adsense

May 05, 2020

Hamzah bin Abdul Muththolib Singa Alloh dan Panglima Syuhada'_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 17)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala


Kota Mekkah masih mendengkur nyenyak dalam tidur malamnya, setelah siangnya lelah oleh segala macam usaha, kerja keras, kesibukan ibadah, dan aneka permainan. Orang Quraisy tertidur lelap dan membalik balikkan tubuh mereka di atas ranjang. Tetapi, di sana ada seorang insan yang resah gelisah. Matanya tidak terpejam. Ia pergi ke kamar tidur lebih awal dan beristirahat dalam waktu singkat, lalu bangkit dengan penuh kerinduan karena rupanya ada janji dengan Allah. Ia menuju tempat shalat yang terletak di biliknya, lalu bermunajat kepada Allah dan berdoa penuh ketekunan.

Setiap kali istrinya terbangun dan mendengar gemuruh dadanya yang tunduk meminta dan untaian doanya yang hangat dan merengek-rengek, ia merasa kasihan dan memohon agar suaminya tersebut memperhatikan dirinya dan mengambil waktu istirahat yang cukup. Dengan air mata yang mengalir, yang mendahului kata-katanya, ia menjawab, “Wahai Khadijah, waktu untuk tidur telah berlalu."

Urusannya pada waktu itu memang belum memusingkan orang-orang Quraisy ataupun mengganggu tidur nyenyak mereka, walaupun sudah mulai menjadi titik perhatian. Ia baru saja memulai dakwahnya dan menyampaikan ajarannya secara rahasia dan berbisik-bisik (baca: sembunyi-sembunyi -peny.). Orang-orang yang beriman kepadanya waktu itu masih sangat sedikit. Tetapi, di antara orang-orang yang belum beriman itu ada pula yang menaruh kasih sayang dan penghormatan kepadanya serta memendam niat dan keinginan hati untuk beriman dan menyertai kafilahnya yang penuh berkah. Mereka terhalang untuk menyatakan keinginan itu karena keadaan dan lingkungan, tekanan kebiasaan dan adat istiadat, serta kebimbangan hati untuk memenuhi panggilan atau menolak seruan. Di antara orang yang masuk dalam golongan ini adalah Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Nabi dan saudara sepersusuannya.

Hamzah telah mengetahui kebesaran dan kesempurnaan keponakannya. Ia memahami sebaik-baiknya kepribadian, watak, serta akhlaknya. Ia bukan hanya mengenalnya sebagai seorang paman terhadap keponakannya semata, melainkan juga sebagai saudara terhadap saudaranya, dan sahabat terhadap teman karibnya. Pasalnya, Rasulullah dan Hamzah hidup dalam satu generasi dan usia mereka berdua yang berdekatan. Mereka dibesarkan bersama, bermain bersama dan menjadi sahabat karib, serta menempuh jalan kehidupan selangkah demi selangkah selalu bersama sejak awal.

Hanya saja, ketika usia muda menjelang, mereka berdua menempuh jalan masing-masing. Hamzah mulai bersaing dengan teman-temannya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan merintis jalan bagi dirinya untuk beroleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar Mekkah dan pemimpin pemimpin Quraisy, sedangkan Muhammad tetap bertahan di lingkungan cahaya rohani yang mulai menerangi jalan baginya menuju Ilahi, serta mengikuti bisikan hati yang mengajaknya menjauhi kebisingan hidup untuk mencapai renungan yang dalam, serta mempersiapkan diri dalam menyambut dan menerima kebenaran.

Kita tegaskan, bahwa walaupun kedua anak muda itu telah mengambil arah yang berlainan, tetapi tidak satu detik pun hilang dari ingatan Hamzah. Keutamaan sahabat sekaligus keponakan itu telah banyak diketahui Hamzah, yakni keutamaan dan kemuliaan yang mengantarkan pemiliknya kepada kedudukan tinggi di mata seluruh manusia, dan melukiskan secara gamblang masa depannya yang gemilang.

Pagi itu seperti biasa Hamzah keluar dari rumahnya. Di sisi Ka'bah ia melihat rombongan pembesar dan bangsawan Quraisy, lalu ia pun duduk bersama mereka untuk mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Ternyata mereka sedang membicarakan Muhammad. Untuk pertama kali Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah disebabkan oleh dakwah yang dilakukan oleh keponakannya. Kemarahan, kebencian, dan kedengkian tampak jelas dari kata-kata mereka.

Sebelum itu mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli. Tetapi, sekarang wajah-wajah mereka mengerikan, menyeringai karena berang, kecewa, serta hendak menerkam. Hamzah tertawa mendengar obrolan mereka, ia menuduh mereka terlalu berlebihan dan salah menilai orang.

Saat itu pula, Abu Jahal segera menegaskan kepada mereka yang hadir bahwa sebenarnya Hamzah paling tahu tentang bahaya ajaran yang diserukan oleh Muhammad, hanya saja ia menganggap enteng hingga Quraisy menjadi lengah dan tidak menyadari. Kemudian suatu saat nanti orang-orang Quraisy ditimpa keburukan dan urusan keponakannya itu menguasai mereka.

Mereka melanjutkan pembicaraan dalam suasana hiruk pikuk dan tidak luput dari ancaman, sedangkan Hamzah kadang-kadang turut tertawa dan sesekali menampakkan wajah murka. Ketika pertemuan itu usai dan mereka kembali ke acaranya masing-masing, kepala Hamzah pun dipenuhi oleh pikiran dan perasaan baru, yang menyebabkan perhatiannya tertuju kepada urusan keponakannya dan mempertimbangkan kembali apa dampak baik dan buruknya.

Hari-hari pun berlalu silih berganti, dan makin lama desas-desus yang disebarkan Quraisy terkait dakwah Rasul makin memuncak. Akhirnya, desas-desus itu berubah menjadi hasutan dan persekongkolan, sementara Hamzah memperhatikan suasana dari jauh. Ketabahan hati keponakannya itu sangat menakjubkannya, sedangkan usahanya yang mati-matian membela keimanan dan kelancaran dakwahnya merupakan hal yang baru bagi kaum Quraisy secara umum, walaupun sebenarnya mereka terkenal gigih dan keras kepala.

Ketika itu keragu-raguan mungkin saja dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang tentang kebenaran Rasulullah dan kebesaran jiwanya, tetapi ia tidak akan menemukan jalan untuk mempengaruhi dan memperdayai Hamzah. Hamzah adalah orang yang paling tahu siapa Muhammad sejak masa kanak-kanak hingga waktu mudanya yang tidak ternoda, dan terpercaya sampai usia dewasanya.

la mengenal Muhammad sebagaimana ia mengenal dirinya sendiri, bahkan lebih dari itu. Sejak mereka lahir ke alam wujud, menjadi remaja dan sama-sama berangkat dewasa, di mana lembaran kehidupan Muhammad terbuka di hadapan matanya suci bersih laksana sinar matahari, ia tidak pernah sekali pun melihat cacat pada lembaran itu. Tidak sekali pun, ia melihatnya marah atau naik darah, kecewa atau putus asa, apalagi menampakkan ketamakan dan keserakahan, berolok-olok, atau berbuat hal yang sia-sia.

Hamzah bukan saja seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah belaka, melainkan juga dikaruniai kekuatan kemauan dan ketajaman akal pikiran. Karena itu, tidak wajar bila ia ketinggalan dan tidak ingin mengikuti orang yang diketahuinya betul-betul jujur dan dapat dipercaya. Hanya saja, ia memendam keinginan itu di dalam hati, menunggu waktu yang tepat untuk membukakannya, dan waktu itu telah dekat. Ia tidak akan menunggu lama.

Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Hamzah keluar dari rumahnya menjinjing busur dan menujukan langkahnya ke arah padang belantara untuk melatih kegemaran dan melakukan olah raga yang sangat disukainya yaitu berburu. Ia sangat mahir dalam hal ini. Ia menuruti hobinya itu selama kira-kira setengah hari di sana, dan ketika kembali dari perburuannya ia langsung pergi ke Ka'bah untuk tawaf seperti biasa sebelum pulang ke rumahnya. (Tawaf ialah salah satu bagian dari ritual haji. Haji sendiri ialah ritual yang sudah ada sejak diutusnya Nabi Ibrahim, dan sisa-sisa ajarannya masih ada hingga  masa awal diutusnya Nabi Muhammad namun terdapat beberapa penyimpangan dalam  pelaksanaannya. Dan atas bimbingan Allah Nabi Muhammad kemudian datang membenahi dan menyempurnakan pelaksanaan ibadah ini. -peny.).

Setibanya dekat Ka'bah ia ditemui oleh seorang pelayan wanita Abdullah bin Jud'an. Saat wanita itu melihat Hamzah telah dekat dengan Ka'bah, ia berkata kepadanya, “Wahai Abu Umarah, andai saja engkau melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad baru-baru ini. Abul Hakam bin Hisyam menyakiti dan memaki-makinya ketika mendapatkan dirinya sedang duduk di sana, hingga mengalami perkara yang tidak diinginkan."

Wanita itu lalu melanjutkan ceritanya mengenai perlakuan Abu Jahal terhadap Rasulullah. Hamzah mendengarkan perkataannya dengan baik, kemudian ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu membawa busur panahnya dan menyandangkan ke bahu. Setelah itu, dengan langkah tegap ia bergegas menuju Ka'bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di sana. Bila tidak bertemu di sana, ia akan mencarinya di mana pun juga sampai berhasil.

Tetapi, sebelum sampai di Ka'bah, ia telah melihat Abu Jahal di pekarangannya sedang dikelilingi oleh beberapa orang pembesar Quraisy. Dalam suasana yang mencekam. Hamzah maju mendekati Abu Jahal lalu mengambil busurnya dan memukulkannya ke kepala Abu Jahal hingga terluka dan berdarah-darah. Sebelum orang-orang yang hadir menyadari apa yang terjadi, Hamzah sudah membentak Abu Jahal, dengan ungkapan, “Mengapa kamu cela dan kamu maki Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan mengatakan apa yang dikatakannya? Ulangilah makianmu itu kepadaku jika kamu berani!"

Seketika itu juga, orang-orang yang berada di tempat kejadian tersebut lupa akan penghinaan yang baru menimpa pemimpin mereka dan darah yang mengalir dari kepalanya, terhenyak kaget oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang tidak ubah bagai bunyi halilintar di siang bolong. Kata-kata yang diucapkannya untuk menyatakan bahwa ia telah menganut agama Muhammad, mengakui apa yang diakuinya dan mengatakan apa yang dikatakannya.

“Apa? Apakah Hamzah telah masuk Islam?"

Hamzah adalah sosok anak muda Quraisy yang paling gigih membela haknya serta yang paling mulia. Sungguh, suatu bencana besar yang tidak dapat diatasi oleh bangsa Quraisy karena keislaman Hamzah akan menarik perhatian tokoh-tokoh pilihan untuk ikut memasuki agama itu, hingga Muhammad akan mendapat tenaga dan kekuatan yang akan membela dakwah dan memperkokoh barisannya, dan suatu saat nanti orang-orang Quraisy akan bangun dan tersadarkan diri karena mendengar bunyi linggis dan tembilang yang menghancurleburkan berhala-berhala dan tuhan-tuhan mereka.

Memang benar, Hamzah telah masuk Islam dan di hadapan umum ia telah mengungkapkan isi hatinya selama ini. Ia meninggalkan orang-orang itu merenungi kekecewaan dan kegagalan harapan mereka, dan membiarkan Abu Jahal menjilat darah yang mengucur dari kepalanya yang terluka. Hamzah kembali memungut busur dengan tangan kanannya, dan menggantungkannya di bahu, lalu dengan langkah yang tegap dan hati yang pekat pergi pulang ke rumahnya.

Hamzah adalah seorang yang berpikiran cerdas dan berhati lurus. Ketika ia telah pulang ke rumahnya dan hilang rasa lelahnya, ia duduk sambil berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Bagaimana cara ia menyatakan keislamannya dan kapan.

Ia telah menyatakannya saat emosi dan tersinggung, saat marah dan naik darah. Ia tidak sudi bila keponakannya diperlakukan secara sewenang-wenang dan dianiaya tanpa adanya pembela. Karena itu, ia naik darah dan berdiri tegak membela Muhammad dan kehormatan Bani Hasyim; memukul kepala Abu Jahal hingga terluka dan berteriak di depannya bahwa ia telah memeluk agama Islam.

Tetapi, menurut Anda, apakah seseorang yang meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya, agama yang telah mereka anut sejak beribu-ribu tahun dan bahkan berabad-abad, lalu langsung menerima agama baru yang belum lagi diselidiki ajarannya dan belum dikenal hakikatnya kecuali sedikit saja, disebut sebagai cara yang terbaik? Memang benar, ia tidak sedikit pun ragu tentang kebenaran Muhammad dan ketulusan maksudnya. Hanya saja, mungkinkah seseorang menerima satu agama baru beserta segala kewajiban dan tanggung jawabnya saat marah dan naik darah sebagaimana yang dilakukan oleh Hamzah sekarang ini?

Pikiran Hamzah terus dihantui oleh banyak pertanyaan. Siang hari, hatinya tidak bisa tenteram, sedangkan malam hari matanya tidak mau terpejam. Ketika akal telah diliputi oleh rasa penasaran terhadap hakikat sesuatu, keraguan pun datang sebagai jalan menuju keyakinan. Demikianlah, akal Hamzah yang baru saja tersentuh oleh keinginan untuk 
membahas masalah agama Islam dan membandingkan antara yang lama dan yang baru. Keraguan pun langsung menyelimuti dirinya yang dibangkitkan oleh kerinduan yang telah mendarah daging terhadap agama nenek moyangnya, dan kecemasan yang telah jadi pusaka turun-temurun terhadap segala hal yang baru. Semua kenangannya tentang Ka'bah beserta tuhan-tuhan dan berhala-berhalanya bangkit kembali, begitu pula tentang pengaruh keagamaan yang telah ditanamkan oleh patung-patung pahatan itu terhadap semua penduduk Mekkah dan bangsa Quraisy secara keseluruhan.

Di dalam dadanya memang terpendam niat untuk menghormati dakwah baru yang panji-panjinya dipikul oleh keponakannya. Namun, seandainya ia ditakdirkan akan menjadi salah seorang pengikut dari dakwah ini, yang beriman dan menyediakan diri untuk menjadi pembantu dan pembelanya, kapankah sebenarnya waktu yang tepat untuk menganutnya? Apakah saat murka dan tersinggung ataukah setelah berpikir dan merenung?

Demikianlah, keteguhan pendirian dan kemurnian berpikir mengharuskannya untuk mengkaji dan mempertimbangkan semua masalah ini sedalam-dalamnya. Terlintas dalam pikiran bahwa memisahkan diri dari sejarah tersebut dan meninggalkan agama lama yang telah mendarah daging ini tidak ubahnya bagai hendak melompati jurang yang lebar. Ia merasa heran, mengapa orang begitu mudah dan tergesa-gesa meninggalkan agama nenek moyangnya, serta menyesali semua yang telah dilakukan sebelumnya? Namun, akal terus berputar dan bertarung dengan keraguan.

Tatkala ia merasa bahwa logika semata tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaannya, dengan ikhlas dan tulus hati, ia pergi untuk mendapatkan jawaban dari yang gaib. Di sisi Ka'bah, ia mendongakkan wajahnya ke langit, memohon dengan segala ketundukan dan harapan kepada segala kekuatan dan cahaya yang terdapat di alam wujud ini agar mendapat petunjuk kepada yang benar dan jalan yang lurus.

Sekarang, mari kita dengar ceritanya ketika mengisahkan berita selanjutnya:

“Kemudian timbullah sesal dalam hatiku karena meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku. Aku pun diliputi kebingungan hingga mata tidak bisa terpejam. Akhirnya, aku pergi ke Ka'bah dan memohon kepada Allah agar membukakan hatiku untuk menerima kebenaran dan melenyapkan segala keraguan. (Kaum kafir Quraisy adalah kaum yang kekafiran mereka disebabkan oleh pengingkarannya terhadap kenabian Nabi  Muhammad dan karena sebab berpalingnya mereka dari ajaran beliau, juga karena menjadikan berhala-berhala sebgai sekutu bagi Allah dalam ibadah, bukan disebabkan karena menolak keberadaan Allah. Dalam diri mereka telah ada keyakinan bahwa yang menciptakan alam semesta adalah Allah, yang menurunkan hujan juga adalah Allah --lihat QS. Lukman: 25, Az-Zumar: 38, Al Ankabut: 63. Bahkan ketika bersumpah pun mereka biasa menggunakan ungkapan "Demi Allah". -peny.). Allah pun mengabulkan permohonanku itu dan memenuhi hatiku dengan keyakinan. Aku pun segera menemui Rasulullah dan menceritakan keadaanku kepadanya, Maka beliau berdoa kepada Allah agar menetapkan hatiku dalam agamanya."

Demikianlah, Hamzah menganut Islam secara yakin. Allah menguatkan Islam dengan Hamzah. Bagai batu karang yang kukuh menjulang, ia membela Rasulullah dan para sahabatnya yang lemah. Abu Jahal melihat Hamzah berdiri dalam barisan kaum muslimin, maka menurut keyakinannya perang sudah tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, ia menghasut orang-orang Quraisy untuk melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan para sahabat. Ia terus mempersiapkan diri untuk melancarkan perang saudara yang akan melenyapkan semua dendam dan sakit hatinya.

Hamzah tidak dapat membendung segala gangguan mereka, tetapi keislamannya seolah-olah menjadi benteng dan perisai, di samping menjadi daya tarik bagi kebanyakan kabilah Arab untuk mengikuti langkahnya. Kemudian, daya tarik itu dikuatkan lagi dengan keislaman Umar bin Al Khatthab, sehingga mereka pun berbondong-bondong menganut Islam.

Sejak masuk Islam, Hamzah telah bertekad akan membaktikan hidupnya untuk Allah dan agama-Nya, hingga Nabi berkenan memasangkan pada dirinya julukan istimewa ini, “Singa Allah dan singa Rasul Nya.” Pengiriman pasukan perang yang tidak disertai Nabi, yang pertama dikirim untuk menghadapi musuh, dipimpin oleh Hamzah. Panji Islam pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah kepada salah seorang Muslimin diserahkan kepada Hamzah. Kemudian, ketika kedua pasukan telah berhadap-hadapan di Perang Badar, keberanian luar biasa telah ditunjukkan oleh Singa Allah dan Singa Rasul-Nya yang tiada lain adalah Hamzah.

Sisa-sisa tentara Quraisy kembali dari Badar ke Mekkah dan berjalan terhuyung-huyung membawa kegagalan dan kekalahan. Abu Sufyan tidak ubah bagai pohon kayu besar yang tumbang dan tercabut hingga akarnya. la berjalan dengan kepala tertunduk meninggalkan medan laga yang dipenuhi tubuh para pemuka Quraisy yang telah tiada bernyawa, seperti Abu Jahal, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Umayah bin Khalaf, Uqbah bin Abu Mu'aith, Al-Aswad bin Abdul Aswad Al Makhzumi, Walid bin Utbah, Nadhar bin Harits, Ash bin Sa'id, Tha'mah bin Adi serta beberapa puluh pemimpin dan tokoh Quraisy lain seperti mereka.

Namun, kaum Quraisy tidak sudi menelan kekalahan pahit ini begitu saja. Mereka mulai mempersiapkan diri, menghimpun segala dana dan daya untuk menuntut balas dan menebus kekalahan mereka. Mereka telah bertekad bulat untuk berperang.

Akhirnya, waktu Perang Uhud pun tiba. Orang-orang Quraisy keluar, disertai oleh sekutu mereka dari berbagai kabilah Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Target utama para pemuka Quraisy dalam peperangan kali ini adalah dua orang saja, yaitu Rasulullah dan Hamzah. Memang benar, dari buah pembicaraan dan provokasi yang mereka gembar-gemborkan sebelum perang, dapat diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah sebagai sasaran dan target peperangan ini.

Sebelum berangkat, mereka telah memilih seseorang yang diberi tugas untuk menyelesaikan rencana mereka terhadap Hamzah. Orang itu adalah seorang budak Habasyah yang memiliki kemahiran luar biasa dalam melemparkan tombak. Dalam peperangan nanti mereka memerintahkan budak itu untuk memusatkan perhatian hanya kepada satu tugas saja, yaitu menjadikan Hamzah sebagai buruan dan melepaskan lemparan tombak dengan lemparan yang mematikan kepadanya.

Mereka memperingatkannya agar tidak melalaikan tugas tersebut bagaimanapun juga jalan peperangan dan akhir kesudahannya. Sebagai imbalan mereka berjanji akan membayar jasanya dengan harga yang mahal, yakni kebebasan dirinya. Budak yang bernama Wahsyi itu adalah milik Jubair bin Muth'am. Kala Perang Badar meletus, paman Jubair ini tewas di tengah medan perang dan ia ingin menuntut balas, sehingga ia berkata kepada Wahsyi, “Berangkatlah bersama orang-orang itu! Jika kamu berhasil membunuh Hamzah, kamu bebas."

Kemudian mereka bawa budak itu kepada Hindun binti Utbah, yakni istri Abu Sufyan. agar dihasut dan didesaknya untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Pada Perang Badar, Hindun telah kehilangan ayah, paman, saudara, dan putranya. Ia mendengar berita bahwa Hamzah-lah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan terbunuhnya yang lain. Karena itu, tidak aneh bila di antara orang-orang Quraisy, baik laki-laki maupun perempuannya, dialah yang paling getol menghasut orang untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala Hamzah, meski harus dibayar dengan harga berapa pun.

Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tidak ada sesuatu pun yang dilakukan oleh Hindun selain menggembleng dan menghasut Wahsyi, serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya kepada Hamzah dan merencanakan peran yang akan dimainkan oleh budak itu. Ia telah menjanjikan kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, ia akan memberikan kepadanya kekayaan dan perhiasan paling berharga yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sambil memegang anting-anting, permata yang mahal, serta kalung emas yang terlilit pada lehernya dengan jari-jarinya yang penuh kebencian, dan dengan pandangan yang tajam, ia berbisik kepada Wahsyi, “Jika kamu dapat membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu."

Air liur Wahsyi pun mengalir mendengar itu. Angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak, selain keinginan untuk segera memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghiasi leher istri pemimpin dan putri tokoh suku Quraisy.

Itulah persekongkolan jahat mereka. Segala unsur perang kali ini menginginkan Hamzah terbunuh tanpa ditawar-tawar.

Pertempuran itu pun tiba. Kedua pasukan telah mulai bertempur. Hamzah berada di tengah-tengah medan yang menjadi sarang maut dan pembunuhan. Ia memakai pakaian perang, sedangkan di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa diambilnya sebagai penghias dadanya dalam peperangan. Hamzah mulai menyerbu dan menyerang kiri kanan. Setiap kepala yang menjadi sasarannya, putus oleh pedangnya. Pukulannya terhadap orang-orang musyrik tiada henti-hentinya, dan seolah olah maut menyerahkan diri ke dalam tangannya, dilontarkannya kepada siapa yang dikehendakinya, lalu tertancap di hulu hatinya.

Seluruh kaum muslimin maju dan menyerbu ke baris depan, hingga kemenangan menentukan telah hampir berada di tangan. Sisa-sisa Quraisy terpukul mundur dan lari porak poranda. Seandainya pasukan panah tidak meninggalkan posisi mereka di puncak bukit, dan turun ke bawah untuk memungut harta rampasan dari musuh yang kalah; sekiranya mereka tidak melanggar perintah dan tidak membiarkan garis pertahanan panjang menjadi terbuka bagi masuknya pasukan berkuda Quraisy, Perang Uhud pasti akan menamatkan riwayat mereka dan menjadi kuburan bagi kaum Quraisy, baik lelaki maupun wanita, bahkan kuda dan unta mereka.

Saat mereka lengah dan tidak waspada itulah, pasukan berkuda Quraisy menyerang kaum muslimin dari belakang hingga mereka menjadi sasaran dan bulan-bulanan pedang yang menari-nari berkelebatan. Kaum muslimin berupaya keras mengatur barisan kembali dan memungut senjata yang telah ditinggalkan oleh sebagian mereka yang lari karena serbuan Quraisy yang mendadak itu. Namun, sergapan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu akibatnya memang sangat kejam dan pahit.

Ketika Hamzah menyadari apa yang telah terjadi, semangat, tenaga maupun perjuangannya semakin berlipat ganda. la menerjang ke kiri dan ke kanan, ke muka dan ke belakang, sementara Wahsyi sedang mengintainya di sana dan menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan tombak ke tubuhnya.

Sekarang, mari kita persilakan Wahsyi sendiri yang menuturkan tentang peristiwa tersebut:

(Bersambung)

No comments: