Oleh Abd. Gani Isa
“Sesungguhnya,
kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan
kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama
disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai
oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi
penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’
Ulumuddin II: 381)
DALAM pandangan Imam al-Ghazali, krisis
yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang
menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan sang Imam
dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu, pemimpin negara tidak
boleh dipisah dari ulama. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana
agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara.
Ulama pun harus
memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama
nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin. Imam al-Ghazali sangat
berkomitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaruan. Baginya, seorang
ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk
kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam, karena ini
merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.
Seorang pemimpin
negara wajib mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan
syariah. terutama memprioritaskan pada kekuatan akidah tauhid. berisi
naihat-nasihat moral, keadilan, keutamaan ilmu, dan ulama. Seorang
sultan harus pula memahami bahwa penguasa tertinggi di dunia ini adalah
al-Khalik (Allah Swt). Sedangkan kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah
Swt. Allah memberi amanah kepada Sultan untuk menstabilkan negeri
sesuai dengan syariat-Nya.
Politik Islami
Imam al-Ghazali sekalipun dikenal sebagai seorang filosuf, namun tetap sangat peduli dengan masalah kekuasaan. Ia selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi para pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.
Imam al-Ghazali sekalipun dikenal sebagai seorang filosuf, namun tetap sangat peduli dengan masalah kekuasaan. Ia selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi para pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.
Sangat berpengaruh
Nasihat-nasihat Imam al-Ghazali itu sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca; Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal. 11). Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan Allah Swt digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka, apabila seseorang diberi kenikmatan itu dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat zalim dengan kekuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Swt.
Nasihat-nasihat Imam al-Ghazali itu sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca; Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal. 11). Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan Allah Swt digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka, apabila seseorang diberi kenikmatan itu dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat zalim dengan kekuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Swt.
Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh
Allah swt, sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahaya seorang
pemimpin. Rasulullah saw, pernah mengingatkan, bahwa seorang pemimpin
harus memperhatikan tiga perkara: Pertama, apabila rakyat
meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih
kepada mereka. Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil.
Dan, ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi
janji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al- Muluk, hal. 4).
Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Su‘ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai ‘ulama al-akhirah’), sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.
Setelah seorang pemimpin memiliki world view Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah menghindari sifat takabbur. Siafat takabbur seorang pemimpin adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang mendorong pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).
Seorang raja haruslah rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik dari pada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat.
Pemimpin ideal
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, di antaranya: mampu berbuat adil kepada masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak zalim (tirani).
Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.
Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampak nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basic faith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan pandangan dasar tentang iman. Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktivitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Kesimpulannya, Imam al-Ghazali --dalam teori kenegaraannya--mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaga. Kiranya para pemimpin yang telah kita pilih dalam Pileg dan Pilpres lalu, merupakan prang-orang terbaik yang senantiasa bersikap adil, amanah, jujur, dan selalu berpihak kepada rakyat. Amin yan Rabbal’alamin.
Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Su‘ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai ‘ulama al-akhirah’), sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.
Setelah seorang pemimpin memiliki world view Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah menghindari sifat takabbur. Siafat takabbur seorang pemimpin adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang mendorong pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).
Seorang raja haruslah rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik dari pada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat.
Pemimpin ideal
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, di antaranya: mampu berbuat adil kepada masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak zalim (tirani).
Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.
Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampak nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basic faith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan pandangan dasar tentang iman. Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktivitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Kesimpulannya, Imam al-Ghazali --dalam teori kenegaraannya--mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaga. Kiranya para pemimpin yang telah kita pilih dalam Pileg dan Pilpres lalu, merupakan prang-orang terbaik yang senantiasa bersikap adil, amanah, jujur, dan selalu berpihak kepada rakyat. Amin yan Rabbal’alamin.