adsense

November 25, 2016

Hukum Koperasi Simpan-Pinjam

Pertama: Kaidah baku dalam memahami riba adalah perkataan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu, yang mengatakan,

كل قرض جر منفعة فهو ربا

Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.

Demikiaan juga keterangan Abdullah bin Sallam. Beliau mengatakan, “Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi itu memberikan fasilitas layanan membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari)

Berdasarkan keterangan di atas maka apa pun bentuk kelebihan yang diberikan oleh orang yang berutang karena konsekuensi utangnya maka statusnya adalah riba, baik yang menerima itu adalah pihak perorangan atau organisasi, semacam koperasi.

Yang kami maksud dengan “konsekuensi utang” adalah semua sebab yang mengakibatkan kreditor memberikan kelebihan–apa pun bentuknya–kepada debitor, baik disepakati di awal atau hanya sebatas karena perasaan “tidak enak” kepada yang mengutangi. Artinya, andai bukan karena adanya utang tersebut, dia tidak akan memberikan apa pun kepada debitor.

Kedua: Kewajiban harta yang Allah bebankan kepada hamba-Nya hanya satu: zakat.

Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk mendakwahi ahli kitab, beliau berpesan untuk mengajarkan semua syarat sehingga seseorang bisa disebut muslim. Salah satunya: “… Sesungguhnya, Allah mewajibkan zakat terhadap harta mereka ….” (HR. Bukhari, Abu Daud, Turmudzi, dan lain-lain).

Andaikan ada kewajiban harta yang lainnya dalam Islam, tentu akan dipesankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz. Karena itu, tidak ada yang namanya “kewajiban infak” 2,5%. Jika itu ditetapkan maka itu bukan kewajiban syariat, tetapi kewajiban iuran bagi setiap anggota koperasi yang meminjam uang. Jika demikian, berarti kewajiban infak yang dibebankan kepada peminjam, pada hakikatnya, adalah riba.

Allahu a’lam.

November 24, 2016

Hukum Menabung di Bank dengan Aneka Niat


Hukum menabung di bank dengan aneka niat

Sejak kesadaran masyarakat terhadap agamanya semakin meningkat, mereka mulai merasa risih dengan bunga yang ada di bank. Imbas selanjutnya, mereka mulai mempertanyakan hukum menabung di bank. Karena mereka yakin bahwa bank akan memanfaatkan dana tabungan nasabah untuk aktivitas mereka. Agar kita bisa mengambil kesimpulan tanpa ragu, kita perlu merujuk apa kata ulama tentang hukum menabung di bank. Berikut keterangan para ulama kontemporer tentang hukum menabung di bank dengan aneka niat:
Pertama, menabung untuk mengambil dan memiliki bunganya.

Ulama sepakat bahwa bunga bank adalah riba yang haram. Untuk itu, mereka sepakat, menabung di bank dengan maksud mengambil dan memanfaatkan bunga untuk kepentingan pribadi, hukumnya terlarang.
Dalam salah satu keputusan Majma’ Al-Buhuts Al-Islami, dalam muktamarnya yang kedua, yang diadakan di Kairo, tahun 1965. Dalam keputusan tersebut dinyatakan:

“Bunga dari transaksi utang-piutang, semuanya adalah riba yang haram. Tidak ada bedanya, baik utang untuk kegiatan konsumtif maupun utang untuk kegiatan produktif. Karena dalil Alquran dan sunah, semuanya dengan tegas menyatakan haramnya kedua jenis riba dari utang tersebut.” (Fawaidul Bunuk Hiyar Riba, Hal. 130)

Kedua, menabung di bank tanpa keinginan mengambil bunga.

Para ulama melarang menabung di bank, meskipun tanpa ada keinginan untuk mengambil bunga. Karena menaruh dana di bank, akan membantu bank dalam melancarkan transaksi riba. Hanya saja para ulama membolehkan jika ada kebutuhan yang mendesak. Lajnah Daimah, dalam salah satu fatwanya menyatakan, “Haram menyimpan uang di bank, kecuali karena darurat, dan tanpa mengambil bunga.” (Majmu’ Fatawa Lanjah Daimah, 13:384)

Ketiga, menabung di bank untuk mengamankan uang.

Seberapakah ukuran kebutuhan dan darurat yang membolehkan seseorang menabung di bank?
Dalam banyak fatwanya, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz membolehkan menabung di bank untuk mengamankan uang, yang tidak memungkinkan untuk disimpan di selain bank. Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang menabung gajinya di bank tanpa mengambil bunga karena khawatir hilang. Beliau menjawab, “Tidak masalah Anda melakukan demikian, menabung di bank karena khawatir uang Anda hilang. Dan ini termasuk keadaan mendesak, jika Anda membutuhkannya maka tidak mengapa, dengan tanpa mengambil bunga.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 19:153)

Hal ini juga menjadi keputusan Majlis Al-Fiqhi Al-Islami, di bawah Rabithah Al-Alam Al-Islami, dalam konferensi kesembilan di Mekah. Pada keputusan no. 3, dinyatakan:

“Haram bagi seorang muslim, untuk bertransaksi dengan riba, selama masih memungkinkan untuk bertransaksi dengan bank non riba, baik di dalam maupun luar negeri. Karena tidak ada alasan baginya untuk berinteraksi dengan bank riba sementara sudah ada penggantinya, yaitu bank non riba” (Diambil dari Fawaidul Bunuk Hiyar Riba, Hal. 140)

Keempat, membuka rekening tabungan agar bisa melakukan transaksi yang dibutuhkan.
Terdapat beberapa keterangan dari para ulama, yang mengisyaratkan bolehnya membuat rekening bank, untuk memanfaatkan jasa bank, semacam transfer gaji atau yang lainnya. Di antaranya:

Fatwa ahli hadis abad ini, Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullah. Dalam program Silsilatul Huda wan Nur, beliau ditanya:

Terkait gaji beberapa pegawai yang diambil melalui bank, apakah gaji pegawai ini haram, karena termasuk harta riba?

Beliau memberikan jawaban: Saya tidak menganggap hal itu (gaji mereka termasuk riba). Karena yang saya tahu, mereka tidak melakukan hal itu karena keinginan mereka, tapi sebagai aturan yang wajib mereka ikuti. Yang penting gaji itu sampai kepada pegawai dengan jalan yang halal. Akan tetapi jika gaji itu harus melalui fase yang tidak halal, seperti ditabung dulu di bank maka itu di luar tanggung jawab pegawai, namun dia harus berusaha untuk mengambil uang tersebut sesegera mungkin. (Silsilah Huda wan Nur, rekaman no.387).

Keterangan beliau ini juga diaminkan oleh Lajnah Daimah. Pada kasus pertanyaan yang sama, mereka Lajnah menegaskan:

Tidak masalah mengambil gaji yang ditransfer melalui bank. Karena pegawai ini mengambil gaji sebagai imbalan dari pekerjaan yang dia lakukan, yang tidak ada kaitannya dengan bank. Akan tetapi dengan syarat, jangan sampai dia tinggalkan di bank untuk dibungakan, setelah gaji itu ditransfer ke rekening pegawai. (Fatawa Lajnah, no.16501)

Syarat yang disampaikan Lajnah, bahwa gaji yang sudah ditransfer harus segera diambil. Ini bertujuan agar nasabah tidak dianggap mengendapkan dana di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan bank untuk pengembangan riba. Sebagaimana hal ini juga ditegaskan dalam Kumpulan Fatwa Syabakah Islamiyah. Dalam salah satu fatwanya dinyatakan:

Bahwa transfer gaji melalui bank, meskipun bukan untuk tujuan membungakan uang, tetapi dana tersebut akan dimanfaatkan bank untuk transaksi mereka yang penuh dengan riba maka hukumnya tidak diperbolehkan, karena termasuk membantu orang lain untuk maksiat. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 115367)

Kelima, hukum menabung dengan tujuan mengambil bunga untuk disedekahkan.

Pemahaman semacam ini sama halnya dengan orang yang mencuri dengan tujuan untuk bersedekah. Padahal Allah Ta’ala hanyalah menerima amal yang baik dari hamba.

Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Allah hanya menerima amal dari orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Maidah: 27). Sementara sedekah dengan cara yang haram, bukanlah termasuk amal orang yang bertaqwa. Ibnu Sa’di mengatakan:

Pendapat yang paling kuat tentang makna ‘orang yang bertaqwa‘ di ayat ini adalah orang yang bertaqwa kepada Allah ketika melakukan amal tersebut. Artinya, dia beramal dengan ikhlas mengharap wajah Allah, dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir As-Sa’di, Hal. 228)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan tidak menerima sedekah dari hasil ghulul.” (HR. Muslim no. 224)

Makna ghulul pada asalnya adalah harta rampasan perang yang dicuri sebelum dibagikan. Kemudian makna ini mengalami perluasan menjadi harta khianat, sehingga mencakup semua harta yang diperoleh dengan cara haram. (Lihat Syarh Nawawi untuk shahih Muslim, 3:103)

Fatwa terkait hal ini adalah keterangan Lajnah Quthaul Ifta’ Kuwait. Komite ulama Kuwait ini memberikan jawaban yang tegas:

“Sesungguhnya menyimpan uang di bank, dengan maksud untuk mendapatkan bunga (riba), dalam rangka untuk disedekahkan di jalan kebaikan, hukumnya terlarang. Lebih-lebih jika dijadikan sebagai gaji pegawai.” (Fatawa Quthaul Ifta’ Kuwait, no. 815)

Dari uraian beberapa fatwa di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa dicatat:

1. Ulama sepakat bahwa bunga bank adalah riba yang haram.

2. Ulama sepakat terlarangnya menabung untuk tujuan membungakan uang. Karena sama halnya dengan melakukan transaksi riba.

3. Pada asalnya, dilarang menabung di bank, meskipun tanpa bermaksud mengambil bunganya. Karena menyimpan uang di bank sama halnya membantu mereka untuk melakukan transaksi riba.

4. Ulama memberikan pengecualian bolehnya menabung di bank, dengan dua syarat:
  • Adanya kebutuhan yang mendesak
  • Tidak mengambil bunganya
5. Batasan kebutuhan mendesak yang membolehkan menyimpan uang di bank adalah adanya kekhawatiran terhadap keamanan harta nasabah, jika tidak disimpan di bank.

6. Kebutuhan mendesak antara satu orang dengan yang lainnya, berbeda-beda. Karena itu, batasan ini tidak berlaku umum.

7. Dibedakan antara hukum membuka rekening di bank untuk memanfaatkan jasa bank, dengan menyimpan uang di bank.

8. Dibolehkan membuka rekening di bank untuk memanfaatkan jasa bank yang halal, seperti transfer gaji atau yang lainnya.

9. Pihak yang mendapatkan transfer gaji dari bank, diharuskan segera mengambil uang tersebut dan tidak mengendapkannya di bank. Kecuali ada kebutuhan yang mendesak, sebagaimana keterangan sebelumnya.

10. Tidak dibolehkan menabung di bank dengan tujuan mendapatkan bunga, untuk disedekahkan atau diinfakkan ke jalan yang benar. Karena ini sama halnya dengan beramal dengan cara bermaksiat.

Demikian, beberapa kumpulan fatwa ulama kontemporer tentang hukum menabung di bank. Semoga bisa menjadi panduan bagi kita untuk sikap, ketika harus berinteraksi dengan bank.
Allahu a’lam