adsense

May 05, 2020

Abdullah bin Umar bin Al Khatthab_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 9)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala
Salah seorang sahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju yang halus dan indah kepadanya, dan berkata, “Saya bawa baju ini dari Khurasan untukmu. Alangkah senangnya hatiku bila aku dapat melihatmu menanggalkan pakaianmu yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baju baru yang indah ini."

"Biarkanlah kulihat dulu,” jawab lbnu Umar. "Apakah ini sutera?” tanya Ibnu Umar sembari meraba baju ltu. “Bukan, itu hanya katun," ujar sahabatnya tersebut.

Ibnu Umar mengusap-usap baju itu sebentar, kemudian menyerahkannya kembali kepada orang tersebut dan berkata, "Tidak, aku khawatir terhadap diriku. Aku takut ia akan menjadikan diriku sombong dan tampak mewah, sedangkan Allah tidak menyukai Orang-orang sombong dan bermegah diri.”

Pada kesempatan lain, seorang sahabat memberinya sebuah kotak yang penuh dengan sesuatu.

“Apa ini isinya?" tanya Ibnu Umar. “Obat istimewa, aku bawa untukmu dari Iraq." jawab sahabatnya. “Obat untuk penyakit apa."

"Obat penghancur makanan untuk membantu pencernaan." Ibnu Umar tersenyum dan berkata kepada sahabat itu, "Obat penghancur makanan? Selama 40 tahun ini aku tidak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang."

Seseorang yang tidak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun tentu maksudnya bukan hendak menjauhi rasa kenyang itu semata, melainkan karena dorongan sifat zuhud dan wara'nya, di samping bagian dari upayanya untuk mengikuti jejak langkah Rasulullah dan ayahandanya. Ia sangat khawatir bila kelak akan dihadapkan pada hari kiamat dengan pertanyaan, “Telah engkau habiskan segala kenikmatanmu waktu kamu hidup di dunia, yang kamu bersenang-senang dengannya!"

ia menyadari bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu atau seorang musafir yang akan segera berlalu. Ia pernah bercerita tentang dirinya, "Aku tidak pernah membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma sejak wafatnya Rasulullah"

Maimun bin Mahran berkata, "Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang. selimut, tikar, dan apa saja yang terdapat di sana, maka saya mendapati harganya tidak sampai 100 dirham."

Hal ini terjadi bukanlah karena Ibnu Umar miskin, sebab sejatinya ia orang kaya, dan juga bukan karena pelit terhadap diri sendiri, karena sebenarnya ia adalah seorang yang pemurah dan dermawan. Yang demikian karena ia seorang zuhud yang tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah, dan tidak senang menyimpang dari kebenaran serta kesalehan dalam menempuh hidup ini.

Ibnu Umar dikaruniai umur panjang dan masih hidup pada masa Bani Umayah, di mana harta melimpah ruah, tanah tersebar luas, dan kemewahan terbentang di kebanyakan rumah kaum muslimin, apalagi di istana. Meski demikian, “gunung yang mulia ini" (lbnu Umar) tetap tegak dan tidak tergoyahkan, tidak hendak beranjak dari tempatnya dan tidak hendak bergeser dari sifat wara' dan zuhudnya.

Jika seseorang menyebut persoalan kebahagiaan dan kesenangan dunia yang dihindarinya itu, ia berkata, “Aku dan para sahabatku telah sepakat atas suatu perkara, dan aku khawatir jika menyalahi mereka, dan tak'kan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya."

Kemudian, ia menuturkan kepada orang-orang bahwa ia meninggalkan dunia itu bukanlah disebabkan oleh ketidakmampuan. Kemudian ia menadahkan kedua tangannya ke langit, sembari berkata, "Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu, tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan dunia ini."

Memang benar, seandainya ia tidak takut kepada Allah tentulah ia akan ikut merebut dunia dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi, ia tidak perlu berebut karena dunia datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya tariknya.

Apakah ada yang lebih menarik daripada jabatan khalifah? Jabatan ini berkali-kali ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan, ia pernah diancam jika tidak mau menerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin keras.

Al-Hasan menuturkan, "Tatkala Utsman bin Affan terbunuh, kaum muslimin berkata kepada Abdullah bin Umar, “Engkau adalah seorang pemimpin. Keluarlah, agar kami meminta orang-orang berbaiat kepadamu."

Ibnu Umar menjawab, "Demi Allah, bila mungkin, janganlah ada walau setetes darah pun yang tertumpah disebabkan diriku."

Mereka berkata lagi, “Engkau harus keluar! Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu."

Namun, jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah, mereka membujuk dan mengancamnya, tetapi mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa.

Setelah waktu berjalan sekian tahun dan fitnah semakin menjadi-jadi, Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar sedia menerima jabatan khalifah dan mereka akan berbaiat kepadanya, tetapi ia selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya masalah yang ditujukan kepada Ibnu Umar. Tetapi, ia mempunyai alasan yang logis.

Telah dimaklumi bahwa setelah Utsman terbunuh, keadaan bertambah buruk dan berlarut-larut, sehingga bencana dan malapetaka pun tidak terelakkan. Walaupun ia tidak mempunyai ambisi untuk menempati jabatan khalifah tersebut, ia sejatinya bersedia memikul tanggung jawab dan menanggung risikonya, dengan syarat ia dipilih oleh seluruh kaum muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika baiat itu dipaksakan oleh sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, inilah yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar, dan ia menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara seperti itu.

Ketika itu syarat tersebut tidak mungkin terwujud. Meski sebesar apa pun kebaikan Ibnu Umar dan kekompakan kaum muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, luasnya daerah dan letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang berkecamuk di antara kaum muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah menjadi beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata. Suasana waktu itu tidak memungkinkan tercapainya konsensus atau kesepakatan yang diharapkan oleh Ibnu Umar.

Suatu hari, seseorang mendatanginya dan berkata, "Tidak ada seorang pun yang lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia selain dirimu."

"Mengapa?" tanya Ibnu Umar. "Demi Allah, saya tidak pernah menumpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah-belah kesatuan mereka."

Orang itu berkata lagi, “Seandainya engkau bersedia (menjadi khalifah), tidak akan ada seorang pun yang menentang."

Jawab Ibnu Umar, "Saya tidak ingin jabatan itu menjadi milikku, sementara masih ada seseorang yang mengatakan setuju, sedangkan orang lain mengatakan tidak.”

Marwan datang kepadanya, dan berkata, “Ulurkanlah tangan Anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra pemimpin Islam."

Ibnu Umar menjawab, “Apa yang akan kita lakukan terhadap orang-orang dari wilayah Timur (masyriq)."

"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat!" jawab Marwan.

"Demi Allah, saya tidak sudi dalam umur saya yang sudah 70 tahun ini ada seorang manusia yang terbunuh karena saya."

Marwan akhimya pergi sambil menyenandungkan syair:

Aku melihat api fitnah berkobar hingga puncaknya.
Sepeninggal Abu Laila', kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa.

Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar tidak ingin ikut campur dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi. Dia mengambil kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:

"Siapa yang berkata, 'Marilah shalat!' akan aku penuhi. Dan siapa yang berkata, 'Marilah menuju kebahagiaan', akan aku turuti pula."

"Tetapi siapa yang mengatakan, 'Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!' Maka aku akan katakan tidak."

Ibnu Umar selalu bersemboyan, “Seandainya antara diriku dan seseorang ada hubungan, walau hanya sebesar rambut, itu tidak akan putus."

Abul 'Aliyah Al-Bara' berkata. “Suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahui olehnya. Saya dengar ia berbicara kepada dirinya, 'Mereka meletakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak orang lain, mereka saling membunuh lalu berkata, 'Wahai Abdullah bin Umar, ulurkanlah bantuanmu.'

Dia sangat menyesal dan berduka melihat darah kaum muslimin tertumpah oleh sesamanya. Seandainya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah agar tidak tertumpah, ia pasti melakukannya. Tetapi, peristiwa yang terjadi di luar kemampuannya, sehingga ia lebih memilih untuk menjauhinya.

Aku telah mulai berperang sejak berhala-berhala masih memenuhi Al Masjid Al-Haram dari pintu sampai ke sudut sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari Tanah Arab. Sekarang apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan La Haha illallah."

Itulah logika, argumen, dan keyakinan Ibnu Umar. Jadi, ia menghindari peperangan dan tidak ingin terlibat dalam hal itu, bukanlah karena takut atau hal hal negatif lainnya, melainkan karena tidak menyetujui perang saudara antara sesama orang beriman, dan menentang tindakan seorang Muslim yang menghunus pedang terhadap Muslim lainnya.

lbnu Umar dikaruniai usia lanjut dan mengalami saat-saat pintu keduniaan terbuka lebar bagi kaum muslimin. Harta melimpah ruah, jabatan beraneka ragam, dan angan-angan manusia melambung tinggi. Namun, kekuatan psikologisnya yang luar biasa mampu mengubah racun pada zamannya.

Kondisi zaman itu memang penuh dengan segala macam keinginan, fitnah, dan harta benda, bagi dirinya justru diubah menjadi zaman yang diliputi oleh kezuhudan dan kesalehan. Dia menjalani masa itu sebagai orang yang tekun beribadah dan selalu dekat dengan Sang Pencipta, dengan penuh keyakinan. Kehidupannya diisi sepenuhnya dengan kegiatan tersebut. Karakternya yang agung, yang telah dibentuk oleh Islam pada masa-masa pertamanya yang gemilang dan tinggi menjulang, tidak pernah tergoyahkan sedikit pun.

Corak kehidupan mengalami perubahan bersamaan dengan awal masa kekuasaan Bani Umayah, tidak ada seorang pun yang dapat lari dari perubahan tersebut. Masa itu bisa dikatakan sebagai masa kelonggaran dalam segala hal; kelonggaran yang bukan hanya bisa menuruti semua keinginan pemerintah, melainkan juga keinginan keinginan pribadi dan golongan. Di tengah tengah badai godaan dunia dan pasukan masa yang penuh dengan keluasan, kekayaan, dan kemegahannya. lbnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya, tidak menghiraukan semua itu, dan tetap melanjutkan pengembangan jiwanya yang besar.

Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya seperti yang diharapkannya, hingga orang-orang yang hidup semasa dengannya melukiskannya dengan ungkapan, "Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam hal keutamaan ia tidak ubahnya seperti Umar.” Bahkan, ketika menyaksikan sifat dan akhlaknya yang mengagumkan itu, mereka membandingkannya dengan Umar, yaitu ayahnya yang berpribadi besar. Mereka berkata, "Umar hidup pada masa yang waktu itu banyak tokoh yang menjadi saingannya, sedangkan Ibnu Umar hidup pada masa yang waktu itu tidak ditemui siapa yang menandinginya."

Perbandingan itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dimaafkan terhadap orang seperti Ibnu Umar. Adapun Umar, tidak seorang pun dapat disejajarkan dengannya, tidak mungkin ada bandingannya di setiap masa dari kaum manapun juga.

Pada tahun 73 H, ketika sang surya telah condong ke barat hendak memasuki peraduannya, sebuah kapal keabadian telah mengangkat sauh dan mulai berlayar ke alam lain dan Ar-Rafiq AI-A'Ia membawa sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di Mekkah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Al Khatthab. Adapun tokoh dari kalangan sahabat yang terakhir wafat adalah Anas bin Malik yang meninggal di Bashrah pada tahun 91 atau 93 H.

No comments: