Oleh: Ahmad Rofiqi(Mahasiswa Pasca-Sarjana Program Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibn Khaldun, Bogor)
Dimuat di Harian REPUBLIKA, Jumat, 29 Februari 2008
atau http://www.republik a.co.id/koran_ detail.asp? id=325368&kat_id=16
Dimuat di Harian REPUBLIKA, Jumat, 29 Februari 2008
atau http://www.republik a.co.id/koran_ detail.asp? id=325368&kat_id=16
Dominasi peradaban Barat telah menyebabkan banyak cendekiawan berusaha mengubah ajaran-ajaran Islam, agar sesuai dengan konsep HAM sekular Barat. Salah satu konsep Islam yang mendapat serangan adalah konsep tentang murtad (orang yang keluar dari agama Islam). Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, maka manusia dijamin haknya untuk memeluk agama apa saja, termasuk keluar masuk suatu agama. Bagi mereka, agama dianggap seperti baju. Kapan saja boleh ditukar-tukar, sesuai dengan seleranya.
Salah satu cara yang dilakukan para cendekiawan adalah berusaha "mengubah sejarah", dengan menulis bahwa seolah-olah, Nabi Muhammad saw berdiam diri saja terhadap tindakan kemurtadan. Bahkan, perang melawan kaum murtad yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dikatakan sebagai perang melawan pemberontak yang semata-mata bermotifkan politik, bukan perang atas dasar agama.
Sebuah buku sejarah Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Dr. Muhammad Husein Haekal, misalnya, juga menulis, bahwa nabi palsu yang muncul pada masa Rasulullah SAW tidaklah terlalu mempengaruhi beliau untuk melakukan tindakan-tindakan militer.
"Itulah sebabnya, tatkala ada tiga orang yang mendakwakan diri sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan." (Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (terj). 1990:559). Di Indonesia, disertasi, tesis, skripsi, dan buku-buku yang mendukung "hak murtad" ini sangat banyak. Salah satu trik mereka adalah mengungkap sejarah dengan keliru.
Kisah Dua Utusan
Dalam kitabnya Al Sunan (Kitab Al Jihad, Bab Ar Rusul hadits no, 2380) Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Mas'ud. Ketika menerima dua utusan Nabi palsu, Musailamah al-Kazzab, Rasulullah Saw bertanya kepada mereka: "Apa yang kalian katakan (tentang Musailamah)? Mereka menjawab, "Kami menerima pengakuannya (sebagai nabi)". Rasulullah SAW berkata: "Kalau bukan karena utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku akan memenggal leher kalian berdua".
Lafadz ini diceritakan juga oleh Ahmad (hadits no. 15420), Al Hakim (2: 155 no. 2632). Ahmad (hadits no. 15420) melaporkan melalui Abdullah bin Mas'ud dengan lafadz "la-qataltu- kumaa", (aku pasti membunuh kalian berdua). Versi hadits ini diceritakan kembali oleh kitab-kitab sejarah seperti Al Thabari (Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid) dan Ibnu Katsir (Al Bidayah wa Al Nihayah, Dar Ihya' Al Turats Al Arabi , tt, Juz 6, hal: 5).
Riwayat-riwayat ini menampilkan ketegasan Rasulullah SAW terhadap orang yang mengakui kenabian Musailamah. Tetapi, karena Rasulullah SAW memegang etika diplomatik yang tinggi, maka beliau membiarkan begitu saja kedua utusan Nabi palsu itu.
Abu Daud (hadits no. 2381), Al Nasa'i (Al Sunan Al Kubra, 2: 205) dan Al Darimi (Kitab Al Siyar, hadits no. 2391) menceritakan kesaksian Haritsah bin Al Mudharib dan Ibn Mu'ayyiz yang mendapati sekelompok orang dipimpin Ibn Nuwahah di sebuah masjid perkampungan Bani Hanifah, ternyata masih beriman pada Musailamah. Setelah kejadian ini dilaporkan pada Ibn Mas'ud, beliau berkata pada Ibn Nuwahah (tokoh kelompok tersebut), "Aku mendengar Rasulullah Saw dulu bersabda "Kalau engkau bukan utusan, pasti aku akan penggal kamu", nah, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan". Maka Ibn Mas'ud menyuruh Quradhah bin Kaab untuk memenggal leher Ibn Nuwahah. Ibn Mas'ud berkata, "Siapa yang ingin melihat Ibn Nuwahah mati, maka lihatlah ia di pasar". Masjid mereka pun akhirnya dirobohkan.
Mengapa Rasulullah SAW tidak memerangi Musailamah? Ibn Khaldun menjelaskan masalah ini, bahwa "Sepulangnya Nabi SAW dari Haji Wada', beliau kemudian jatuh sakit. Tersebarlah berita sakit tersebut, sehingga muncullah Al Aswad Al Anasi di Yaman, Musailamah di Yamamah dan Thulaihah bin Khuwailid dari Bani Asad; mereka semua mengaku nabi. Rasulullah SAW segera memerintahkan untuk memerangi mereka melalui edaran surat dan utusan-utusan kepada para gubernurnya di daerah-daerah dengan bantuan orang-orang yang masih setia dalam keislamannya. Rasulullah SAW menyuruh mereka semua bersungguh-sungguh dalam jihad memerangi para nabi palsu itu sehingga Al Aswad dapat ditangkap sebelum beliau wafat. Adapun sakit keras yang dialami tidak menyurutkan Rasulullah SAW untuk menyampaikan perintah Allah dalam menjaga agama-Nya. Beliau lalu menyerukan orang-orang Islam di penjuru Arab yang dekat dengan wilayah para pendusta itu, menyuruh mereka untuk melakukan jihad (melawan kelompok murtad—pen)". (Abdurrahman Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Libanon, cet. 1, th. 1992, hal 474-475).
Tindakan Abu Bakar r.a.
Pada masa Abu Bakar r.a. kekisruhan negara sumbernya ada dua. Yang pertama orang-orang yang menolak membayar zakat. Yang kedua adalah para nabi palsu. Dalam Al Bidayah wa Al Nihayah Imam Ibn Katsir menulis judul "Fasal Peperangan Abu Bakar melawan Orang-orang Murtad dan Penolak Zakat" (cet. 1 terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Libanon: 2001, jilid 6 hal 307). Abu Bakar sampai membentuk sebelas ekspedisi militer untuk menumpas gerakan-gerakan tersebut (Al Daulah Al Umawiyah, Muhammad Al Khudhari, Mansyurat Kulliyah Dakwah Islamiyah, Tripoli, Libya: tt. hal 177-178)
Semula, Umar bin Khatab r.a. mencoba membujuk Abu Bakar r.a. agar tidak memerangi para penolak zakat. Kata Abu Bakar, "Demi Allah, jika mereka berani menolak menyerahkan seutas tali yang dulunya mereka berikan pada Rasulullah SAW, aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan ini" (Dikeluarkan oleh Ahmad 1: 11, 19, 35, 2: 35, 4: 8, Al Bukhari hadits no 1561, Muslim Kitab Al Iman hadits no 82, 83 Juz 1 hal 52.)
Pada riwayat lain, disebutkan, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq yang dikenal sangat lembut perangainya, menyatakan: "Rasulullah SAW telah wafat dan wahyu sudah tidak turun lagi! Demi Allah aku akan memerangi mereka selama masih memegang pedang ditanganku meski mereka tidak mau menyerahkan seutas tali!" (Tarikh Al Khulafa', Al Suyuthi, Fasal fii maa Waqa'a fii Khilafati Abi Bakar Al Shiddiq ra). Ungkapan Abu Bakar r.a. "dan wahyu sudah tidak turun lagi" menunjukkan ketegasannya terhadap persoalan "nabi palsu". Dari Handzalah bin Ali Al Laitsi ia berkata, "Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Al Walid untuk memerangi orang-orang dengan sebab lima rukun Islam. Siapa saja yang menolak salah satunya hendaknya ia diperangi". (Adz Dzahabi, Tarikh Al Islam,Kitab Sanah Ihda 'Asyr Bab Khabar Al Riddah).
Terkait dengan perang melawan kelompok murtad itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Setelah Rasulullah SAW wafat, kami hampir saja binasa kalau saja Allah tidak menganugerahi kami kepemimpinan Abu Bakar" (Tarikh Al Dzahabi, Juz 2, Kitab Sanah Ihda 'Asyr, bab Akhbar al Riddah). Juga dikatakan: "Demi Allah, aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan perang dan baru aku tahu, inilah keputusan yang benar". (Al Bukhari hadits no 1561). Islam memandang masalah agama (ad-Dinul Islam) sebagai hal yang prinsip, karena menyangkut urusan dunia dan akhirat. Agama bukan hanya laksana baju; boleh dipakai dan ditanggalkan kapan saja. Untuk berganti menjadi warga negara saja, orang tidak boleh sembarangan; apalagi menyangkut gonta-ganti agama. Pandangan ini berbeda dengan cara pandang orang sekuler yang melihat agama sebagai urusan pribadi dan hubungan antar manusia semata.
agama sebagai urusan pribadi dan hubungan antar manusia semata.Karena itulah, Rasulullah SAW dan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. bersikap tegas terhadap setiap penyelewenangan terhadap agama. Jadi, sangat tidak benar, jika umat Islam – apalagi para ulamanya – hanya berdiam diri terhadap segala bentuk kesesatan dan kemurtadan. Oleh sebab itu, sesuai dengan fungsinya, tindakan MUI yang menetapkan ajaran sejumlah nabi palsu sebagai "ajaran sesat" adalah tindakan yang sangat tepat. Tentu saja, tindakan berikutnya adalah menjadi tanggung jawab penguasa (umara).
No comments:
Post a Comment