adsense

August 31, 2010

Hukum Makan Ketika Adzan Shubuh

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.

Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
"Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai."[1]

Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?

Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh

Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.

Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.[2]

Pemahaman Hadits

Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.

Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.

Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,

“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)

Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,

وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
“Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.” Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh. Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”[3]

Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”[4]

Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.

Pendukung dari Atsar Sahabat

Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.

ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian yakin waktu shubuh telah masuk.”

ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih ragu-ragu.”

وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”[5]

Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,

هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن
“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”[6]

Sikap Lebih Hati-Hati

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”

Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”[7]

Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.”[8]

Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.

Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

August 30, 2010

Mukjizat Qiyam

Qiyam adalah aktivitas ibadah shalat di malam hari. Shalat harus dilakukan dengan berdiri (qiyam). Di bulan Ramadhan, shalat taraweh disebut qiyamullail (berdiri di malam hari), sedangkan di luar Ramadhan adalah shalat tahajjud. Hakikat Qiyam adalah bangun dan tegak lurus sambil berdiri beribadah kepada Allah. Jika di siang hari kita melakukan Shiyam atau manajemen syahwat, maka di malamnya kita dilatih untuk Qiyam. Jika makna di balik kata Shiyam itu adalah manajemen syahwat, maka di balik kata Qiyam dapat pula kita maknai sebagai manajemen ibadah.

Terdapat tiga prinsip dasar dalam memaknai Qiyam dalam arti manajemen ibadah. Pertama, tegak lurus berdiri beribadah kepada Allah. Kedua, kesiapan diri meluruskan dan menyatukan semua orientasi hidup dan aktvitas hidup kita dari bermacam-macam menjadi hanya kepada Allah dan untuk Allah semata. Inilah inti komitmen yang selalu kita ucapkan waktu membaca doa iftitah dalam shalat [QS. Al-An’am (6) : 161-163]. Ketiga, memenej ibadah berdasarkan aturan, sistem dan ketentuan Allah, baik tujuannya, caranya maupun skala prioritasnya.

Mukjizat ibadah Ramadhan akan kita rasakan jika berbagai ibadah tersebut kita menej dan kerjakan berdasarkan tiga prinsip dasar tersebut di atas. Sebab itu, ibadah Qiyam Ramadhan (shalat malam) adalah lambang kesiapan kita untuk berdiri dan mengemban semua amanah dan kewajiban yang Allah pikulkan ke pundak kita semasa kita hidup di dunia ini. Kita tidak punya pilihan kecuali memikulnya. Ini adalah bukti bahwa kita adalah hamba-Nya yang tidak punya daya dan upaya sedikitpun di hadapan kehendak dan kemauan-Nya.

Sesungguhnya kemauan yang kuat untuk memikul amanah dan kewajiban yang dibebankan Alllah kepada kita adalah sebuah kemuliaan dan keuntungan, bukan beban dan kerugian. Amanah memahami, mengamalkan dan memperjuangkan Al-Qur’an agar menjadi the way of life kita dan manusia lainnya; amanah sahalat, amanah pengorbanan dengan harta dan mencari solusi kesulitan ekonomi masyarakat dan berbagai amanah lainnya, seperti yang dijelaskan Allah dalam Kitab-Nya :

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, (29) agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (30) [QS. Fathir (35) : 29-30].

Qiyam Ramadhan adalah lambang kesiapan kita untuk selalu mengoreksi dan meluruskan orentasi hidup kita yang di siang hari bisa saja terpengaruh oleh berbagai godaan dan janji kosong setan dan dunia. Atau bisa juga disebabkan keras dan kejamnya sistem hidup yang ada dalam masyarakat dan pemerintahan yang ada sehingga hidup ini terasa amat sulit dan penuh kezaliman. Sebab itu, Ramadhan mengajarkan kita untuk mengoreksi dan meluruskan orienatsi hidup itu setiap malam. Targetnya adalah agar kita memiliki karakter yang kuat dalam menghadapi percaturan hidup ini sehingga orientasi hidup kita tetap terpelihara dan tidak condong serta mengarah kepada selain Allah. Karena, perubahan orientasi hidup kepada selain Allah, atau kecenderungannya kepada selain Allah akan mengakibatkan perubahan jalan hidup yang ditempuh. Inilah yang kita minta selalu dalam shalat fardhu maupun dalam Qiyam Ramadhan dan di luar Ramadhan :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
Tunjukilah kami ke jalan yang lurus (6), yaitu jalan orang yang tidak Engkau murkai (Yahudi) atas mereka, dan tidak pula jalan hidup orang yang tersesat (Nasrani) (7). [QS. Al-Fatihah (1) : 6 -7]

Sesunggunya perubahan orentasi hidup kepada selain Allah adalah kekufuran dan kemusyrikan yang akan menghancurkan kehidupan kita baik di dunia maupun di akhirat. Komitmen untuk tetap menjaga orentasi hidup hanya untuk Allah merupakan komitmen yang selalu kita ucapkan saat kita Qiyamullail dan juga shalat lainnya :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (162) Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). (163) [QS. Al-An’am (6) : 162–163]

Qiyam Ramadhan juga lambang kesiapan kita untuk mengikuti berbagai ibadah dan sistem hidup yang Allah syari’atkan berdasarkan tujuan atau niat, cara dan skala prioritas yang Allah tetapkan dan Rasulullah contohkan. Jangan ada satupun ibadah yang kita lakukan, baik fardhu maupun yang sunnah, baik yang fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah yang melenceng niatnya kepada selain Allah, seperti shalat untuk terhindar dari tekanan darah tinggi, shaum untuk mendapat langsing, infaq untuk menjadi kaya, qiyamullail agar berwibawa di hadapan manusia, menegakkan hukum Allah (syari’at Islam) untuk berkuasa dan sebagainya. Semua ibadah dan ketaatan harus ditujukan hanya mencari ridha Allah. Kebaikan-kebaikan yang muncul dalam diri dan dunia kita sebagai buah dari ibadah tak lain hanya bonus duniawi yang Allah berikan. Sebab itu, jangan tertipu oleh bonus-bonus duniawi itu, karena jika dibanding dengan imbalan akhirat berupa syurga-Nya, tentulah tidak ada artinya.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [QS. Al-Bayyinah (98) : 5]

Qiyam Ramadhan juga sarana pelatihan diri kita untuk melakukan semua ibadah sesuai dengan yang Allah syari’atkan dan Rasulullah ajarkan. Jangan sampai dalam melakukan ibadah, baik wajib maupun sunnah keluar kaifiyat (tata cara)-nya dari apa yang telah dicontohkan Rasul Saw.
Di samping itu, Qiyam Ramadhan mengajarkan kita untuk selalu mengikuti semua ibadah dan sistem hidup yang Allah syari’atkan dan Rasulullah contohkan berdasarkan urutan dan prioritas yang telah disyari’atkan-Nya. Jangan sampai melaksanakan shalat iedul fitri dan iedul adh-ha lebih semangat ketimbang shalat Jumat. Jangan sampai shalat taraweh lebih semangat kita kerjakan ketimbang shalat fardhu berjamaah di masjid lima kali dalam sehari semalam. Jangan sampai infaq lebih semangat kita lakukan ketimbang menunaikan zakat dan begitulah seterusnya.

Qiyam Ramadhan mengajarkan dan melatih kita untuk mendahulukan amal-amal yang wajib dari amal-amal yang sunnah dan yang fardhu a’in sebelum fardhu kifayah. Namun demikian, bukan berarti kita mencukupkan amal ibadah kita pada yang wajib saja dan tidak tertarik melakukan yang sunnah (nawafil). Keduanya harus kita kerjakan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh. Karena urutan untuk mencapai kedekatan dan kasih sayang Allah adalah dengan memulai amalan atau ibadah yang wajib (fardhu), kemudian diteruskan dengan yang sunnah. Dalam sebuah hadits qudsi dijelaskan :

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Sesungguhnya Allah berfirman: Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh aku umumkan perang atasnya. Dan tidak ada (jalan) yang dilakukan hamba-Ku dalam rangka mendekatkan diri pada-Ku lebih aku cintai selain dari apa yang Aku fardhukan atasnya. Apabila hamba-Ku terus menerus melakukan pendekatan diri (taqarrub) pada-Ku dengan amalan yang nawafil (sunnah) sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku yang menjadi pendengarannya bila ia mendengar, penglihatannya bila ia melihat, tangannya bila ia memukul, kakinya apabila ia berjalan dan apabila ia meminta pasti Aku kabulkan dan apabila ia meminta perlidungan pasti aku lindungi. Tidak ada sedikitpun Aku ragu melakukan apa saja seperti keraguan-Ku (mencabut) jiwa (nyawa) seorang Mukmin yang membenci kematian, sedangkan Aku tidak mau menyakitinya. (HR. Imam Bukhari).

Hadits Qudsi tersebut dengan tegas menyatakan bahwa :

Dalam melakukan ibadah kepada Allah atau menerapkan sistem hidup yang disyari’atkan-Nya kepada kita haruslah dengan prinsip prioritas. Sedangkan prinsip prioritas itu harus menurut Allah itu sendiri.

Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) harus dimulai dari apa yang Allah wajibkan pada kita, baik terkait dengan indifidu, rumah tangga, masyarakat maupun sisitem hidup dalam pemerintahan.

Untuk mendapatkan kasih sayang Allah (menjadi wali Allah), amal-amal yang bersifat sunnah seperti, shalat sunnah, shaum sunnah dan sebagainya, haruslah menjadi kebiasaan (habit) yang dilakukan tanpa mengenal waktu dan kondisi. Pelaksanaanya melekat dalam diri sama halnya dengan ibadah-ibadah fardhu lainnya.

Karena ibadah sunnah itu sangat banyak dan luas jangkauannya, maka setiap kita hendaklah memulai dari ibadah-ibadah sunnah yang Allah mudahkan dan kemudian dikembangkan kepada ibadah-ibadah sunnah lainnya. Setiap kita hendaklah mengetahui potensi diri kita terkait amal ibadah sunnah yang mungkin kita lakukan secara terus menerus (mudawamah), karena terus-menerus itu menjadi syarat mendapatkan kasih sayang Allah.

Apabila kita komitmen melaksanakan yang fardhu (wajib), kemudian diteruskan dengan amal iabadah yang sunnah secara kontinu, maka peluang kita meraih kasih sayang Allah sangatah besar. Atau dengan kata lain, peluang menjadi wali Allah sangat terbuka lebar.

Bila seorang Mukmin telah meraih kedekatan dan kasih sayang Allah, saat itulah ia menjadi wali Allah. Kemenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat akan menyertainya.

Pola penerapan ibadah seperti yang dijelaskan hadits Qudsi di atas adalah ajaran Rasul Saw. Rasulullah dan para Sahabatnya berhasil menerapkannya dalam kehidupan mereka. Sebab itu, mereka dijamin Allah meraih kebahagian dan kemenangan di dunia dan akhirat.

Kendati Rasulullah tidak bersama kita, namun dengan mukjizat Al-Qur’an dan ibadah Ramadhan yang selalu mengunjungi kita setiap tahun, insya Allah kita bisa meraih derajat taqwa seperti halnya para shahabat Rasul Saw. Amin..