adsense

May 04, 2020

Abu Dzar Al-Ghifari_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 6)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala

(Sambungan dari Bagian ke 5)

Ia mengajarkan kepada orang-orang itu bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan gigi-gigi sisir. Artinya, mereka semua berserikat dalam rezeki bahwa tidak ada kelebihan seseorang daripada orang lain kecuali karena ketakwaan dan bahwa pemimpin serta pembesar dari suatu golongan harus menjadi orang pertama yang menderita kelaparan sebelum rakyatnya dan yang paling belakangan menikmati kekenyangan setelah mereka.

Dengan kata-kata dan keberaniannya, Abu Dzar telah memutuskan untuk membentuk opini publik di setiap negeri Islam agar kebenaran, kekuatan, dan ketangguhannya menjadi kekangan terhadap para pembesar dan kaum hartawan, dan dapat mencegah munculnya suatu golongan yang menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan.

Dalam beberapa hari saja, Syria seakan berubah menjadi sel-sel lebah yang tiba-tiba menemukan ratu yang mereka taati. Seandainya Abu Dzar memberikan isyarat untuk berontak, api pemberontakan pasti akan berkobar. Tetapi, seperti yang kami katakan sebelumnya, niatnya hanya terbatas untuk membentuk suatu opini publik yang harus diindahkan, dan agar ucapan ucapannya menjadi hiasan bibir di tempat tempat pertemuan, di masjid, dan di jalan-jalan.

Dalam suasana gerakan revolusi yang panas itu, Abu Dzar tetap memelihara amanat Allah dan Rasul Nya. Nasihat yang diberikan oleh Nabi agar tidak menggunakan senjata meresapkan sampai ke tulang sumsumnya. Nasihat amat berharga itu disampaikan oleh beliau karena beliau sepertinya telah mengetahui semua yang akan terjadi pada Abu Dzar dan masa depannya. Karena itu, Abu Dzar sendiri pun tidak ingin menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar sebagian orang yang gemar menyalakan timah, dan menggunakan ucapan dan seruannya untuk mendukung keinginan dan siasat mereka.

Suatu hari, sewaktu ia sedang berada di Rabadzah, sekelompok orang dari Kufah datang dan memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan terhadap Khalifah Utsman. Abu Dzar menghardik mereka dengan kata-kata yang tegas, “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di tiang kayu yang tertinggi atau di atas bukit sekalipun, aku pasti mendengar dan taat. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa hal itu merupakan yang terbaik bagiku! Seandainya Utsman menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, aku pasti akan mendengar dan menaati. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa itulah yang terbaik bagiku. Begitu pun jika Utsman menyuruhku pulang ke rumahku, aku pasti akan mendengar dan menaati. Aku akan bersabar dan sadar diri, karena aku merasa bahwa itulah yang terbaik bagiku."

itulah dia seorang pahlawan yang tidak menginginkan tujuan duniawi. Karena itu, Allah melimpahkan kepadanya pandangan hati yang tajam, hingga mampu melihat bahaya dan bencana yang tersembunyi di balik pemberontakan bersenjata, sehingga ia pun menjauhinya.

Namun, ia juga menyadari bahaya dan bencana yang akan ditimbulkan bila ia hanya membisu dan tidak buka suara melihat penyimpangan tersebut, sehingga ia tidak tinggal diam. Abu Dzar menajamkan suaranya bukan pedangnya, menyerukan ucapan yang benar dan kata-kata yang tegas tanpa dicampuri oleh suatu keinginan duniawi yang mendorongnya atau kekhawatiran terhadap akibat yang akan menghalanginya.

Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaganya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala godaan kehidupan dunia. Ia menghabiskan sisa umurnya untuk melakukan penyelidikan yang lebih dalam tentang harta dan kekuasaan. karena keduanya mempunyai daya tarik dan pangkal fitnah yang dikhawatirkan oleh Abu Dzar akan menimpa rekan-rekannya yang telah memikul panji-panji Islam bersama Rasulullah, dan yang harus tetap memikulnya untuk seterusnya. Di samping itu, kekuasaan dan harta merupakan urat nadi kehidupan bagi umat dan masyarakat. hingga bila keduanya telah diselewengkan, nasib manusia pun akan menghadapi bahaya yang akut.

Abu Dzar berkeinginan agar tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah menjadi pejabat atau pengumpul harta. Ia menginginkan mereka tetap menjadi pelopor yang menunjukkan manusia kepada hidayah Allah dan pengabdi bagi Nya. Ia benar-benar telah mengenali tipu daya dunia dan harta serta menyadari bahwa Abu Bakar dan Umar tidak mungkin bangkit kembali. Abu Dzar pernah mendengar Nabi memperingatkan sahabat-sahabatnya terhadap tipuan jabatan ini dan bersabda tentang persoalan ini:

_"Ini (jabatan) merupakan amanah, dan padahari kiamat menyebabkan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya."_

Bahkan, perjuangan Abu Dzar sampai pada tindakan menjauhi rekan-rekannya karena mereka telah menjadi pejabat, yang dengan sendirinya memiliki harta dan berkecukupan.

Suatu hari ia ditemui oleh Abu Musa Al-Asy'ari, dan saat melihatnya Abu Musa langsung membentangkan kedua tangannya sambil berseru kegirangan karena pertemuan itu, "Selamat, wahai Abu Dzar! Selamat, wahai saudaraku!" Tetapi, Abu Dzar menolak, dan mengatakan, "Aku bukan saudaramu lagi! Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi pejabat dan gubernur!"

Hal yang sama juga terjadi ketika suatu hari ia ditemui oleh Abu Hurairah yang memeluknya sambil mengucapkan selamat. Abu Dzar menghardik dengan tangannya dan berkata, "Menyingkirlah dari diriku. Bukankah kamu telah menjadi seorang pejabat, hingga terus-menerus mendirikan gedung, memelihara ternak, dan mengusahakan pertanian?” Abu Hurairah menyanggah dengan gigih dan menolak semua tuduhan itu.

Abu Dzar barang kali menunjukkan sikap yang berlebihan dalam memandang harta dan kekuasaan. Tetapi, ia mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan keimanannya. Abu Dzar berdiri dengan cita cita dan karyanya, dengan pikiran dan perbuatannya, mengikuti pola yang telah dicontohkan bagi mereka oleh Rasulullah dan kedua sahabatnya, Abu Bakar, dan Umar.

Bila sebagian orang mungkin berpikir bahwa standar yang ditetapkan Abu Dzar terlalu ideal dan tidak mungkin dapat dicapai, Abu Dzar tidaklah demikian. Ia sendiri justru melihat hal itu sebagai keteladanan yang mengukir jalan hidup dan usaha, terutama bagi mereka yang hidup semasa Rasulullah yakni yang melakukan shalat di belakang beliau, berjihad bersama beliau, dan telah mengambil baiat untuk taat dan patuh kepada beliau.

Selain itu, sebagaimana telah kita kemukakan sebelumnya, bahwa dengan penglihatannya yang tajam ia melihat harta dan kekuasaan itu mempunyai pengaruh besar terhadap nasib manusia. Karena itu, setiap celah yang menodai amanah kekuasaan dan kekayaan, pasti akan menimbulkan bahaya besar yang harus segera ditanggulangi.

Sepanjang hayatnya, Abu Dzar dengan sekuat tenaga memikul panji contoh utama dari Rasulullah dan kedua sahabatnya, menjadi penyangga dan sosok terpercaya dalam memeliharanya. Abu Dzar menjadi mahaguru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.

Suatu saat, Abu Dzar ditawari sebuah jabatan sebagai gubernur di Iraq, namun ia menjawab, "Demi Allah, kalian tidak akan dapat memancingku dengan dunia kalian selamanya."

Kali lain, seorang sahabat melihat dirinya memakai jubah usang. Ia pun berkata, “Bukankah Anda masih punya baju yang lain? Beberapa hari yang lalu saya melihat Anda punya dua helai baju baru."

Abu Dzar menjawab, “Wahai putra saudaraku, kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya daripada diriku."

Sahabat itu pun berkata, "Demi Allah, Anda juga membutuhkannya."

Abu Dzar menjawab, "Ampunilah, ya Allah. Engkau terlalu mengagumi dunia. Apakah engkau tidak melihat burdah yang saya pakai ini? Aku mempunyai satu lagi untuk shalat jum'at. Aku punya seekor kambing untuk diperah susunya. dan seekor keledai untuk ditunggangi. Nikmat apa lagi yang lebih besar daripada yang kita miliki ini?"

Suatu hari Abu Dzar duduk menyampaikan sebuah hadits, dan berkata, “Aku diberi wasiat oleh junjunganku (Nabi Muhammad) berupa tujuh perkara: beliau memerintahkan agar aku menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada mereka; beliau memerintahkan agar aku berkaca kepada orang yang di bawahku dan bukan kepada orang yang di atasku; beliau memerintahkan agar aku tidak meminta sesuatu kepada orang lain; beliau memerintahkan agar aku menyambung tali silaturahmi; beliau memerintahkan agar aku mengatakan yang benar walaupun pahit; beliau memerintahkan agar aku dalam menjalankan agama Allah, tidak takut celaan orang; dan beliau memerintahkan agar aku memperbanyak ucapan, _'La haula wa la quwwata illa billah'_ (tiada daya dan upaya selain dari Allah). "

Kenyataannya, Abu Dzar memang hidup menjalani wasiat itu. Ia benar-benar menempa hidupnya sesuai dengan wasiat itu. Hingga ia pun menjadi simbol hati nurani masyarakat dari umat dan bangsanya. Imam Ali berkata, “Tidak ada lagi pada zaman sekarang ini orang yang tidak takut terhadap celaan orang dalam menegakkan agama Allah, selain Abu Dzar."

Hidupnya dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan harta. Hidupnya didedikasikan untuk menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar dan pemikul tanggung jawab menyampaikan nasihat dan peringatan.

Orang-orang melarang dirinya memberikan fatwa. Tetapi suaranya justru bertambah lantang, dan menghardik orang yang melarang itu dengan ucapan, “Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, seandainya kalian menaruh pedang di atas pundakku, namun aku merasa masih ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar, aku pasti akan menyampaikannya sebelum kalian menebas batang leherku.”

Seandainya saja kaum muslimin mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu, niscaya fitnah yang pada akhirnya berkobar dan berlarut-larut, mati ketika baru lahir. Pemerintah dan masyarakat Islam tentu tidak akan dihadapkan pada bahaya dan kepedihan yang tiada tara.

Kini Abu Dzar sedang menghadapi sakaratul maut di Rabadzah, suatu tempat yang dipilihnya sebagai tempat kediaman. Marilah kita menuju ke sana untuk melepas kepergian orang besar ini, dan menyaksikan akhir kesudahan dari kehidupannya yang luar biasa.

Seorang perempuan kurus yang berkulit kemerah merahan dan duduk di dekatnya menangis. Perempuan itu adalah istrinya.

Abu Dzar bertanya kepadanya, “Apa yang kamu tangisi, sedangkan maut itu pasti datang?"

“Karena engkau akan meninggal, padahal pada kita tidak ada kain untuk kafanmu!" jawabnya.

Abu Dzar bertutur kepada istrinya, “Janganlah menangis! Suatu hari ketika aku berada di sisi Rasulullah bersama beberapa orang sahabat, aku mendengar beliau bersabda, 'Salah seorang di antara kalian sungguh akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang orang beriman.' ”

“Semua yang waktu itu hadir di majelis Rasulullah itu telah meninggal di kampung dan di hadapan jamaah kaum muslimin. Tidak ada lagi yang masih hidup di antara mereka selain aku. Inilah aku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah jalan, siapa tahu rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!" Ruhnya pun kembali ke hadirat Allah.

Ternyata Abu Dzar tidak salah. Kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu terdiri atas rombongan orang beriman yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud, sahabat Rasulullah. Sebelum sampai ke tempat tujuan, lbnu Mas'ud telah melihat sesosok tubuh yang terbujur seperti mayat, sedangkan di sisinya ada seorang wanita tua dengan seorang anak, kedua-duanya menangis.

lbnu Mas'ud membelokkan binatang tunggangannya ke tempat itu dan diikuti oleh anggota rombongan. Saat pandangannya jatuh ke tubuh jenazah, tampak olehnya wajah sahabatnya, saudara seiman dan saudaranya dalam membela agama Allah, yakni Abu Dzar.

Air matanya mengucur deras dan di hadapan tubuh mayat yang suci itu. Ia berkata, “Memang benar ucapan Rasulullah. Engkau berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.” lbnu Mas'ud duduk, lalu menceritakan kepada para sahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya itu: “Engkau berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara."

Ucapan itu terjadi pada waktu Perang Tabuk pada tahun 9 H. Rasulullah telah menitahkan agar para sahabat mengadakan persiapan untuk menghadapi Romawi, yang waktu itu telah memulai membuat makar dan berencana jahat untuk menggempur umat Islam. Kali ini Nabi menyerukan kaum muslimin untuk berjihad pada masa yang sulit dan panas. Tempat yang akan dituju pun jaraknya sangat jauh, selain musuh yang menakutkan. Sebagian kaum muslimin enggan ikut serta karena berbagai alasan.

Rasulullah dan para sahabatnya akhirnya berangkat dan diikuti oleh sebagian orang dengan kondisi setengah terpaksa karena enggan.

Semakin jauh perjalanan mereka, semakin sulit pula penyiksaan dan penderitaan yang harus dipikul.

Bila ada orang yang tertinggal di belakang, orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, si fulan telah tertinggal". Beliau menjawab, "Biarkanlah! ndainya ia berguna tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Bila tidak, Allah telah membebaskan kalian dari dirinya.”

Suatu saat mereka melihat berkeliling ke sana kemari karena mereka kehilangan jejak Abu Dzar. Mereka berkata kepada Rasulullah, “Abu Dzar telah tertinggal, keledainya menyebabkan dirinya terlambat." Rasulullah mengulangi jawabannya tadi. Keledai Abu Dzar memang sangat kelelahan disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga langkahnya menjadi gontai. Ada dicobanya dengan berbagai akal untuk menghalaunya agar berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.

Abu Dzar merasa bahwa jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari kaum muslimin hingga tidak dapat mengikuti jejak mereka. Dia pun turun dari punggung kendaraannya, lalu mengambil barang barang dan dipikul di atas punggungnya, dan kemudian meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Dia mempercepat langkahnya di tengah-tengah padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah dan para sahabatnya.

Suatu pagi, ketika kaum muslimin telah menurunkan barang-barang mereka untuk beristirahat, tiba-tiba salah seorang dari anggota rombongan melihat dari kejauhan debu yang mengepul ke atas, sedangkan di belakangnya kelihatan sosok tubuh seorang laki-laki yang mempercepat langkahnya.

“Wahai Rasulullah, ada seorang laki-laki berjalan seorang diri." kata mereka.

“Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar, " jawab Rasulullah.

Mereka melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh jarak yang memisahkan mereka, sehingga mereka mengetahui siapa dia.

Lambat laun, musafir mulia itu mendekati mereka. Langkahnya bagai disentakkan dari pasir lembut yang membara. sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun, ia tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi berkah, dan tidak ketinggalan dari Rasulullah dan saudara-saudaranya seperjuangan.

Setelah ia sampai dekat rombongan, seseorang berseru, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, ia Abu Dzar." Sementara itu. Abu Dzar menujukan langkahnya ke arah Rasulullah.

Saat Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman di kedua bibir beliau, sebuah senyuman yang penuh santun dan belas kasih. Beliau bersabda:
_"Semoga Allah melimpahkan rahmat Nya kepada Abu Dzar. Ia berjalan sebatang kara, meninggal sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara."_

Setelah berlalu masa 20 tahun atau lebih dari hari yang kami sebutkan tadi, Abu Dzar wafat di padang pasir Rabadzah sebatang kara. Itu terjadi setelah dirinya juga sendirian untuk menempuh hidup yang luar biasa yang tidak seorang pun dapat menyamainya. Dalam lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara, yakni orang satu-satunya, baik dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita, dan kemudian di sisi Allah ia akan dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu satunya pula, karena dengan tumpukan jasa jasanya yang tidak terhitung banyaknya, dan tidak ada lowongan bagi orang lain untuk berdampingan dengannya."

No comments: