adsense

May 05, 2020

Miqdad Bin Amr Prajurit berkuda pertama dalam Islam_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 15)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala


Ketika membicarakan Miqdad bin Amr, para sahabat dan teman dekatnya berkata, “Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang di jalan Allah ialah Miqdad bin Al Aswad”. Miqdad bin Al Aswad yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita Miqdad bin Amr ini. Pada masa jahiliah ia menyetujui dan membuat perjanjian untuk diambil oleh Al-Aswad Abdi Yaghuts sebagai anak, hingga namanya berubah menjadi Miqdad bin Al-Aswad. Tetapi, setelah turunnya ayat mulia yang melarang penisbatan nama anak angkat kepada nama ayah angkatnya dan mengharuskan penisbatan kepada nama ayah kandungnya, namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu, Amr bin Sa’ad.

Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang masuk Islam lebih awal, dan orang ketujuh yang menyatakan keislamannya secara terus terang, sehingga harus menanggung penderitaan oleh kemurkaan dan kekejaman orang-orang Quraisy.

Miqdad hidup dengan keberanian para ksatria dan keberuntungan para pengikut setia. Orang yang melihat sepakterjangnya di medan Perang Badar pasti akan berdecak kagum. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya. Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat Rasulullah lainnya, mengatakan, "Aku telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga aku lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini.”

Pada hari yang diawali dengan ketegangan itu, yakni ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka. Pada hari itu, jumlah kaum muslimin masih sedikit dan sebelumnya tidak pernah mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama yang mereka hadapi. Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneliti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang, baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkuda.

Para sahabat diajak bermusyawarah. Mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah pikiran dan pendapat mereka, itu berarti beliau sedang menghadapi suasana kritis. Beliau meminta pendirian dan pendapat mereka yang sebenarnya, sehingga bila ada di antara mereka yang berpendapat lain yang berbeda dengan pendapat umum, berarti ia tidak perlu takut atau akan mendapat penyesalan.

Miqdad khawatir kalau di antara kaum muslimin ada yang merasa berat untuk bertempur. Karena itu, sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka untuk mengungkapkan kalimat-kalimat yang tegas dan dapat menyalakan semangat juang dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum. Tetapi, sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq telah mendahuluinya dengan kata-kata yang sangat berkesan, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Al Khatthab menyusul bicara, dengan ungkapan yang menakjubkan pula.

Kini giliran Miqdad tampil berbicara, “Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersamamu. Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa. 'Pergi dan berperanglah kamu bersama Tuhanmu, sedangkan kami akan duduk menunggu di sini.’ Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, 'Pergi dan berperanglah engkau bersama Tuhanmu, dan kami ikut berjuang bersamamu, Demi Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran. Seandainya engkau membawa kami ke dalam lautan lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kanmi akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kirimu, di bagian depan dan di bagian belakangmu, hingga Allah memberikan kemenangan kepadamu."

Ungkapan tersebut lepas bagai peluru yang diluncurkan. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara mulut beliau komat kamit mengucapkan doa yang baik untuk Miqdad. Kata-kata tegas yang diungkapkannya itu membangkitkan semangat kepahlawanan dalam kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin berbicara, serta menjadi semboyan dalam perjuangan.

Sungguh, kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad bin Amr itu mencapai sasarannya di hati orang-orang beriman, hingga Sa'ad dan Mu'adz pemimpin kaum Anshar bangkit berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah beriman dan membenarkanmu. Kami telah bersaksi bahwa apa yang engkau bawa itu adalah benar dan untuk itu kami telah mengikat janji dan kesetiaan kami. Karena itu, majulah, wahai Rasulullah. Laksanakanlah apa yang engkau kehendaki, dan kami akan selalu bersamamu. Demi Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran, seandainya engkau membawa kami masuk ke dalam lautan ini, kami akan memasukinya. Tidak akan ada seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh. Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh, dan semoga Allah memperlihatkan kepadamu perbuatan kami yang berkenan di hatimu. Kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah!" Hati Rasulullah pun penuh dengan kegembiraan, lalu bersabda kepada sahabat-sahabatnya, "Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian.”

Dan kedua pasukan pun berhadapanlah. Anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu jumlahnya tidak lebih dari tiga orang, yaitu
Miqdad bin Amr, Martsad bin Abu Martsad, dan Az-Zubair bin Al Awwam, sedangkan pejuang-pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki atau pengendara unta.

Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi, tidak saja menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam. Demikianlah sifat Miqdad. ia adalah seorang filosof dan ahli pikir. Ia adalah seorang yang arif dan pandai mengolah kata. Kebijaksanaannya itu tidak saja terlihat dalam kata-katanya saja, tetapi juga tampak pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh, serta perilaku yang lurus dan konsisten. Pengalamannya menjadi sumber bagi kearifan dan penunjang kecerdasannya.

Suatu hari, ia diangkat oleh Rasulullah sebagai pemenang kendali (amir) di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu setelah menjadi amir?"

Ia pun menjawab dengan jujur, "Engkau telah menjadikan diriku menganggap diri sendiri di atas semua manusia. Sedangkan mereka semua di bawahku. Demi Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran, sejak saat ini saya tidak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya.”

Nah, jika ini bukan suatu kearifan, lantas apakah lagi yang dikatakan kearifan itu? Jika orang ini bukan seorang yang arif, lantas orang seperti apa yang disebut orang yang arif itu? Miqdad adalah sosok laki-laki yang tidak ingin tertipu oleh dirinya sendiri dan tidak mau terpedaya oleh kelemahannya.

Ia memegang jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu. Faktanya, setelah itu ia benar-benar menepati janji dan sumpahnya itu, hingga sejak itu ia tidak pernah mau menerima jabatan amir.

Miqdad selalu mendendangkan hadits yang didengarnya dari Rasulullah:

“Orang yang berbahagia ialah orang yang dijauhkan dari fitnah."

Oleh karena jabatan sebagai amir itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah menjauhinya. Salah satu perwujudan kearifannya ialah tidak tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga ia pelajari dari Rasulullah yang telah menyampaikan kepada umatnya, "bahwa hati manusia lebih cepat berbolak-balik daripada isi periuk saat mendidih. "

Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar tidak terjadi kesalahan menilai seseorang karena orang itu telah berubah setelahnya. Dengan menangguhkan itu, berarti orang tersebut memang tidak berubah lagi dan memang seperti itu adanya, sebab tidak ada perubahan atau hal baru setelah kematian.

Kearifannya itu tampak jelas dalam percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah seorang sahabatnya berikut ini:

"Suatu hari kami duduk duduk bersama Miqdad. Tiba-tiba seseorang lewat dan berkata kepada Miqdad, 'Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah. Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang Anda lihat, dan menyaksikan apa yang Anda saksikan."

Miqdad pergi menghampirinya, lalu berkata, 'Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya? Demi Allah, bukankah pada masa Rasulullah banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahanam? Mengapa kalian tidak mengucapkan pujian bagi Allah yang telah menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian? "

ltulah kearifan. Tetapi di mana letak kearifannya? Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul Nya yang Anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup pada masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya. Tetapi, mata batin Miqdad yang tajam dan arif mampu melihat sudut yang tidak tampak di balik keinginan itu. Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya? ladi, bukankah lebih baik ia memuji Allah yang telah menghidupkannya pada masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih?

Itulah pandangan Miqdad, memancarkan kearifan dan kecerdasan. Setiap tindakan, pengalaman, dan ucapannya, menunjukkan bahwa ia seorang yang cerdas dan bijaksana.

Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya. Bila cinta tumbuh dan membesar serta didampingi oleh hikmat, maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul konsekuensinya. Miqdad bin Amr adalah tipe manusia seperti ini. Kecintaannya kepada Rasulullah menyebabkan hati dan pikirannya dipenuhi rasa tanggung jawab terhadap keselamatan orang yang dicintainya, hingga setiap ada kehebohan di Madinah, secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasulullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau tombaknya.

Sementara itu, kecintaannya kepada Islam menyebabkannya bertanggung jawab terhadap keamanannya. Tidak saja dari tipu daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan rekan-rekannya sendiri. Suatu saat ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun menggembalakan hewan tunggangannya. Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggamya, dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang lebih besar daripada yang seharusnya, atau sebenarnya mungkin tidak perlu diberi sanksi.

Miqdad lewat di depan orang yang menjalani hukuman tersebut dan ia sedang menangis sambil berteriak-teriak. Ia pun menanyakan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi dan orang itu pun menceritakan apa yang telah menimpa dirinya. Miqdad meraih tangan orang itu dan membawanya ke hadapan komandan. Ia lalu berbicara kepadanya tentang bagaimana sebenarnya yang terjadi pada bawahannya itu, hingga akhirnya tersingkaplah kesalahan dan kekeliruan komandan tersebut. Miqdad pun berkata kepadanya, “Sekarang suruhlah ia membalas kesalahanmu dan berilah kesempatan untuk melakukan qishash." Sang komandan pun tunduk dan bersedia, hanya saja prajurit tersebut memaafkan dan berlapang dada.

Miqdad telah menunjukkan sikap yang mulia. Keagungan din ini telah mengangkatnya ke posisi yang terhormat. Ia berlalu sambil mendendangkan kata-kata:

"Biarlah aku mati, asal Islam tetap jaya."

Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus ditebus dengan nyawa sekalipun. Dengan keteguhan hati yang menakjubkan ia berjuang bersama para sahabatnya untuk mewujudkan cita cita tersebut. Karena itu, sangat pantas bila ia mendapat kehormatan dari Rasulullah menerima ucapan berikut:

"Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan Nya kepadaku bahwa Dia mencintaimu."

No comments: