, sunnatullah yang sudah ditakdirkan, dan itu merupakan tanda-tanda adanya penguasa di jagad raya ini. Itu juga merupakan bukti yang paling jelas atas kemahakuasaan-Nya, kekuatan-Nya yang sangat besar dan tidak tertandingi. Dan itu sekaligus merupakan bukti bahwa seluruh makhluk penghuni bumi ini lemah dan tidak berdaya dihadapan-Nya. Bagaimana tidak, bukankah dalam beberapa detik saja Allah mampu menghancurkan apa yang manusia bangun selama ini?
Tentu saja kita semua prihatin dan berbela sungkawa atas apa yang menimpa saudara-saudara kita di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB). Kita  mendo’akan supaya yang meninggal khusnul khotimah, yang terluka segera sembuh, yang hilang hartanya segera diganti oleh Allah, dan kita juga berusaha ikut andil dalam membantu dengan harta dan tenaga.
Para pembaca yang dirahmati oleh Allah,
Para  ulama telah menjelaskan bahwa gempa bumi itu merupakan makhluk diantara Allah dan atas kehendak Allah lah gempa bumi terjadi.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan :
والزلازل من الآيات التي يخوف الله بها عباده، كما يخوفهم بالكسوف، وغيره من الآيات
Dan gempa bumi merupakan ayat-ayat (Allah) yang digunakan untuk menakuti para hamba-Nya, sebagaimana ketika Allah menakuti dengan gerhana dan ayat-ayat tanl lainnya“.
Oleh karena itu merupakan sebuah kesalahan jika mengatakan itu hanya fenomena alam biasa, tidak ada kaitannya dengan keimanan. Padahal gempa bumi tersebut merupakan tanda-tanda kebesaran-Nya, ayat-ayat kauniyah yang manusia manapun tidak bisa membendungnya. Maka ketika Allah membuat gempa bumi engkau akan melihat betapa lemahnya manusia sebenarnya.
Dalam gempa bumi didunia ada beberapa hukum, pelajaran dan nasehat yang terdapat didalamnya.
Pertama,
Gempa bumi merupakan asbaab yang bisa dijelaskan oleh para ahli Geologi. Akan  tetapi hal ini tidaklah menafikan bahwa gempa tersebut merupakan ayat-ayat allah untuk menakuti hambanya. Maka hendaknya seorang muslim tidak mencampur adukan antara sebab terjadinya suatu peristiwa dan hikmah dari peristiwa tersebut, dan hendaknya tidak menyibukkan diri dengan mencari-cari sebab namun melupakan hikmah.
Maka wajib menjelaskannya secara ilmiyah dari tunjauan ilmu geologi dengan tujuan mengagungkan ayat-ayat Allah tersebut dan tidak bertahayul macam-macam.
Adapun beberapa orang yang mengatakan bahwa gempa bumi ini terjadi karena sudah lama tidak diberikannya tumbal, karena kerbau fulan begini dan begitu, nenek moyang marah dan sebagainya. Ini  adalah penafsiran yang jauh dari cahaya lahi serta merupakan penyesatan aqidah oleh Syetan.
Kedua,
Merupakan hukum Ilahi sunnatullah dimana dan kapan gempa bumi tersebut terjadi, yang harus diingat adalah, itu merupakan rahmat Allah kepada para hamba-Nya di dunia ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
أُمَّتِي هَذِهِ أُمَّةٌ مَرْحُومَةٌ لَيْسَ عَلَيْهَا عَذَابٌ فِي الْآخِرَةِ عَذَابُهَا فِي الدُّنْيَا الْفِتَنُ وَالزَّلَازِلُ وَالْقَتْلُ
Umatku ini adalah umat yang dirahmati dengan ditiadakanya adzab di akhirat (tapi yang ada) adzab yang menimpanya di dunia yaitu cobaan/godaab, gempa bumi, dan pembunuhan.”

Ini  merupakan suatu kekhususan dari Allah berupa betambahnya rahmat, sempurnanya nikmat, keringanan beban dari beban-beban yang pernah menimpa umat-umat sebelumnya.
Syaikh  al-Qari’ rahimahullah berkata;
بَلْ غَالِب عَذَابهمْ أَنَّهُمْ مَجْزِيُّونَ بِأَعْمَالِهِمْ فِي الدُّنْيَا بِالْمِحَنِ وَالْأَمْرَاض وَأَنْوَاع الْبَلَايَا كَمَا حُقِّقَ فِي قَوْله تَعَالَى مَنْ يَعْمَل سُوءًا يُجْزَ بِه . اهـ . .
“Bahkan sebagian besar adzab bagi mereka berupa balasan terhadap amal perbuatan mereka di dunia ini seperti cobaan, penyakit, dan berbagai macam bala’ sebagaimana yang telah dijelaskan Allah Ta’ala :
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya dia akan dicukupkan balasannya sesuai dengan kejahatan itu, dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.” [QS. An-Nisa’ 123]
Gempa bumi tidak hanya untuk menakuti dan penerapan hukuman bagi yang bermaksiat akan tetapi juga peringatan bagi manusia agar kembali kepada allah ta’ala. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” [Qs. Asy-syura 30]
Ketiga, Menghilangkan Ketergantungan Pada Dunia
Jika sekiranya semua musibah ditiadakan, maka manusia akan sangat condong dan terikat hatinya dengan dunia, sehingga melalaikannya dari tujuan yang sebenarnya untuk apa dia diciptakan dan lupa dengan akhirat. Akan  tetapi dengan adanya musibah maka ia seakan-akan menjadi menjadi alarm pengingat agar kembali beramal untuk akhirat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
وقد يأذن الله سبحانه للأرض أحياناً بالتنفس فتحدث فيها الزلازل العظام، فيحدث من ذلك لعباده الخوف والخشية، والإنابة والإقلاع عن المعاصي والتضرع إلى الله سبحانه، والندم
Terkadang Allah mengizinkan bumi untuk bernafas mka terjadilah gempa bumi yang dahsyat, dengan itu menjadikan para hamba-Nya merasa takut dan khawatir, pasrah kepada Allah, meninggalkan berbagai maksiat, merendahkan diri di hadapan Allah, dan menyesali dosa-dosa yang pernah dikerjakan.”
sebagian salaf berkata:
إن ربكم يستعتبكم
“Sesungguhnya Rab kalian ingin kalian kembali.”

Keempat, Mengangkat Derajat Orang-orang Beriman
Sesungguhnya musibah-musibah ketika menimpa orang yang beriman maka itu untuk mengangkat derajat mereka. Adapun ketika menimpa orang-orang kafir maka itu adalah kebinasaan bagi mereka.

Kelima, Mengingatkan  tentang Hari Kiamat dan Huru-haranya
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ * يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَىٰ وَمَا هُمْ بِسُكَارَىٰ وَلَٰكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar. (Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (goncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras.” [Surat Al-Hajj 1 – 2]
Allah subhanahu wata’ala juga berfirman;
إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا * وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا * فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا
Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan.” [Qs. Al-Waqi’ah 4 – 6]
Allah subhanahu wa ta’ala juga mengingatkan tentang hari kiamat :
ِ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا * وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا * وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا
Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, Dan manusia bertanya, “Apa yang terjadi pada bumi ini?” [Qs. Az-Zalzalah 1 – 3]

Keenam
Peringatan Bahwa Bumi Tenang Itu Merupakan Nikmat dari Allah
Kita bisa membayangkan seandainya bumi itu terjadi gempa setiap jam, tentu saja manusia tidak akan bisa berjalan dengan tenang, aman, nyaman. Maka perlu diingat kembali betapa nikmat Allah ternyata sangat banyak. Akan  tetapi biasanya seseorang tidak bisa menyadari akan nikmat kecuali jika nikmat tersebut hilang darinya.

Ketujuh,
Banyaknya Gempa Bumi Merupakan Tanda Dekatnya  Kiamat
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
لا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ، وَتَكْثُرَ الزَّلَازِلُ ، وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ ، وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ، وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ ،وَهُوَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ ، حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمْ الْمَالُ فَيَفِيضَ
Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu itu diangkat, banyakny terjadi gempa bumi, waktu terasa singkat, munculnya fitnah-fitnah, banyaknya al haraj yaitu pembunuhan-pembunuhan, sampai puncanya akan melimpahknya harta-harta diantara kalian.”
Hari ini betapa banyak kita lihat krsis ilmu syar’i, meninggalnya para ulama, menyenya kebodohan,  banyaknya gempa bumi, perbudakan, dan menyebarnya fitnah-fitnah dan pembunuhan. Selain itu gempa bumi banyak terjadi di berbagai belahan bumi, di timur, barat, utara dan selatan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata;
ومن تأثير معاصي الله في الأرض ما يحل بها من الخسف والزلازل ، ويمحق بركتها
Diantara akibat maksiat kepada Allah di bumi adalah tanah longsor, gempa bumi dan hilangnya keberkahan“.
Syakh bin Baz rahimahullah berkata:
لا شك أن ما يحصل من الزلازل في هذه الأيام في جهات كثيرة هو من جملة الآيات التي يخوف الله بها سبحانه عباده، وكل ما يحدث في الوجود من الزلازل فكله بسبب الشرك والمعاصي، كما قال الله عز وجل:
Tidak diragukan lagi bahwa gempa bumi yang terjadi dihari-hari ini diberbagai belahan bumi merupakan ayat-ayat allah untuk menakuti para hambanya. Dan penyebab terjadinya gempa bumi tersebut merupakan hasil dari banyaknya perbuatan syirik dan maksiat
Kemudian beliau membaca ayat:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” [Qs. Surat Asy-Syura 30].
Oleh Yoshi Putra Pratama(Mahasiswa UIM KSA)
Sumber dari: https://wahdah.or.id/gempa-bumi-dalam-tinjauan-syariat/

June 14, 2019

Abdullah Hehamahua KEBERPIHAKAN nya pada KEBENARAN

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Oleh: Abdullah Hehamahua, (Mantan Penasehat KPK)
Sebenarnya saya tidak ingin komentari kisah ini karena saya sudah membacanya beberapa kali sejak 5 tahun lalu. Cuma saya tergelitik dengan apa yang terjadi beberapa pekan belakangan ini di mana presiden, para menteri, dan penegak hukum, khususnya kepolisian bertingkah seperti mahasiswa Indonesia yang belajar di Perancis tersebut.
Sebenarnya, sebagian besar kalangan termasuk saya pribadi sudah melupakan kecurangan yang terjadi pada pilpres 2014 yang lalu. Ditakdirkan, Ketua MK yang mengadili sengketa pilpres 2014 itu, yunior saya di UNHAS sehingga saya tau jalan cerita kecurangan pilpres 2014 tersebut. 

Lalu sebagian masyarakat termasuk saya pribadi tenggelam dalam kesibukan rutin masing2 sehingga kecurangan pilpres 2014 itu terlupakan

. Namun, ada sekitar 700 orang petugas KPPS meninggal dunia dalam waktu relatif bersamaan pasca pilpres. Lalu Menkes melarang autopsi mayat mereka. Kemudian ditemukan ratusan selongsong peluru tajam yang dilepaskan Brimob dalam menghalau demonstran tgl 21 – 22 Mei.
Saya lalu melihat pengakuan mahasiswi Indonesia yang belajar di Perancis tersebut bahwa kesalahan yang dilakukan sebagai persoalan sepele, sama seperti pengakuan KPU, Bawaslu, Presiden, Menteri dan penegak hukum. 

Apakah DNA mahasiswi itu sama dengan yang dipunyai Menkes, Brimob dan Presiden yang merasa bangga dapat menipu sistem yang ada demi mencapai ambisi pribadi.? Lalu kita harus terima Presiden hasil kecurangan yang kedua kalinya? Bangsa ini betul-betul sedang sakit parah. Lalu terbayang masa muda saya sebagai mahasiswa di Makassar yang sering masuk keluar sel dan penjara karena memperjuangkan aspirasi mahasiswa.
Saya menunggu dan menunggu tampilnya mahasiswa seperti thn 1965 – 1967, 1974, dan 1998 yang karena people power mereka, dua presiden penomenal dilengserkan. Saya lalu menghayal, apakah dalam usia senja ini, saya harus turun ke jalanan lagi untuk merasakan bagaimana makanan di sel dan penjara.

Bahkan, saya juga menghayal bagaimana nikmatnya Hasan Albana, Sayid Kutub, dan pahlawan dari kampung saya sendiri, Ahmad Lusi (Patimura) meninggal di tiang gantungan karena keteguhan melawan penguasa yang curang dan zalim. Apalagi memerhatikan piagam Wira Karya saya yang dianugerahkan pemerintah karena memiliki andil dalam pembangunan integritas nasional, khususnya di KPK. Lalu muncul pertanyaan dahsyat, “hei Abdullah Hehamahua, kamu salah seorang cucu Pattimura, masihkah kamu berintegritas?” Ya, Allah aku rindu menjumpaiMu sebagai seorang syuhada. Aamiin Yaa Robbal Aalamiin !!!

Menasehati PEMIMPIN

KIBLAT.NET – Memberi nasihat kepada pemimpin merupakan salah satu kewajiban rakyat. Rakyat harus senantiasa melaksanakan kewajiban ini, baik ketika pemimpin memintanya ataupun tidak. Terlebih ketika kebijakan pemimpin menyimpang dari rambu-rambu syariat.
Nasihat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seorang muslim. Di mana pun dan kapan pun, seorang muslim selalu dianjurkan untuk saling menasihati satu sama lain. Bahkan Nabi SAW sendiri menyebutkan bahwa agama itu sendiri adalah nasihat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya, dari Tamim Ad-Dari r.a, bahwa Nabi SAW bersabda;
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu nasihat, Agama itu nasihat, Agama itu nasihat. Mereka bertanya, ‘Untuk siapakah, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara keseluruhan’.” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Makna nasihat untuk pemimpin kaum muslimin yaitu membantu dan mematuhi mereka dalam kebenaran, memerintahkan mereka melakukan kebaikan, mengingatkan mereka dengan lemah lembut, memberitahukan apa saja yang mereka lalaikan dan hak-hak kaum muslimin yang belum ia dengar, tidak memberontak terhadap mereka, dan menyatukan hati rakyat untuk mematuhi mereka.” (Syarh An-Nawawy ‘ala Shahih Muslim, I/38, 39)
Nasihat Kepada Pemimpin Zalim
Menurut Syekh Abu Amr bin Shalah, Nasihat adalah kata menyeluruh mencakup makna orang yang memberi nasihat melakukan segala bentuk kebaikan untuk orang yang dinasihati, baik dalam bentuk keinginan maupun aksi nyata.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal
“Barangsiapa hendak menasihati pemilik kekuasaan, janganlah ia menyampaikannya secara terang-terangan. Hendaklah ia meraih tangan (si sultan) dan (berbicara) berdua dengannya. Jika (sultan) mau menerimanya, ia pasti menerimanya. Jika (sultan) tidak (menerima), (orang yang memberikan nasihat) sudah menunaikan kewajibannya yang menjadi hak (sultan)’.” (HR. Ahmad)
Menasihati secara diam-diam memang sebuah pilihan, tapi bukan berarti itu satu-satunya cara dalam upaya merubah kebijakan penguasa yang dianggap keliru. Ketika nasihat dengan cara empat mata sudah tidak efektif, bahkan pemimpin justru menampakkan kezalimannya tak bergeming dengan nasihat, maka menasehati secara terbuka menjadi sebuah pilihan. Bahkan ia menjadi sebuah keharusan ketika kezaliman penguasa semakin merajalela.
Dalam sebuah riwayat dari Imam Ahmad dengan sanad yang bersambung hingga Abdullah bin Amr, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,“Jika engkau melihat umatku takut, sehingga tidak berani mengatakan kepada orang zalim, ‘wahai orang zalim,’ maka mereka tidak berarti lagi (keberadaannya).” (HR. Ahmad)
Sementara dalam riwayat lainnya, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mendorong agar setiap mukmin menyampaikan nasihat kepada pemimpin zalim meski mengkhawatirkan keselamatan diri mereka. Nabi SAW menganggapnya sebagai jihad terbaik.
Diriwayatkan dari Umamah r.a bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah! Jihad apa yang paling utama?’ Saat itu Rasulullah SAW tengah melempar jumrah ula, beliau berpaling darinya. Saat beliau melempar jumrah wustha, orang tersebut bertanya lagi, beliau kembali berpaling. Setelah beliau melempar jumrah aqabah dan meletakkan kaki beliau di atas batang kayu, beliau bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ ‘Saya, wahai Rasulullah,’ jawab orang tersebut. Beliau kemudian bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
 “Jihad paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan sultan yang zalim’.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Al-Khathabi berkata, “Mengatakan kebenaran di hadapan sultan zalim dinilai sebagai jihad paling utama karena orang yang berjihad memerangi musuh punya harapan menang dari musuh dan tidak lemah menghadapinya karena ia tidak yakin akan dikalahkan. Sementara orang yang mengatakan kebenaran di hadapan sultan zalim tahu bahwa kekuasaan sultan lebih besar dari kekuasaannya, sehingga pahala diberikan sesuai beban berat yang ditanggung.” (Al-Uzlah, hal; 92)

June 08, 2019

Teman Bergaul, Cerminan Diri Anda TEMAN BERGAUL, CERMINAN DIRI ANDA

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc

Sebenarnya, sangat mudah mengetahui seperti apa cerminan diri Anda. Cukup dengan melihat bersama siapa saja Anda sering bergaul, seperti itulah cerminan diri Anda. Kenyataan ini telah dipaparkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ (أخيه) الْمُؤْمِنِ
Seorang mukmin cerminan dari saudaranya yang mukmin [1]
Kalau seorang biasa berkumpul dengan seseorang yang hobinya berjudi, maka kurang lebih dia seperti itu juga. Begitu pula sebaliknya, kalau dia biasa berkumpul dengan orang yang rajin shalat berjamaah, maka kurang lebih dia seperti itu.
Allah Azza wa Jalla menciptakan ruh dan menciptakan sifat-sifat khusus untuk ruh tersebut. Di antara sifat ruh (jiwa) adalah dia tidak mau berkumpul dan bergaul dengan selain jenisnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hakekat ini dengan bersabda:
الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). (Oleh karena itu), jika mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berbeda (berpisah) [2]
Memilih teman yang baik adalah sesuatu yang tak bisa dianggap remeh. Karena itu, Islam mengajarkan agar kita tak salah dalam memilihnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman [3]
Sudah dapat dipastikan, bahwa seorang teman memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap temannya. Teman bisa mempengaruhi agama, pandangan hidup, kebiasaan dan sifat-sifat seseorang.
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-Qâsim [4] berkata, “Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan teman pergaulannya. Manusia saja bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang ternak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْفَخْرُ وَالْخُيَلاَءُ فِي الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ
Kesombongan dan keangkuhan terdapat pada orang-orang yang meninggikan suara di kalangan pengembala onta. Dan ketenangan terdapat pada pengembala kambing [5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mengembalakan onta akan berpengaruh akan timbulnya kesombongan dan keangkuhan dan mengembalakan kambing berpengaruh akan timbulnya sifat ketenangan. Jika dengan hewan saja, makhluk yang tidak punya berakal dan kita tidak tahu apa maksud dari suara yang dikeluarkannya, manusia saja bisa terpengaruh .… maka bagaimana pendapat Anda dengan orang yang bisa bicara dengan Anda, paham perkataan Anda, bahkan terkadang membohongi dan mengajak Anda untuk memenuhi hawa nafsunya serta memperdayai Anda dengan syahwat? Bukankan orang itu akan lebih berpengaruh? [6]
Setelah mengetahui betapa pentingnya memilih teman yang baik, di sini akan dipaparkan sifat dan karakter orang yang pantas dijadikan sebagai teman dan sahabat karib. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Berakidah Lurus
Ini menjadi syarat mutlak dalam memilih teman. Dia harus beragama Islam dan berakidah Ahlus sunnah wa -jamâ’ah. Bukankah kita semua tahu kisah kematian Abu Thalib, paman Rasulullah?

Ya, dalam keadaan terbaring dan menghadapi detik-detik kematian, ada tiga orang yang menyertainya. Mereka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah, dua orang terakhir ini adalah tokoh kaum kafir Quraisy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak pamannya dengan berseru, “Paman! Katakanlah lâ ilâha illallâh! Satu kalimat yang akan ku jadikan bahan pembelaan bagimu di hadapan Allah.” Dua tokoh kafir itu menimpali, “Abu Thalib! Apakah kamu membenci agama Abdul-Muththalib?”
Tanpa henti, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “menawarkan” kalimat itu dan sebaliknya mereka berdua juga terus melancarkan pengaruh. Sampai akhirnya Abu Thalib masih enggan mengucapkan lâ ilâha illallâh dan tetap memilih agama Abdul-Muththalib.[7] Ia pun mati dalam kekufuran.
Cobalah lihat buruknya pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya! Padahal Abu Thalib sudah membenarkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hatinya.
2. Bermanhaj Lurus
Ini juga menjadi sifat mutlak yang kedua. Oleh karena itu, Islam melarang berteman dengan ahlul-bid’ah dan ahlul-hawa’. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Janganlah kalian duduk-duduk bersama dengan ahlulhawa! Sesungguhnya duduk-duduk dengan mereka menimbulkan penyakit dalam hati (yaitu bid’ah ).”[8]

3. Taat Beribadah Dan Menjauhi Perbuatan Maksiat
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Allah, pada waktu pagi dan petang, (yang mereka itu) menginginkan wajah-Nya [al-Kahfi/18: 28]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menyatakan, “Duduklah bersama orang-orang yang mengingat Allâh, yang ber-tahlîl (mengucapkan lâ ilâha illallâh), memuji, ber-tasbiih (mengucapkan subhaanallah), bertakbir (mengucapkan Allâhu akbar) dan memohon pada-Nya di waktu pagi dan petang di antara hamba-hamba Allâh, baik mereka itu orang-orang miskin atau orang-orang kaya, baik mereka itu orang-orang kuat maupun orang-orang yang lemah.”
4. Berakhlak Terpuji Dan Bertutur Kata Baik
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik akhlaknya [9]
Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah berkata, “Kami dulu selalu mengikuti Qais bin ‘Ashim. Melalui dirinya, kami belajar kesabaran dan kemurahan hati sebagaimana kami belajar ilmu fikih.”[10]
5. Teman Yang Suka Menasehati Dalam Kebaikan
Teman yang baik tentu tidak senang jika kawannya sendiri terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika Anda memiliki teman, tetapi tidak pernah menegur dan tidak memperdulikan diri Anda ketika melakukan kesalahan, maka perlu dipertanyakan landasan persahabatan yang mengikat mereka berdua. Ia bukan seorang teman?

Salah satu ciri orang yang tidak rugi sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla pada surat al-‘Ashr, mereka saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri [11]
6. Zuhud Terhadap Dunia Dan Tidak Berambisi Mengejar Kedudukan
Teman yang baik tentu tidak akan menyibukkan saudaranya dengan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti sibuk membicarakan model-model handphone, mobil mewah keluaran terbaru dan barang-barang konsumtif yang menjadi incaran kaum hedonis.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersikaplah zuhud terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah tidak membutuhkan terhadap apa-apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu.”[12]
7. Banyak Ilmu Atau Dapat Berbagi Ilmu Dengannya
Tidak salah lagi, berteman dengan orang-orang yang punya dan mengamalkan ilmu agama akan memberi pengaruh positif yang besar pada diri kita.

8. Berpakaian Yang Islami
Teman yang baik selalu memperhatikan pakaiannya, baik dari segi syariat, kebersihan dan kerapiannya. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata dalam kitab al-Hilyah, “Perhiasan yang tampak menunjukkan kecondongan hati. Orang-orang akan mengklasifikasikan dirimu hanya dengan melihat pakaianmu…Maka pakailah pakaian yang menghiasimu dan tidak menjelekkanmu, dan tidak menjadi bahan celaan dalam pembicaraan orang atau bahan ejekan orang-orang tukang cemooh.”[13]

9. Ia Selalu Menjaga Kewibawaan Dan Kehormatan Dirinya Dari Hal-Hal Yang Tidak Layak Menurut Pandangan Masyarakat
Teman yang baik selalu memelihara dirinya dari perkara-perkara tersebut, kendatipun merupakan hal-hal yang diperbolehkan dalam agama, bukan maksiat. Seandainya suatu daerah menganggap bahwa main bola sodok adalah permainan tercela (sebuah aib bagi orang yang ikut bermain), maka tidak sepantasnya bergaul dengan orang-orang yang suka bermain permainan itu.

Betapa indah ucapan Imam Syâfi’i rahimahullah :
لَوْ أَنَّ اْلمَاءَ اْلبَارِدَ يَثْلَمُ مِنْ مُرُوْءَتِيْ شَيْئًا مَا شَرِبْتُ اْلمَاءَ إلاَّ حَارًّا
Seandainya air yang dingin merusak kewibawaanku (kehormatanku), maka saya tidak akan minum air kecuali yang panas saja [14]
10. Sosok Yang Tidak Banyak Bergurau Dan Meninggalkan Hal-Hal Yang Tak Bermanfaat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Di antara ciri baiknya keislaman seseorang, dia meninggalkan hal-hal yang tak bermanfaat baginya [15]
Memang kelihatannya agak sulit mendapatkan teman ideal sesuai dengan pemaparan di atas. Akan tetapi, dengan idzin Allah Azza wa Jalla kemudian dengan usaha yang kuat serta doa kepada Allah, kita akan mendapatkan orang-orang seperti itu.
Catatan Penting :
Perlu menjadi catatan, melalui keterangan di atas yang menganjurkan mencari teman yang berlatar-belakang baik, bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang-orang di sekitar kita. Bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang kafir, ahlul-bid’ah, orang-orang fasik dan orang-orang berkarakter buruk lainnya. Akan tetapi, pergaulan dengan mereka mesti dilandasi keinginan dan niat untuk mendakwahi dan memperbaiki mereka.

Dalam masalah ini, kita harus melihat dan mempertimbangkan sisi kemaslahatan (kebaikan) dan madharat (bahaya) yang akan terjadi pada diri kita dan orang orang lain di sekitar kita pada saat kita bergaul dengan mereka. Jika pergaulan kita dengan mereka mendatangkan manfaat yang besar bagi mereka, maka kita boleh bergaul dengan mereka. Begitu pula sebaliknya, jika tidak mendatangkan manfaat tetapi justru mendatangkan bahaya, maka bergaul dengan mereka menjadi perkara larangan.
Simaklah keterangan Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn rahimahullah berikut, “Jika di dalam pergaulan dengan orang-orang fasik menjadikan sebab datangnya hidayah baginya, maka tidak mengapa berteman dengannya. Engkau bisa undang dia ke rumahmu, kamu datang ke rumahnya atau kamu jalan-jalan bersamanya, dengan syarat tidak mengotori kehormatan dirimu dalam andangan masyarakat. Betapa banyak orang-orang fasik mendapatkan hidayah dengan berteman dengan orang-orang yang baik.”[16]
Di tengah masyarakat, jika Anda tidak memilih teman yang baik, maka tinggal pilih; Andakah yang akan mempengaruhi orang-orang untuk menjadi lebih baik atau Andakah menjadi korban pengaruh buruk lingkungan (kawan-kawan) Ingat! Tidak ada pilihan yang ketiga.
Wallâhul muwaffiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri (al-Adabul -Mufrad no. 239) dan Abu Dâwud no. 4918 (ash-Shahîhah no. 926)
[2]. HR al-Bukhâri no. 3336 dan Muslim no. 6708
[3]. HR Abu Dâwud no. 4833 dan at-Tirmidzi no. 2378. (ash-Shahîhah no. 927)
[4]. Beliau adalah imam Masjid Nabawi dan hakim di Mahkamah Syariah Madinah.
[5]. HR. al-Bukhâri no. 3499 dan Muslim no. 187
[6]. Khuthuwât ila as-Sa’âdah hlm. 141
[7]. Lihat al-Bukhâri no. 1360, Muslim no. 131 dan an-Nasâ’i no.2034
[8]. Asy-Syarî’ah, Imam al-Ajurri hlm. 61 dan al-Ibânah al-Kubrâ, Imam Ibnu Baththah (2/ 438). Nukilan dari Mauqif Ahlis Sunnah wa Jjamâ’ah min Ahlil hawâ’ wal Bida’, DR. Ibrâhîm ar-Ruhaili (2/535)
[9]. HR Abu Dâwud no. 4682 dan at-Tirmidzi no.1163. (ash-Shahîhah no. 284)
[10]. Al-‘Afwu wa al-A’dzâr, Ibni ar-Raqqâm. Nukilan dari Sû’ul Khuluq, Muhammad Ibrâhîm al-Hamd hlm. 134
[11]. HR. al-Bukhâri no. 13, Muslim no. 40 , an-Nasâ’i no. 5031, at-Tirmidzi no. 2515 dan Ibnu Mâjah no. 66
[12]. HR Ibnu Mâjah no. 4102 (ash-Shahîhah no.944)
[13]. At-Ta’lîquts Tsamîn ‘ala Syarhi Ibni al’Utsaimîn li Hilyati Thalabil ‘Ilmi hlm. 107
[14]. Manâqib asy-Syâfi’I, Imam ar-Râzy hlm. 85. Nukilan Ma’âlim fi Tharîq Thalabil’ilmi hlm. 166
[15]. Hadits shahîh riwayat at-Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Mâjah no. 3976
[16]. At-Ta’lîquts Tsamîn ‘ala Syarhi Ibni al’Utsaimîn li Hilyati Thalabil ‘Ilmi hlm. 24