adsense

May 28, 2016

Pemimpin Menurut Imam al-Ghazali

Oleh Abd. Gani Isa

“Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II: 381)

DALAM pandangan Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. 

Ulama pun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin. Imam al-Ghazali sangat berkomitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaruan. Baginya, seorang ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam, karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.

Seorang pemimpin negara wajib mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan syariah. terutama memprioritaskan pada kekuatan akidah tauhid. berisi naihat-nasihat moral, keadilan, keutamaan ilmu, dan ulama. Seorang sultan harus pula memahami bahwa penguasa tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah Swt). Sedangkan kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah Swt. Allah memberi amanah kepada Sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. 

Politik Islami
Imam al-Ghazali sekalipun dikenal sebagai seorang filosuf, namun tetap sangat peduli dengan masalah kekuasaan. Ia selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi para pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.

 Sangat berpengaruh
Nasihat-nasihat Imam al-Ghazali itu sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca; Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal. 11). Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan Allah Swt digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka, apabila seseorang diberi kenikmatan itu dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat zalim dengan kekuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Swt.

Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah swt, sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahaya seorang pemimpin. Rasulullah saw, pernah mengingatkan, bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga perkara: Pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka. Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil. Dan, ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al- Muluk, hal. 4).

Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Su‘ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai ‘ulama al-akhirah’), sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.
Setelah seorang pemimpin memiliki world view Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah menghindari sifat takabbur. Siafat takabbur seorang pemimpin adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang mendorong pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).

Seorang raja haruslah rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik dari pada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat.

 Pemimpin ideal
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, di antaranya: mampu berbuat adil kepada masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak zalim (tirani).

Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.

Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampak nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basic faith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan pandangan dasar tentang iman. Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktivitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.

Kesimpulannya, Imam al-Ghazali --dalam teori kenegaraannya--mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaga. Kiranya para pemimpin yang telah kita pilih dalam Pileg dan Pilpres lalu, merupakan prang-orang terbaik yang senantiasa bersikap adil, amanah, jujur, dan selalu berpihak kepada rakyat. Amin yan Rabbal’alamin.

Imam al-Ghazali tentang Kekuasaan dan Memilih Pemimpin

Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat

Oleh: Kholili Hasib
HUJJATUL  Islam Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama.

Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulamapun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.

Usaha-usaha perbaikan politik yang di lakukan Imam al-Ghazali dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar kepada ulama sekaligus kepada penguasa. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat.

Imam al-Ghazali sangat berkomitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam, karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.

Imam al-Ghazali pun telah menunjukkan dirinya sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang, yang disegani dan diterima oleh para pejabat negara serta para ulama lain pada zamannya.

Kepada pemimpin negara, ia memberi nasihat bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan adab untuk kemaslaha- tan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan syariah.

Pikiran-pikiran utama Imam al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam Kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk.

Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syah dari dinasti Saljuk. Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar.
Pertama, Imam al-Ghazali memprioritas kan pada kekuatan akidah tauhid. Kedua, berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama.

Dalam awal naskah nasihatnya, Imam al-Ghazali memulai dengan kaidah-kaidah Iman. Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa penguasa tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah Subhanahu Wata’ala). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah Subhanahu Wata’ala.

Allah memberi amanah kepada Sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub bab Kitabnya, al-Ghazali menulis tentang Ke-Esaan-Nya;tiada satu pun yang menyamai-Nya. Al-Ghazali mengingatkan tentang akhirat dan tugas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.

Peduli politik
Meskipun menulis banyak hal pada masalah tashawuf dan berkonsentrasi di pesantrennya sendiri yang jauh dari Ibu Kota Baghdad, Imam al-Ghazali tetap sangat peduli dengan jalannya kekuasaan. Ia selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.

Nasihat-nasihat imam al-Ghazali itu sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal 11).

Selanjutnya di pembahasan berikutnya dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali memulai dengan penjelasan tentang adab dan etika seorang pemimpin.Yang per tama-tama harus dipahami, menurut Imam al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya ? Jika tidak amanah.

Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka, apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui ha kikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kekuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu Wata’ala.

Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu Wata’ala sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahaya seorang pemimpin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah mengingatkan, bahwa seorang pemimpin harus memper hatikan tiga perkara. Pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka. Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil. Ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al- Muluk, hal. 4).

Peran Ulama
Karena itu, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Su‘ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai “ulama al-akhirah“), sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.

Dari usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang orang-orangnya memiliki basis Islam yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.

Setelah seorang pemimpin memiliki worldview Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling ber- musuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).

Seorang raja haruslah rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al- Ghazali bahkan berfatwa bahwa men- datangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik dari- pada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat.
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, diantaranya: mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).

Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam dalam menentu kan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian sia sat perang, dan kemampuan intelektual untuk meng atur kemaslahatan rakyat.

Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampak- nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan pan- dangan dasar tentang iman.

Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.

Sedangkan adab menjadi penting ka rena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang mema hami dan menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus ber upaya meningkatkan setiap aspek da lam dirinya menuju kesempurnaan manusia.

Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai imam al-Ghazali pada masa itu. Tan ta ngan perang pemikiran dan degradasi moral.

Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.

Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam teori kenegaraannya–mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan di pimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan ak hirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi,sedangkan pemerintahan adalah penjaga.*

Penulis penelitis Inpas dan INSISTS. Tulisan sebelumnya sudah dimuat di Jurnal Islamia Republika hari Kamis 20/03/2014

May 27, 2016

4 Ciri Pemimpin Bodoh menurut Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menubuwatkan bahwa kelak akan muncul pemimpin-pemimpin bodoh. Cirinya ada empat. Jika keempatnya ada dalam satu sosok pemimpin, berarti pemimpin itu adalah pemimpin bodoh.
Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ka’ab bin Ujrah:

أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ. قَالَ َمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِى لاَ يَقْتَدُونَ بِهَدْيِى وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّى وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلاَ يَرِدُوا عَلَىَّ حَوْضِى وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّى وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَىَّ حَوْضِى

“Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang bodoh.” Ka’ab bertanya, “Apa pemerintahan orang-orang bodoh itu?” Rasulullah bersabda: “Pemimpin-pemimpin setelahku yang tidak mau mengambil petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku. Siapa yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka mereka tidak termasuk golonganku dan aku bukan bagian dari mereka serta mereka tidak akan datang ke telagaku” (HR. Ahmad dan Al Hakim; shahih lighairihi)
Jadi menurut hadits tersebut, ada empat ciri pemimpin bodoh:

Tidak mengambil petunjuk Rasulullah

Rasulullah telah memberikan petunjuk kepada umatnya. Petunjuk yang sangat lengkap sekaligus petunjuk terbaik.

خَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ

Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (HR. Muslim)
Ibarat menempuh perjalanan, agar selamat hinga tujuan, kita perlu mematuhi rambu-rambu yang ada di sepanjang perjalanan itu. Petunjuk Rasulullah mirip dengan rambu-rambu tersebut. Al Quran dan hadits beliau merupakan petunjuk itu.

Tidak mengikuti sunnah Rasulullah

Pemimpin yang cerdas tidak akan menentang sunnah Rasulullah, bahkan ia akan mengkuti sunnah Rasulullah. Didasari keyakinan bahwa sunnah Rasulullah adalah jalan hidup terbaik untuk diikuti.

Suka berbohong

Pemimpin yang bodoh, di antara tandanya adalah suka berbohong. Ia merasa bahwa dengan melakukan kebohongan ia telah menipu orang lain padahal hakikatnya ia hanya menipu dirinya sendiri.

Berbuat zalim

Kekuasaan yang tidak dilandasi keimanan, ia cenderung akan zalim. Mulai tidak amanah dengan janjinya, tidak bersungguh-sungguh menyejahterakan masyarakat hingga merampas hak-hak masyarakat.
Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Bersamadakwah]

MANUSKRIP PERDEBATAN IMAM JA’FAR ASH SHADIQ DENGAN ORANG SYIAH

Dia adalah Imam Ja`far bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bib Abu Thalib. Perhatikan silsilah keluarganya. Jika anda mengidolakan Ali dan ahlul baitnya maka cintailah keturunannya ini, karena kami pun insya Allah mencintai beliau. Ja`far Ash-Shadiq adalah Imam ke-6 yang diklaim Syiah (Rafidhah) sebagai salah satu Imam 12 mereka yang ma`shum. Semenjak dahulu Syiah mengklaim bahwa mereka mengikuti manhaj dan langkah Ja`far Ash-Shadiq. Madzhab mereka dalam bidang fikih adalah ucapan-ucapan dan pendapatnya

Ada seorang syi`ah yang mengklaim keutamaan Ali di atas Abu Bakar Ash-Shiddiq di hadapan Ja`far Ash-Shadiq. Setelah orang syi`ah ini mendengarkan argumentasi Ja`far dia menyatakan taubat dari kesalahannya yang telah mengedepankan seseorang atas Abu Bakar. Teks perdebatan ini diabadikan dalam dua manuskrip yang sangat langka dan berharga. Satu manuskrip ada dalam Perpustakaan Syahid `Ali Basha di Istanbul, yang bernomor 2764. Fakta sejarah ini dituangkan dalam sepuluh halaman. Manuskrip kedua ada dalam Perpustakaan Zhahiriyah, Damaskus dalam kumpulan bernomor 111, sebanyak sembilan lembar.

Kedua manuskrip tersebut berstatus standar, handal dan dikuatkan dengan sanad-sanad (siklsilah yang meriwayatkan) dan banyaknya sama`at (riwayat yang dalam bentuk pendengaran) Teks perdebatan ini belum pernah dicetak sebelumnya, hingga Syaikh Ali Abdul Aziz Ali Syibl mengeditnya berdasarkan dua manuskrip tadi  dengan meneliti masalah-masalah yang menjadi bahan perdebatan. Cetakan pertama keluar pada tahun 1417 H dengan judul “Perdebatan Ja`far Ash-Shadiq dengan Seorang Rafidhi tentang Pengutamaan antara Abu Bakar denganAli Radhiallahu `anhuma”.

TEKS PERDEBATAN
Seorang Rawi (Narator) menuturkan bahwa ada seorang Syiah (Rafidhi) mendatangi  Ja`far Ash-Shadiq. Ia segera berucap salam,”Assalamu `alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.” Ja`far langsung menjawab salam.

1. Orang tadi bertanya,”Wahai putra Rasulullah, siapakah manusia terbaik setelah Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam?

Ja`far Ash-Shadiq menjawab:”Abu Bakar.”

2. Ia bertanya,”Mana hujjah (dalil) dalam hal itu?”

Dia menjawab,” Firman Allah ta`ala: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya dari (Makkah)  sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata,”Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad), dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya.”(Surat At-Taubah:40).

Coba pikirkan apa ada orang yang lebih baik dari dua orang sedang yang ketiganya adalah Allah?? Tidak ada seorangpun yang lebih afdhal dari Abu Bakar selain Nabi Shalallahu `alaihi wasallam.

3. Maka Rafidhi (Syi`ah) berkata:”Sesungguhnya Ali bin Abu Thalib telah tidur di tikar Rasulullah (demi menggantikannya) tanpa mengeluh (jaza`,artinya tabah) dan tidak takut (faza`,artinya tegar).”

Maka Ja`far Ash-Shadiq berkata,”Dan begitu pula Abu Bakar, dia bersama Rasulullah ,tanpa jaza` dan faza`.

4. Orang tadi menyanggah,”Sesungguhnya Allah ta`ala telah menyatakan berbeda dengan apa yang anda katakan!”

Ja`far Ash-Shadiq bertanya kepadanya,”Apa yang di firmankan Allah?”

Dia menjawab,”Ketika dia berkata kepada temannya,”Janganlah kamu berduka cita (huzn). Sesungguhnya Allah bersama kita, “Bukankah ketakutan tadi adalah jaza`?”

Ja`far Ash-Shadiq menjelaskan,”Tidak! Karena huzn (sedih) itu bukan jaza` dan faza`. Sedihnya Abu Bakar adalah khawatir jika Rasulullah dibunuh dan agama Allah tidak lagi ditaati. Jadi kesedihannya terhadap agama Allah dan terhadap Rasul Allah bukan sedih terhadap dirinya. Bagaimana (ia sedih), dia telah disengat (hewan berbisa) lebih dari seratus sengatan dan tidak pernah mengatakan “His” juga (tidak pernah) mengatakan “UH”!

5. Orang Syi`ah berkata: Sesungguhnya Allah Ta`ala berfrman, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (Surat Al-Maidah:55).

Ayat ini turun tentang perihal Ali bin Abu Thalib ketika  menshadaqohkan cincinnya ketika dia ruku`, maka Rasulullah bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya (ayat) di dalam diriku dan ahlul baitku.”

Ja`far Ash-Shadiq menjelaskan,”Ayat yang sebelumnya lebih agung daripadanya. Allah berfirman,”Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum (bisa kelompok atau orang) yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintainya”(Surat Al-Maidah 54, ayat sebelumnya). Ternyata perbuatan riddah (murtad, keluar dari islam) terjadi besar-besaran sepeninggal Rasulullah shalallahu `alaih wasallam.

Orang-orang kafir itu berkonsentrasi di Nawahand, mereka berkata,”Orang yang selama ini mereka bela—maksudnya Nabi—-kini telah mati.” Hingga Umar Radhiallahu `anhu berkata (kepada Abu Bakar yang bertekad memerangi  mereka),”Terimalah salat dari mereka dan dan biarkan (tinggalkan, maafkan) zakat bagi mereka, maka Abu Bakar berkata ,”Demi Allah  seandainya mereka menghalangiku (tidak mau menyerahkan) zakat yang dulu mereka membayarkannya kepada Rasulullah, pasti aku memerangi  mereka seorang diri.” Maka ayat ini lebih utama untuk Abu Bakar  Radhiallahu `anhu.

6. Rafidhi tersebut melanjutkan argumennya, “Sesungguhnya Allah Ta`ala berfirman:”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara sembunyi dan terang-terangan” (Al-Baqoroh:274).
Ayat ini turun tentang perihal Ali alaihi salam. Dia memiliki empat dinar. Satu dinar dia nafkahkan di malam hari, satu dinar dia nafkahkan di siang hari, satu dinar secara sembunyi-sembunyi dan satu dinar dengan terang-terangan. Maka turunlah ayat ini.”

Ja`far Ash-Shadiq menjelaskan,”Abu Bakar memiliki yang lebih utama lagi di dalam Al-Qur`an. Allah berfirman (dalam surat Al-Lail): “Demi malam apabila menutupi -ini adalah sumpah Allah— Dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). —Ia adalah Abu Bakar— Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah —Ia adalah Abu Bakar— Yang menafkahkan hartanya (dijalan Allah) untuk membersihkannya —Ia adalah Abu Bakar— Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya—ia adalah Abu Bakar. Dia telah menafkahkan untuk (dakwah Rasulullah) sebanyak 40 ribu, sehingga beliau bersuka cita. Kemudian turunlah  Jibril alaihi salam memberi kabar bahwa”Allah yang Maha Tinggi dan Luhur memberi salam untukmu dan Dia berkata bacakan juga kepada Abu Bakar salam dariku, dan katakan kepadanya: Apakah engkau rela kepada Allah dalam kefakiranmu ini ataukah tidak suka.

Abu Bakar menjawab, “Apa mungkin aku marah (tidak suka) kepada Rabb-ku ? Aku ridha kepada Rabbku , Aku ridha kepada Rabbku, dan berjanji untuk membuatnya ridha (senang dan puas).”

7. Rafidhi itu berkata,”Sesungguhnya Allah berfirman,”Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan  dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah.” (At-Taubah: 19) Ayat ini turun tentang perihal Ali.

Maka Ja`far Ash-Shadiq mengatakan,”Abu Bakar memiliki yang lebih afdhal di dalam Al-Qur`an. Dia berfirman,”Tidak sama diantara kamu orang yang  menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah), mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik” (Al-Hadid:10). Adalah Abu Bakar orang yang pertama kali menafkahkan hartanya hartanya untuk Rasulullah, orang yang pertama kali berperang dan yang pertama berjihad.

Orang-orang Musyrik berdatangan memukuli Nabi shalallahu `alaihi wasallam sampai berdarah. Begitu Abu Bakar mendengar berita itu dia langsung berlari mendatangi, lalu dia berkata,”Celaka kalian. Apakah kalian akan membunuh orang yang mengatakan Rabb-ku adalah Allah, padahal dia telah membawa bukti-bukti yang jelas dari Tuhan kalian?!” Maka mereka meninggalkan Nabi dan berbalik memukuli  Abu Bakar hingga tidak jelas antara hidung dan wajahnya. Dia adalah orang yang pertama berjihad di jalan Allah dan orang yang pertama

yang berperang bersama Rasulullah, serta orang yang menafkahkan hartanya. Rasulullah telah bersabda,”Tidak ada harta yang bermanfaat bagiku seperti manfaatnya harta Abu Bakar.”

8. Rafidhi terus berkata: “Sesungguhnya Ali tidak pernah menyekutukan Allah walau sekejap mata”
Maka Ja`far Ash-Shadiq menjawab,”Sesungguhnya Allah telah memuji Abu Bakar dengan pujian  yang telah mencukupi dari segala-galanya. Allah berfirman:”Dan orang yang membawa kebenaran —ia adalah Muhammad— Dan yang membenarkannya —Ia adalah Abu Bakar.— Mereka itulah orang-orang yang bertakwa (Az-Zumar :33). Semua orang berkata kepada Nabi, “Engkau adalah dusta”, sedangkan Abu Bakar, hanya dia yang berkata , “Engkau benar.” Maka turunlah ayat ini berkenaan dengannya, ayat tashdiq (pembenaran) secara khusus, maka Abu Bakar adalah orang yang takwa (taqiy), bersih (naqiy), yang diridhoi(mardhi), yang ridha(radhiy), yang adil (`adl), penegak keadilan (mu`addil) dan yang menepati janji(wafiy).

9. Rafidhi itu kemudian berkata,”Sesungguhnya mencintai Ali adalah fardhu (kewajiban) menurut ketetapan Allah :”Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan” (Asy-Syura:23).

Ja`far Ash-Shadiq mengatakan bahwa Abu Bakar pun memiliki seperti itu, Allah berfirman,” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo`a,`Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang`(Surat Al-Hasyr:10).
Abu Bakar adalah orang yang lebih dulu membawa iman, maka istighfar untuknya adalah wajib dan mencintainya adalah fardhu serta membencinya adalah kufur.

10. Rafidhi berkata:”Sesungguhnya Nabi bersabda “Hasan dan Husain keduanya adalah sayyid (pemuka) pemuda Ahli surga dan bapak mereka berdua lebih baik dari keduanya.

Ja`far Ash-Shadiq berkata kepadanya,”Bagi Abu Bakar disisi Allah ada keutamaan yang melebihi itu, aku diberitahu oleh bapakku, dari kakekku, dari Ali bin Abu Thalib, dia berkata: “Saya ada disamping rasulullah, tidak ada orang lain selain aku. Tiba-tiba muncullah Abu Bakar dan Umar, maka Nabi bersabda, “Hai Ali! kedua orang ini sayyid (pemuka) penduduk ahli surga, yang tua maupun yang muda, yang telah lewat dan yang terdahulu dari generasi awal maupun yang tersisa dan yang tinggal dari generasi belakangan, kecuali para Nabi. Jangan engkau beritahukan kepada keduanya Ali” Maka aku tidak memberitahukannya kepada siapapun hingga keduanya tiada (Hadist riwayat Abdullah bin Ahmad dalam al-Musnad; Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq jilid IX hal 307;At-Tirmidzi jilid IV hal310; Ibnu Majah no94. Diriwayatkan oleh banyak sahabat seperti Ali, Anas,Abu Juhaifah,Jabir dan Abu Said)

11. Rafidhi berkata,”Manakah yang lebih utama Fathimah putri Rasulullah ataukah Aisyah binti Abu Bakar?”
Ja`far Ash-Shadiq menjawab ,” Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yaa siin, Demi Al-Qur`an yang penuh hikmah, Haa miim, Demi Al-Kitab yang memberi penjelasan(nyata)”
Kemudian dia berkata,”Aku bertanya kepadamu, manakah yang lebih baik, Fathimah putri Rasulullah ataukah Aisyah binti Abu Bakar, apakah kamu membaca Al-Qur`an?”

Kemudian Ja`far melanjutkan, “Aisyah binti Abu Bakar adalah istri Rasulullah, ia akan bersamanya di surga, Sedangkan Fathimah putri Rasulullah adalah sayyidah (pemuka) wanita ahli surga. Yang mencela istri Rasulullah, mudah-mudahan dilaknat Allah dan yang membenci putri Rasulullah, mudah-mudahan dihinakan oleh Allah.

12. Maka Rafidhi menjawab, “Aisyah telah memerangi Ali, dan ia adalah istri Rasulullah”
Ja`far Ash-Shadiq menjelaskan, “Benar, celaka kamu! Allah ta`ala berfirman, “Dan tidak
boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah” (Surat Al-Ahzab:53).

13. Kemudian Rafidhi berkata,” Apakah khilafah Abu Bakar, Umar dan Ustman ada dalam Al- Qur`an?”

Ja`far Ash-Shadiq menjawab, “Ada, bahkan di dalam taurat dan Injil. Allah berfirman,”Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat (Al-An-`am:165).

Allah pun berfirman,”Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdo`a kepada Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. (An Naml:62)

Allah berfirman, “Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka”(An-Nur:55)

14. Rafidhi meminta kejelasan,”Wahai putra Rasulullah, lalu manakah khalifah mereka di dalam Taurat dan Injil?”

Ja`far Ash-Shadiq menjawab, “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya—dia adalah Abu Bakar—,”Keras terhadap orang-orang kafir—Dia adalah umar,””Berkasih sayang sesama mereka— Ia adalah Ustman,” Kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoanNya—ia adalah Ali— “Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”—ini adalah para sahabat Rasulullah—” Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil”(Lihat surat Al-Fath:29)

Rafidhi bertanya,”Apa yang dimaksud dalam Taurat dan Injil?”

Ja`far Ash-Shadiq menjawab, “Muhammad Rasulullah dan para khulafa sesudahnya Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.

Kemudian Ja`far Ash-Shadiq memukul dada Rafidhi! Dia berkata,”Allah Ta`ala berfirman,”Seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat—Abu Bakar—” Lalu menjadi besarlah ia—Umar—-“Dan tegak lurus di atas pokoknya—Ustman—” tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengan kekuatan orang-orang mukmin” —Ali bin Abu Thalib—,”Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar—inilah para sahabat secara keseluruhan. Semoga Allah meridhoi mereka, sungguh celaka kamu! Aku diberitahu bapakku dari kakekku dari Ali bin abu Thalib, Rasulullah bersabda,”Aku adalah orang yang pertama bangkit dari bumi, dan tidak ada kesombongan. Allah memberi kemudahan kepadaku dari hal-hal yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Kemudian Dia memanggil, “Dekatkan para khulafa sesudahmu” Maka aku berkata,”Ya Rabb! Siapakah khulafa itu?” Maka Dia berkata,”Abdullah bin Ustman Abu Bakar Ash Shiddiq” Maka orang yang pertama keluar dari tanah setelahku adalah Abu Bakar. Dia kemudian didirikan di hadapan Allah Ta`ala untuk dihisab dengan hisab yang ringan sekali (hisaban yasiiro), kemudian  dia diberi pakaian stelan berwarna hijau, kemudian didirikan didepan Arsy. Kemudian ada panggilan,”Man Umar bin Al-Khathtab?” Datanglah Umar dengan urat–urat leher masih mengalirkan darah. Dia bertanya, “Siapa yang telah berbuat seperti ini kepadamu?” Umar menjawab,”Budak Mughirah bin Syu`bah.” Dia lalu didirikan di hadapan Allah lalu dihisab dengan hisab sangat ringan dan diberi pakaian stelan warna hijau lalu didirikan dedepan Arsy. Kemudian didatangkan Ustman bin `Affan dengan urat-urat leher yang mengucurkan darah. Dia ditanya, “Siapa yang telah berbuat seperti ini kepadamu?” Maka dia menjawab,”Fulan bin fulan”  Dia lalu didirikan di hadapan Allah lalu dihisab dengan

hisab sangat ringan dan diberi pakaian stelan warna hijau lalu didirikan di depan Arsy. Kemudian didatangkan Ali bin Abu Thalib dengan urat-urat leher yang mengucurkan darah. Dia ditanya, “Siapa yang telah berbuat seperti ini kepadamu?” Maka dia menjawab Abdurrahman bin Muljam” Dia lalu didirikan di hadapan Allah lalu dihisab dengan hisab sangat ringan dan diberi pakaian stelan warna hijau lalu didirikan dedepan Arsy.”

15. Rafidhi tadi sekali lagi bertanya,”Apakah ini semua ada didalam Al-Qur`an, wahai putra Rasulullah?”
Ja`far Ash-Shadiq menegaskan, “Ya, Allah berfirman,” Dan didatangkan para Nabi dan syahid-syahid”—Abu bakar,Umar,Ustman,dan Ali—- “Dan diberi keputusan diantara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan (Surat Az-Zumar:69).

16. Akhirnya Rafidhi tadi bertanya,”Wahai putera Rasulullah, apakah Allah masih mau menerima taubat saya dari dosa-dosa saya yang telah memisahkan antara Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali?”

Ja`far Ash-Shadiq menjawab,” Tentu, pintu taubat selalu terbuka, maka perbanyaklah ishtigfar untuk mereka. Adapun jika sekiranya kamu mati dalam keadaan menyalahi mereka, maka kamu pasti mati diatas dasar selain fitrah Islam, dan amal-amalan orang kafir akan sirna tak tersisa.

Akhirnya orang tadi bertaubat, meninggalkan ucapan buruknya dengan taubat nashuha.

May 26, 2016

Ja’far ash-Shadiq Imam Ahlussunnah

Tokoh dari kalangan ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dicatut oleh Syiah sebagai tokoh sekte mereka, sebagai imam keenam dalam keyakinan Syiah Itsna Ayriyah, padahal jauh panggang dari api. Akidahnya sangat berbeda jauh dengan akidah sekte Syiah.

Nasab dan Kepribadiannya
Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib. Lahir di Madinah tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H, dalam usia 68 tahun.

Ash-Shadiq merupakan gelar yang selalu tersemat kepadanya, karena ia terkenal dengan kejujurannya dalam hadis, ucapan, dan tindakan. Ia tidak dikenal berdusta. Tidak hanya pada Syiah, gelar ini juga masyhur di kalangan umat Islam. Syaikhul Islam sering menyebutnya dengan gelar ini.

Laqob lain yang menempel pada Ja’far adalah al-imam dan al-faqih, karena memang ia adalah seorang ulama dan tokoh panutan dari kalangan ahlul bait. Namun yang membedakan keyakinan umat Islam dengan keyakinan Syiah, bahwa menurut umat Islam Ja’far ash-Shadiq bukanlah imam yang ma’shum, bebas dari kesalahan dan dosa.

Imam Ja’far ash-Shadiq dikarunia beberapa orang anak, mereka adalah Isma’il (dijadikan imam oleh Syiah Ismailiyah), Ismail adalah putra tertuanya, wafat pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup. Kemudia Abdullah, dari Abdullah inilah terambil kun-yah Ja’far, Abu Abdullah. Kemudian Musa, ia dijadikan oleh Syiah Itsna Asyriyah sebagai imam yang ketujuh setelah Ja’far. Kemudian Ishaq, Muhammad, Ali, dan Fatimah.

Ja’far dikenal sebagai seorang yang dermawan dan sangat murah hati. Sifat ini seakan warisan dan tradisi dari keluarga yang mulia ini. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling murah hati di antara keluarga ini.

Dalam hal kedermawanan, ia juga mewarisi sifat kakeknya Ali Zainal Abidin yang terkenal dengan bersedekah secara sembunyi-sembunyi. Kisah yang masyhur tentang Ali Zainal Abidin bahwa pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging, dan membawa uang dirham di atas pundaknya, lalu ia bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan dari kalangan orang-orang fakir dan miskin di Kota Madinah. Keadaan demikian tidak diketahui oleh orang-orang yang mendapat pemberiannya sampai ia wafat dan penduduk Madinah merasa kehilangan dengan sosok misterius yang senantiasa membagi-bagikan uang dan makanan di malam hari.

Perjalanan Keilmuannya
Ja’far ash-Shadiq menempuh perjalanan ilmiahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, seperti: Sahl bin Sa’id as-Sa’idi dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma. Dia juga berguru kepada tokoh-tokoh utama tabi’in seperti Atha bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, Urwah bin Zubair, Muhammad bin al-Munkadir, Abdullah bin Rafi’, dan Ikrimah maula Ibnu Abbas. Dia juga meriwayatkan dari kakeknya al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.

Mayoritas ulama yang ia ambil hadisnya berasal dari Kota Madinah. Mereka adalah ulama-ulama tersohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.

Adapun murid-muridnya yang paling terkenal adalah Yahya bin Sa’id al-Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as-Sikhtiyani, Ibnu Juraij, dan Abu Amr bin al-‘Ala. Demikian juga imam darul hijrah, Malik bin Anas al-Ashbahi, Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Tsabit al-Bunani, Abu Hanifah, dan masih banyak lagi.

Para imam hadis –kecuali Imam Bukhari- meriwayatkan hadis melalui jalurnya di kitab-kitab mereka. Sementara Imam Bukhari meriwayatkan hadis melalui jalurnya pada kita selain ash-Shahih.

Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepadanya:

Abu Hanifah mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih faqih daripada Ja’far bin Muhammad.”

Abu Hatim ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta’dil, 2: 487 berkata, “(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan kualitas orang sekaliber dia.”

Ibnu Hibban berkomentar, “Dia termasuk tokoh dari kalangan ahlul bait, ahli ibadah dari kalangan atba’ at-tabi’in, dan ulama Madinah.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan, “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahlussunnah” (Minhaju as-Sunnah, 2:245).

Demikian sebagian kutipan dari para ulama yang meuji kedudukan Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq.

Ja’far ash-Shadiq Tidak Mencela Abu Bakar dan Umar

Orang-orang Syiah bersikap berlebihan terhadap Ja’far ash-Shadiq. Mereka mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka ini hanyalah klaim sepihak saja. Buktinya, apa yang Ja’far ash-Shadiq yakini dan ia katakan sangat jauh berbeda dengan keyakinan-keyakinan Syiah.

Misalnya sikap Ja’far ash-Shadiq terhadap Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar al-Faruq. Besarnya kecintaan Ja’far kepada kedua tokoh Islam ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Abdul Jabbar bin al-Abbas al-Hamdani berkatam “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad menghampiriku saat hendak meninggalkan Madinah. Ia berkata, ‘Sesungguhnya kalian, insya Allah termasuk orang-orang shaleh di Madinah. Maka tolong sampaikan (kepada orang-orang), barangsiapa yang menganggapku sebagai imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa yang menduga aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’,”

Ad-Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata, “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad saat ditanya tentang Abu Bakar dan Umar, ia berkata, ‘Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah-buahan surga?’”

Pernyataan Ja’far ini sangat jelas bertolak belakang dengan keyakinan orang-orang Syiah yang mencela dan memaki Abu Bakar dan Umar serta mayoritas sahabat lainnya dan menjadikan hal itu sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ja’far ash-Shadiq tidak mungkin mencela mereka. Ibunya, Ummu Farwa adalah putri al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Sementara neneknya dari jalur ibunya adalah Asma’ binti Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Apabila anak-anak Abu Bakar ini adalah paman-pamannya dan Abu Bakar sendiri adalah kakeknya dari dua sisi, maka sulit dibayangkan seorang Ja’far ash-Shadiq yang berilmu dan shaleh ini melontarkan cacian dan makian kepada kakeknya, Abu Bajar ash-Shiddiq.

Klaim Bohong Syiah
Pada masa Ja’far, bid’ah al-Ja’d bin Dirham dan pengaruh Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum muslimin terpengaruh dengan akidah Alquran sebagai makhluk, akan tetapi Ja’far bin Muhammad mengatakan, “Bukan Khaliq (pencipta), bukan juga makhluk, tetapi kalamullah.” Akidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syiah yang mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman akidahnya, Alquran adalah makhluk.

Artinya prinsip akidah yang dipegangi oleh Ja’far ash-Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahlussunnah wal Jamaah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya.

Ibnu Taimiyah berkata, “Syiah Imamiyah (Itsna Asyriyah), mereka berselisih dengan ahlul bait dalam kebanyakan pemahaman akidah mereka. Dari kalangan imam ahlul bait seperti Ali bin Husein, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, dll. tidak ada yang mengingkari keyakinan melihat Allah di hari kiamat, tidak ada yang meyakini Alquran adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak ada yang mengakui imam yang dua belas adalah ma’shum atau mencela Abu Bakar dan Umar.”

Orang-orang Syiah juga berdusta dengan meyakini bahwa Ja’far ash-Shadiq adalah imam yang kekal abadi, tidak akan pernah mengalami kematian. Hingga saat ini, menurut mereka Ja’far ash-Shadiq telah menulis banyak karya untuk mendakwahkan ajaran Syiah. Di antara buku yang diklaim Syiah sebagai karya Imam Ja’far adalah Rasailu Ikhwani ash-Shafa, al-Jafr (buku yang memberitakan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi), ‘Ilmu al-Bithaqah, Ikhtilaju al-A’dha, Qiraatu al-Quran fi al-Manam, dll.

Sebuah prinsip yang harus kita pegang adalah kita tidak menerima suatu perkataan pun dari Ja’far ash-Shadiq dan imam-imam yang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, diriwayatkan dari orang-orang yang terpercaya, dan didukung dalil, maka baru perkataan tersebut bisa kita terima. Dan yang perlu diketahui, pada masa hidup Ja’far ash-Shadiq adalah masa-masa yang kering dari karya tulis (80-148 H).

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Syariat mereka (Syiah) tumpuannya berasal dari riwayat sebagian ahlul bait seperti Abu Ja’far al-Baqir, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, dan lainnya. Tidak diragukan lagi, mereka (yang dijadikan Syiah sebagai tumpuan riwayat) adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam-imam umat ini. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan oleh orang-orang seperti mereka. Namun sayang, banyak nukilan dusta banyak disematkan kepada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kapasitas dalam hal periwayatan. Mereka layaknya ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), semua riwayat-riwayat yang mereka jumpai dalam buku-buku mereka, langsung mereka terima (tanpa selesksi). Berbeda dengan Ahlussunnah, mereka mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam ilmu periwayatan, sebagai piranti untuk membedakan mana kabar yang benar dan kabar yang dusta.” (Minhaj as-Sunnah, 5: 162).

Diadaptasi dari muqoddimah tahqiq kitab al-Munazharah (Munazharah Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq ma’a ar-Rafidhi fi at-Tafdhili Baina Abi Bakr wa ‘Ali) karya Imam al-Hujjah Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, tahqiq Ali bin Abdul Aziz al-Ali Alu Syibl.
Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 05/X/1427H/2006M

ABDULLAH BIN SABA’ BUKAN TOKOH FIKTIF

Oleh
Muhammad Ashim bin Musthafa

Para ahli hadits dan para penulis kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil, [1] para penulis sejarah serta penulis kitab-kitab tentang aliran-aliran telah sepakat tentang keberadaan tokoh keturunan Yahudi ini, dia ialah Abdullah bin Saba, yang juga berjuluk Ibnu Sauda.

Peran yang ia mainkan telah menanamkan bibit kerusakan di kalangan orang-orang munafiqin dan orang-orang sukuisme serta orang-orang yang di dalam hatinya berakar hawa nafsu dan keinginan-keinginan buruk lainnya. Andullah bin Saba memperlihatkan keislamannya pada masa kekhilafahan Utsman. Dia juga mempertontonkan pribadi yang shalih, kemudian berusaha menjalin kedekatan dengan Ali.

SIAPAKAH ABDULLAH BIN SABA?

Jati diri Abdullah bin Saba diperselisihkan. Ada sebagian ulama tarikh yang menisbatkannya ke suku Himyar. Sementara Al-Qummi memasukkannya ke dalam suku Hamadan. Adapun Abdul Qahir al-Baghdadi menyebutnya berasal dari kabilah Al-Hirah. Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat, Ibnu Saba berasal dari Rumawi. Tetapi Ath-Thabari dan Ibnu Asakir menyebutnya berasal dari negeri Yaman.

Syaikh Abdullah Al-Jumaili menyatakan bahwa dirinya condong kepada pendapat yang terakhir. Dalihnya, pendapat ini mengakomodasi mayoritas pendapat tentang negeri asal Ibnu Saba. Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama (ia berasal dari suku Al-Himyar), juga dengan pendapat kedua (ia berasal dari suku Hamadan). Pasalnya, dua kabilah ini berasal dari Yaman. Sementara pendapat Ibnu Katsir dan Al-Baghdadi tidak sejalan. [2]

Perbedaan pendapat ini muncul lantaran keberadaan dirinya yang sengaja ia rahasiakan, sampai orang-orang yang sezaman dengannya pun tidak mengenalnya, baik nama maupun negeri asalnya. Sengaja ia sembunyikan identitas dirinya, karena ia memiliki rencana rahasia, yaitu ingin berbuat makar terhadap Islam. Dia tidaklah memeluk Islam, kecuali untuk mengelabui, karena ia ingin menggerogoti Islam dari dalam.

Salah satu bukti yang menunjukkan ia sengaja menutup diri, yaitu jawaban yang diberikan kepada Abdullah bin Amir. Tatkala ia ditanya oleh Abdullah bin Amir tentang asal usulnya, Abdullah bin Saba menjawab : “(Aku) adalah seorang lelaki dari ahli kitab yang ingin memeluk Islam, dan ingin berada disampingmu”.

MAKAR IBNU SABA
Abdullah bin Saba mengunjungi banyak negeri Islam. Dia berkeliling sambil menghasut kaum muslimin, agar ketaatan mereka kepada para penguasa meredup. Ia memulai dengan masuk negeri Hijaz, Bashrah, Kufah. Setelah itu menuju Damaskus. Namun di kota terakhir ini, ia tidak berkutik. Penduduknya mengusirnya dengan segera. Lantas Mesir menjadi tujuan selanjutnya dan ia menetap disana.

Langkah berikutnya, ia melakukan korespondensi dengan orang-orang munafiqin, memprovokasi para pendengki yang membenci Khalifah kaum muslimin. Banyak yang terperdaya, hingga kemudian mendukungnya. Dia hembuskan pemahaman yang ngawur kepada para pendukungnya itu. Dia berhasil menancapkan semangat untuk memberontak dan tidak taat di kalangan sebagian kaum muslimin. Sehingga mereka bertekad membunuh Khalifah Utsman. Khalifah yang ketiga, menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para pengikut sang penghasut ini tidak menghormati kemulian kota Madinah. Mereka tidak menghormati kemulian bulan yang mulia. Juga tidak menghormati orang yang sedang membaca Al-Qur’an. Khalifah Utsman mereka bunuh saat sedang membaca Al-Qur’an.

Sepak terjang Abdullah bin Saba sangat nyata terekam sejarah. Namun ada saja yang mengingkari keberadaannya, dan menganggap Ibnu Sauda hanyalah tokoh dongeng atau fiktif. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Ammar bin Yasir. Kalau pendapat itu keluar dari orang Syi’ah atau para orientalis, tentu hal yang lumrah. Akan tetapi, anehnya, di antara yang menetapkan demikian ini ternyata orang-orang yang mengaku beragama Islam.

CENDEKIAWAN MUSLIM YANG MENGINGKARI KEBERADAAN ABDULLAH BIN SABA
Ada beberapa pemikir muslim yang menganggap bahwa Abdullah bin Saba hanyalah tokoh fiktif belaka, sehingga mereka mengingkari keberadaan Ibnu Saba. Di antara pemikir-pemikir tersebut ialah Dr Thaha Husain. Dia sangat dikenal sebagai corong orientalis. Pengingkarannya tentang keberadaan Ibnu Saba ini, ia tuangkan ke dalam tulisannya yang berjudul : Ali wa Banuhu dan Al-Fitnah Al-Kubra. Dalam tulisannya ini, ia benar-benar telah memenuhi otaknya dengan pemikiran orientalis, sampai-sampai ia mengatakan : “Aku berfikir dengan kerangka budaya Perancis dan menulisnya dengan bahasa Arab”.

Tokoh ini telah dijadikan sebagai kendaraan yang dimanfaatkan oleh Yahudi di Mesir untuk mengibarkan bendera Yahudi Internasional. Bersama para propagandis sosialisme di Mesir, ia menerbitkan majalah Katib Mishri. Sejak awal dia juga telah mengumumkan dukungannya terhadap pemikiran Yahudi Talmudiyyah ; yakni salah satu gerakan Yahudi yang mendustakan keberadaan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Al-Qur’an dan Taurat. Sebuah gagasan yang bagi seorang orientalis kafir tidak berani mengatakannya.

Tentang Ibnu Saba (Ibnu Sauda), Dr Thaha Husain menyatakan, bahwa ihwal tentang Sabaiyyah dan perintisnya Ibnu Sauda, cerita tentang mereka hanyalah sekedar dipaksakan, dibuat skenarionya tatkala terjadi perdebatan atara Syi’ah dan golongan lainnya. Para seteru Syi’ah ingin memasukkan unsur Yahudi ke dalam prinsip keagamaan Syi’ah, sebagai usaha untuk lebih mantap dalam mematahkan dan mengganggu mereka …[3]

Selain Dr Thaha Husain, ada tokoh lain yang juga mengingkari adanya Abdullah bin Saba. Yaitu Dr Hamid Hafni Dawud, Dekan Jurusan Bahasa Arab Universitas Ain Syams. Dia seorang aktifis gerakan penyatuan Islam dengan Syi’ah. Sehingga tidak mengherankan jika ia berkata : “Sesungguhnya, cerita tentang Ibnu Saba (merupakan) salah satu dari kesalahan sejarah yang lolos dari penelitian para pakar sejarah dan menjadi sentral pemikiran mereka. Mereka itu sebenarnya tidak paham dan tidak mampu mencernanya. Ini adalah berita-berita buatan yang dipalsukan atas nama Syi’ah, sehingga mereka melekatkan kisah Abdullah bin Saba pada mereka (Syi’ah) dan menjadikannya sebagai cara untuk mendiskkreditkannya” [4]

Sederat nama berikut, memiliki pandangan yang sama. Mereka ialah : Muhammad bin Jawad Maghnia, Murtadha Al-Askari, Dr Ali Wardi, Dr Kamil Musthafa Asy-Syibi, Dr Abdullah Fayyad, Thalib Ar-Raifa’i. mereka adalah pemikir-pemikir yang mengingkari kebenaran adanya Ibnu Saba. Mereka menyatakan, Ibnu Saba adalah tokoh dongeng yang hakikatnya tidak ada dalam dunia nyata.

Secara khusus Dr Fayyadh mengatakan : “Terlihat dengan jelas bahwa Ibnu Saba tidak lebih hanya sekedar cerita tokoh fiktif belaka dalam dunia nyata. Sepak terjangnya kalau benar ia mempunyai andil terlalu dilebih-lebihkan lantaran berbagai motivasi agama dan politis. Dan bukti-bukti lemahnya cerita tentang Ibnu Saba sangat banyak” [5]

Sesungguhnya keberadaan Ibnu Saba ini tidak hanya ditulis dalam kitab-kitab ahli sunnah, bahkan juga direkam di dalam buku-buk Syi’ah.

Walaupun ada ulama Syi’ah sekarang ini mengingkarinya, lantaran telah mengetahui kebobrokan aqidah Ibnu Saba yang sudah banyak menyelinap di berbagai pecahan kelompok Syi’ah.

Diantara kitab-kitab karya ulama Syi’ah yang mengungkap keberadaan Abdullah bin Saba ialah kitab Risalah Al-Irja (karya Al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyah), Al-Gharat (Abu Ishaq Ibrahim bin Muhamamd Sa’id Al-Asfahani), Al-Maqalatu wal Firaq (Sa’ad bin Abdillah Al-Qummi), Firaqu Asy-Syi’ah (Muhammad Al-Hasan bin Musa An-Nubakhti) Rijalu Al-Kisysyi (Abu Amr Muhammad bin Umar Al-Kisysyi), Rijalu Ath-Thusi (Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Ath-Thusi), Syarah Ibni Abil Hadid li Nahji Al-Balaghah (Izzudin Abu Hamid Abdul Hamid bin Hibatullah yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Abil Hadid Al-Mu’tazili Asy-Syi’i, Ar-Rijal (Al-Hasan bin Yusuf Al-Hilli), Raudhatul Jannat (Muhammad Baqir Khawansari), Tanqihul Maqal fi Ahwali ar-Rijal (Abdullah Al-Mamqani), Qamusu Ar-Rijal (Muhammad Taqiyyi At-Tustari), Raudhatush Shafa, sebuah buku sejarah tentang Syi’ah yang ditulis dengan bahasa Parsi. Ini sebagian buku-buku Syi’ah yang meyinggungnya.

Demikian pandangan tokoh-tokoh yang menyatakan Abdullah bin Saba sekedar tokoh fiktif. Seolah-olah mereka tidak melupakan kitab-kitab Ahli Sunnah yang dipercaya. Demikian juga, seolah-olah mereka buta terhadap referensi-referensi kitab Syi’ah yang menjadi rujukan, yang mengandung kisah tentang Ibnu Saba, aqidah dan klaim-klaimnya yang didustakan oleh Ali, Ahlul Bait serta berlepas diri dari mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Kitab tentang studi kritis perawi hadits
[2]. Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahati Ar-Rafidhah Lil Yahud karya Abdullah Al-Jumaily Maktabah Al-ghuraba Al-Atsaiyyah Madinah Munawwarah cet. III Thn.1419H/1999M
[3]. Ali wa Banuhu, karya Dr Thaha Husain, dinukil dari kitab Ibnu Saba Haqiatun La Khayal, karya Dr Sa’di Al-Hasyimi
[4]. At-Tasyayu Zhahiratun Thabi’iyyah fi Ithari Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, hal. 18 dinukil dari kitab Ibnu Saba Haqiatun La Khayal, karya Dr Sa’di Al-Hasyimi
[5]. Tarikhul Imamiyyah wa Aslafahim Minsy Syi’ah, hal.92-100

May 23, 2016

11 Peristiwa Bersejarah Islam di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan tidak sebatas sebagai bulan suci bagi umat Muslim. Dalam sejarah Islam, sejumlah peristiwa besar yang sangat menentukan dan bermakna bagi umat Muslim terjadi di bulan ini. Sedikitnya, ada 11 peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam, baik klasik ataupun modern. Apa sajakah peristiwa-peristiwa tersebut?

Berikut 11 Peristiwa Bersejarah Islam di Bulan Ramadhan.

1. Pembebasan Makkah (Fathul Makkah)


Apa itu Fathul Makkah? Peristiwa Fathul Makkah adalah sebuah peristiwa di mana akhirnya Nabi Muhammad dan para sahabat berhasil menguasai Makkah dan menghancurkan berhala-berhala di sekitarnya. Sehingga Ka’bah kembali suci. Peristiwa ini bermula dari perjanjian Hudaibiyah tahun 628 M. Ini adalah perjanjian antara kaum muslimin dan kaum Quraisy. Perjanjian ini terjadi ketika satu rombongan yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad hendak melaksanakan haji di Baitullah. Namun, pihak Quraisy melihatnya sebagai sebuah ancaman. Jika orang-orang dari Madinah, yang notabene adalah rival dari kafir Quraisy datang ke Makkah, maka apa tanggapan orang-orang nanti? Untuk itulah, pemuka-pemuka Quraisy dengan segala daya upaya menyusun sebuah strategi, yaitu mengikat kaum muslimin dalam suatu perjanjian agar tidak dapat leluasa mengunjungi Makkah. Dan terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Ketakutan kaum kafir Quraisy ini wajar muncul, sebab setelah Nabi saw dan beberapa ratus sahabat hijrah dari Makkah menuju Yatsrib (Madinah), antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy hampir selalu terjadi peperangan yang tak terelakkan. Dalam pengepungan selama 20 hari oleh 10 ribu pasukan Quraisy terhadap Madinah pada tahun 627 M, Nabi Muhammad saw dan 3.000 umat Islam berhasil mempertahankan Madinah.

Isi perjanjian Hudaibiyah antara lain:
  • Pertama, gencatan senjata selama sepuluh tahun
  • Kedua, orang Islam dibenarkan memasuki Makkah pada tahun berikutnya, tinggal di sana selama tiga hari saja dengan hanya membawa sebilah senjata.
  • Ketiga, bekerja sama dalam perkara yang membawa kepada kebaikan.
  • Keempat, orang Quraisy yang lari ke pihak Islam harus dikembalikan ke Makkah.
  • Kelima, orang Islam yang lari ke Makkah tidak dikembalikan ke Madinah,
  • keenam, kedua belah pihak boleh membangun kerja sama dengan kabilah lain tapi tidak boleh membantu dalam hal peperangan.
Akhirnya pada tahun 630 tepatnya pada tanggal 10 Ramadan 8 H, Nabi Muhammad beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Makkah, dan kemudian menguasai Makkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikit pun, sekaligus menghancurkan berhala yang ditempatkan di dalam dan sekitar Ka’bah.

2. Bulan Diturunkan Alquran

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Alquran: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)…” (QS Al Baqarah: 185)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah SWT memuji Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al-quran yang agung”. Sebagaimana Allah mengkhususkan Ramadan sebagai bulan diturunkannya Alquran, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadits bahwa pada bulan Ramadhan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw.

Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya meriwayatkan: “Lembaran-lembaran (shuhuf) Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan, sedang Alquran diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan.” (HR. Ahmad dalam Musnad, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 1575)

3. Peristiwa Perang Badar


Pada hari Jumat 2 Ramadhan tahun ke-2 H terjadi perang pertama dalam Islam yang dikenal Perang Badar. Badar adalah nama tempat di sebuah lembah yang terletak di antara Madinah dan Makkah. Tentara Islam mengontrol lokasi strategis dengan menguasai sumber air yang ada di daerah tersebut.

Perang ini melibatkan tentara Islam sebanyak 313 anggota berhadapan dengan 1.000 tentara musyrikin Makkah yang lengkap bersenjata. Dalam perang ini, tentara Islam memenangkan pertempuran dengan 70 tentara musyrikin terbunuh, 70 lagi ditawan. Sisanya melarikan diri.

Perang ini adalah suatu yang luar biasa ketika tentara Islam yang kurang jumlah, lemah dari sudut kelengkapan dan berpuasa dalam bulan Ramadan memenangkan pertempuran Perang Badar. Ini membuktikan puasa bukan penyebab umat Islam bersikap lemah dan malas sebaliknya berusaha demi mencapai keridhaan Allah. Orang yang berjuang demi mencapai keridhaan Allah pasti mencapai kemenangan yang dijanjikan.

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS Al-Imran:123)

4. Islam Masuk ke Yaman

Yaman terletak di selatan semenanjung tanah Arab. Nabi Muhammad mengutus Ali bin Abi Thalib dengan membawa surat beliau untuk penduduk Yaman khususnya suku Hamdan. Dalam periode satu hari, semua mereka memeluk agama Islam secara aman. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-10 hijrah.

5. Khalid bin Walid Meruntuhkan Berhala Al ‘uzza


Setelah umat Islam membebaskan kota Makkah, Nabi Muhammad saw menyucikannya dengan memusnahkan 360 patung di sekeliling Ka’bah. Lima hari sebelum berakhirnya Ramadhan tahun ke-9 H, Rasulullah mengirim Khalid bin Walid untuk memusnahkan patung al ‘Uzza di Nakhla. Menurut kepercayaan Arab jahiliyah, al ‘Uzza adalah patung dewi terbesar di daerah tersebut. Khalid bin Walid melaksanakan tugas itu dengan bergerak menuju ke Nakhla lalu menghancurkan patung al ‘Uzza. Setelah itu, penyembahan patung pun berakhir.
6. Penyerahan Kota Taif

Kota Taif pernah mencatat sejarah ketika penduduknya mengusir Nabi Muhammad saw saat berdakwah di sana. Setelah beliau dan umat Islam berhasil membebaskan Makkah, kaum Bani Thaqif bersikeras tidak mau tunduk kepada Nabi Muhammad.

Nabi muhammad dan tentara Islam lalu maju ke Taif dan mengepungnya dalam waktu lama. Akhirnya kaum Bani Thaqif datang ke Makkah di bulan Ramadan tahun ke-9 H dengan menyerahkan kota Taif sebagai tanda menyerah.

7. Pembebasan Andalusia (Spanyol)


Andalus adalah nama Arab yang diberikan kepada wilayah-wilayah bagian semenanjung Liberia yang diperintah oleh orang Islam selama beberapa waktu mulai tahun 711 sampai 1492 M. Pada 28 Ramadan tahun ke-92 H, panglima Islam bernama Tariq bin Ziyad dikirim pemerintahan Bani Umayyah untuk menawan Andalus.

Tariq memimpin armada Islam menyeberangi laut yang memisahkan Afrika dan Eropa. Setelah pasukan Islam mendarat, Tariq membakar kapal-kapal tentara Islam agar mereka tidak berpikir untuk mundur. Akhirnya pasukan Tariq berhasil menguasai Andalus dan menyelamatkan rakyat Andalus yang dizalimi. Islam bertapak di Andalus selama delapan abad.

8. Peperangan Zallaqah di Portugal

Peristiwa ini terjadi setelah subuh hari Jumat, bulan Ramadan tahun 459 H. Ketika itu, terjadi kebangkitan dinasti Murabit di Afrika Utara. Gubernur Cordova, Al Muktamin meminta bantuan Sultan Dinasti Murabit, Yusuf bin Tasyifin untuk memerangi Alfonso VI.

Tentara yang dipimpin oleh Alfonso VI yang berjumlah 80.000 tentara berhasil dikalahkan. Dalam waktu yang singkat Sultan Yusuf berhasil menguasai seluruh Spanyol dan menyelamatkan umat Islam. Setelah itu, Dinasti Murabit di Spanyol berdiri sejak 1090 sampai 1147 M.

9. Tentara Islam Mengalahkan Tentara Mongol


Pada tahun 126 sampai 1405 M, kaum Mongol melebarkan penaklukannya hampir semua benua Asia. Menurut sejarah, kekaisaran penaklukan mereka seluas 33 juta kilometer persegi. Jenderal tentara Mongol dikenal sebagai Genghis Khan. Dalam misi penaklukan itu, mereka membunuh lebih sejuta rakyat negara yang dikalahkan. Penaklukan mereka menjangkau sampai ke Moscow dan Kiev.

Pada tahun 1258, tentara pimpinan jenderal Hulagu Khan menyerbu kota Baghdad yang menjadi kemegahan Dinasti Abbasiah. Dalam serangan itu, banyak umat Islam terbunuh dan banyak buku karangan sarjana Islam dibuang ke dalam Sungai Eufrat dan Dajlah sehingga airnya menjadi hitam karena tinta. Pada 15 Ramadan 658 H bersamaan 1260 M, tentara Islam bangkit membuat serangan balas. Tentara Islam dan para ulama pimpinan Sultan Qutuz dari dinasti Mamluk, Mesir menyerbu ke Palestina setelah Mongol menguasainya. Kedua pihak bertemu di Ain jalut. Terjadilah Perang Ain Jalut.

Dalam pertempuran itu, tentara Islam meraih kemenangan dan berhasil menawan Kitbuqa Noyen, penasihat Hulagu Khan yang menasihatinya untuk menyerang Baghdad. Kitbuqa akhirnya dieksekusi. Kemenangan itu adalah suatu yang luar biasa saat Mongol yang terkenal dengan kekerasan akhirnya kalah pada tentara Islam.

10. Peperangan Yakhliz


Pada 15 Ramadan 1294 H, tentara Islam dari Dinasti Ottoman yang dipimpin oleh Ahmad Mukhtar Basya dengan jumlah 34.000 anggota mengalahkan tentara Rusia yang berjumlah 740.000. Sebanyak 10.000 tentara Rusia tewas dalam pertempuran itu. Ia menjadi kebanggaan umat Islam mempertahankan agama yang diancam oleh pemerintah Tzar di Rusia.

11. Direbutnya Garis Bar Lev, Israel


Dalam sejarah modern, terjadi Perang Yom Kippur yang melibatkan tentara Islam (Mesir dan Syria) dengan tentara Israel pada 10 Ramadan 1390 H bertepatan dengan 6 0ktober sampai 22 atau 24 Oktober 1973 M. Perang Yom Kippur, juga dikenal sebagai perang Arab-Israel 1973, Perang Oktober, dan Perang Ramadan.
Ia adalah bagian dari konflik Arab-Israel sejak dari tahun 1948. Pada bulan Juni 1967, terjadi perang enam hari antara Israel dengan Mesir, Syria dan Yordania. Dalam pertempuran itu, Israel berhasil menduduki bukit Golan, Syria, di utara dan semenanjung Sinai, Mesir, di selatan hingga ke kanal Suez. Setelah itu, Israel membangun barisan pertahanan di Sinai dan bukit Golan. Pada tahun 1971, Israel mengalokasikan USD 500 juta untuk membangun benteng dan kerja tanah raksasa yang dinamai Garis Bar Lev, mengambil nama jenderal Israel, Haim Ber Lev.

Tentara Islam berhasil merebut benteng itu sekaligus mengalahkan Israel. Antara peristiwa menarik dalam perang ini adalah peran seorang sarjana Islam merangkap sebagai Imam Masjid kota Suez, Syeikh Hafiz Salamah yang memimpin peperangan.