adsense

November 21, 2009

Negeri Para Pendusta

Sebuah sinetron baru telah membetot perhatian publik. Aktornya: Presiden, Pimpinan Polri, KPK, Kejagung, Tim 8 dan Anggodo. Lakonnya: Membantah setiap pernyataan yang dilontarkan lawan mainnya. Judulnya: Negeri Para Pendusta—terinspirasi judul puisi Adhie Massardi: Negeri Para Bedebah. Akting mereka sungguh memikat: ada yang menangis di hadapan Komisi III DPR sambil mengucap “Demi Allah”; ada yang bersumpah di bawah Al Qur’an; ada pula yang tetap tenang, menjaga wibawa atas nama “tidak ingin mengintervensi hukum”.

Kian hari, sinetron ini semakin memprihatinkan. Sepertinya tak cukup jika hanya diberi peringatan tayangan ini perlu “Bimbingan Orangtua”. Lebih dari itu, harus dihentikan karena membuat masyarakat bingung. Memang tak ada adegan pornoaksi dan pornografi; tapi ada lakon yang sama berbahayanya: mengajarkan dusta. Jika ada dua atau tiga orang yang sama-sama mengklaim dirinya benar dan bersumpah atas nama Allah, bukankah diantara mereka pasti berdusta? Dan, bagi mereka yang memiliki nurani, secara kasat mata bisa menyimpulkan siapa sesungguhnya pendusta itu.

Simak pernyataan-pernyataan berikut ini:
“Saya tak paham apa itu kriminalisasi KPK,” kata Presiden SBY menanggapi opini yang berkembang bahwa telah terjadi upaya kriminalisasi KPK. Seorang presiden bergelar S3 dan jenderal bintang empat sama sekali tak paham istilah kriminalisasi. Anda percaya atau tidak?
“Saya menemui Anggoro di Singapura difasilitasi KBRI,” ujar mantan Kabareskrim Susno Duadji. Belakangan, pihak KBRI membantahnya.

“Saya diperas oleh pimpinan KPK,” ucap Anggodo. Padahal, dalam rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi jelas terdengar jika Anggodo mengambil inisiatif menyuap KPK.

Semakin hari, bantah-membantah itu tak terkendali. Kebohongan atau dusta bak cendawan di musim hujan. Dusta ditutupi dengan dusta, terus begitu tak berkesudahan. Dan mereka tak malu mempertontonkan itu kepada khalayak, bahkan di panggung terhormat seperti di DPR.
Saya jadi teringat dengan seorang psikolog asal University of Massachusetts, Robert Feldman, PhD. Secara khusus ia melakukan penelitian untukmembuktikan seberapa sering manusia berdusta dan untuk apa mereka berdusta. Tak tanggung-tanggung, penelitian itu dilakukan selama 25 tahun! Salah satu hasilnya sangat mengejutkan. Menurutnya, orang-orang sukses dan memiliki jabatan tinggi sebetulnya adalah pembohong ulung.

Feldman kemudian memaparkan hasil penelitiannnya itu dalam bukunya The Liar in Your Life: The Way to Truthful Relationships. Ia mengatakan, rata-rata orang mengatakan 3 kebohongan setiap 10 menitnya. Diketahui pula bahwa tingkat kebohongan para responden sangat tinggi, berbohong bagi mereka sudah menjadi sangat umum dan hal biasa sampai-sampai seseorang tidak menyadari bahwa ia melakukannya.

Menurut Feldman, berbohong sudah dilakukan sedari kecil, sekitar umur 2 atau 3 tahun. Semakin besar seseorang, keahlian berbohongnya pun semakin mantap. Sampai-sampai jika dilakukan tes dengan alat pendeteksi kebohongan mungkin bisa tidak terdeteksi.

Mengapa mereka berdusta? Pertama , mereka berbohong untuk bertahan hidup. Kedua, seseorang berbohong untuk mendapatkan apa yang ia mau. Contohnya, memuji seseorang untuk mendapat pujian balik atau keuntungan tertentu, meyakinkan orang lain untuk meyakini apa yang kita mau dan sebagainya.

Teknik berbohong sebenarnya tidak dilakukan oleh manusia saja, hampir seluruh makhluk hidup melakukannya, dan satu alasan yang sama untuk berbohong adalah untuk mempertahankan hidup.

Jika diperhatikan, hewan melakukan teknik kamuflase yang merupakan teknik berbohong sederhana. Kebanyakan hewan melakukan kamuflase untuk menarik lawan jenisnya atau mencari mangsa yang ujung-ujungnya bertujuan untuk mempertahankan hidup.
Lalu, bagaimana dengan manusia? Perlukah seseorang berbohong untuk mempertahankan hidupnya?

Dalam Islam, hanya ada tiga dusta yang diperbolehkan. Pertama, orang yang berbicara dengan maksud hendak mendamaikan. Kedua, orang yang berbicara bohong dalam peperangan. Ketiga, suami yang berbicara dengan istrinya serta istri yang berbicara dengan suaminya (mengharapkan kebaikan dan keselamatan atau keharmonisan rumah tangga)”. (HR. Muslim)

Dusta yang dilakukan oleh para pemimpin kita tak satu pun masuk dari tiga kategori di atas. Dusta mereka, justru membuat kita “Malu (Aku) jadi Orang Indonesia”, seperti judul puisi yang ditulis Taufiq Ismail.

...Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia.
oleh: Erwyn KurniawanS.IP, Editor Maghfiroh Pustaka

November 17, 2009

Tidak Fatimah, Selagi Ada Muslim Miskin

Manusia terbagi dalam tiga golongan. Masing-masing golongan mempunyai karakter, dan orientasi sendiri-sendiri. Menurut Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah, pertama, golongan yang hanya menuruti hawa nafsunya.

Mereka tidak rela melainkan terhadap apa yang diberikan orang lain kepada mereka. Mereka tidak marah melainkan jika orang lain menghalanginya dari sesuatu yang diingininya. Jika seorang dari mereka diberikan apa saja yang disenanginya, baik yang halal maupun yang haram, maka kemarahannya akan segera hilang dan merasa puas. Mereka berbalik memberikan kesetiaannya.

Kemudian, perkara yang pendapatnya semula mungkar – di mana ia melarang dari hal mungkar tersebut, memberikan sanksi, celaan dan murkaan pada pelakunya akan berbalik menjadi suatu yang disenanginya. Ia menjadi sekutunya dan membantunya, serta menentang siapa saja yang melarang dan mengingkarinya. Mengapa demikian?

Penyebabnya tak lain karena manusia itu zalim dan bodoh. Ia tidak suka berbuat adil. Ketika ia melihat suatu kaum mengingkari kezaliman pemimpin terhadap rakyatnya, dan sikap melampui batasnya terhadap mereka. Tapi, kemudian pemimpin itu membuat senang mereka yang mengingkarinya dengan suatu hal, lalu mereka berubah menjadi pendukungnya. Inilah sikap yang menonjol dalam kehidupan orang-orang yang sudah dikendalkan nafsu.

Golongan kedua, kaum yang berbuat menurut agama yang benar. Mereka ikhlas, karena Allah dalam melaukan semua itu, melakukan perbaikan dalam segala yang hal, dan beristiqamah,s ehingga mampu bersabar menghadapi cobaan yang menimpa mereka. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan tergolong orang-orang yang shalih.

Sedangkan golongan ketiga, kaum yang dalam diri mereka berhimpun segala hal. Umumnya, mereka adalah kaum muslimin, yang dalam diri mereka berhimpun agama dan syahwat, yang ingin melakukan ketaatan dan berbareng dengan keinginan melakukan kemaksiatan. Adakalanya mereka menang, tapi ada kalanya mereka kalah.

Sehingga, manusia menjadi tiga golongan ini, yang disebut dengan tiga macam nafsu, “Ammarah, Muthma’innah, dan Lawwamah”.

Kemudian, dalam shiroh terdapat kisah yang disampaikan oleh Shahabat Ali bin Abi Thalib yang telah melaksanakan kebaikan-kebaikan yang pernah dijalankan oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, dan membawa misi yan amat berat. Tokoh yang kelak diambil menantu Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam, dan menikahi Fatimah itu, memang selalu ditakdirkan menghadapi kehidupan yang sulit. Adapun, kenikmatan, kemewahan, bahkan semata-mata istirahat pun, hal-hal yang tak layak bagi Ali.

Ali melihat keadaan keadaan Rasulullah , di saat bahaya yang beliau hadapi bersama pamannya Abu Thalib, dan bahaya itu telah mencapai puncak yang sangat mengkawatirkan, maka tampillah keutamaannya dalam kebesaran yang agung, hingga mampu mengatasi marabaya, terungkap dari kalimat beliau, ketika menghadapi keinginan kaum kafir Qurays, yang dipimpin Abu Sofyan, dan ungkapan itu , “Demi Allah meskipun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, aku tetap tiak akan meninggalkan urusan ini sampai akhirnya Allah menjadikannya berhasil, atau aku binasa karenanya”.

Pada peristiwa lainnya, Ali melihat pula sikap seperti itu, di saat pembebasan Makkah (Yaumul Fath). Nasib kaum Qurays saat itu benar-benar tergantung kepada keputusan yangakan keluar dari Rasulullah. Kiranya jiwa pemaafnya tampil ke depan dengan segala keramah tamahannya yang luas dan kasih sayangnya yang menyejukkan. Perbuatan mereka yang selama ini, membunuh sanak keluarga dan para shahabatnya, mengunyah-ngunyah hati pamannya dan mencincang jasadnya, semua dilupakannya. Ali menyaksikan semuanya itu.

Tidak mungkin sifat-sifat seperti itu akan dimiliki oleh jenis manusia yang selalu dipenuh dengan hawa nafsunya.

Shahabat Ali tahu dan belajar dari Rasulullah, ketika beliau membatasi dirinya untuk tidak meminum susu, ia memberikannya kepada seorang muslim yang miskin.

Dan, suatu ketika Ali menyuruh isterinya Fatimah, puteri Rasulullah Shllahu Alaihi Wa Sallam, meminta agar diberi bagian , walau sedikit, sebagaimana biasa yang diperolehya dengan mudah oleh kaum muslimin lainnya. Namun, Rasulullah dengan air mata berlinang, sebagai bukti kasih sayang seoran ayah kepada anaknya, menjawab,

“Tidak, Fatimah ..Bapak tidak akan memberikannya kepadamu, sementara kaum muslimin yang miskin tidak mendapatkannya”, ucap Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Salam kepada puterinya Fatimah.

Sedih memang. Tapi, itulah hakekat manusia yang tidak lagi dibelenggu oleh hawa nafsunya. Walllahu ‘alam. mashadi@eramuslim.com