adsense

May 01, 2020

Abdullah bin Rowahah_ "Wahai Jiwa, Jika Kau Tidak Gugur di Medan Juang, Kau pun Tetap Akan Mati Juga"_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 29)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala


Ketika itu Rasulullah sedang duduk di salah satu dataran tinggi Mekkah, menghadapi para utusan dari Madinah, yang datang secara diam-diam tanpa sepengetahuan kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari 12 orang utusan suku, yang kemudian dikenal dengan nama kaum Anshar. Mereka sedang dibaiat Rasul yang terkenal dengan sebutan Baiat Aqabah I. Merekalah pembawa dan penyiar islam pertama ke Madinah, dan baiat mereka membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang selanjutnya membawa kemajuan pesat bagi agama Allah, yaitu Islam. Salah seorang dari utusan yang dibaiat Nabi itu adalah Abdullah bin Rawahah.

Pada tahun berikutnya Rasulullah membaiat lagi 73 orang Anshar dari penduduk Madinah pada Baiat Aqabah II. Ibnu Rawahah juga termasuk salah seorang utusan yang dibaiat itu.

Setelah Rasulullah bersama para sahabat hijrah ke Madinah dan menetap di sana, Abdullah bin Rawahah merupakan orang yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela dan mengukuhkan sendi-sendi Islam. Dialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdullah bin Ubay (tokoh kaum munafik -peny. ), yang oleh penduduk Madinah memang telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana. Abdullah bin Ubay tidak kenal lelah untuk berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, usaha dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat digagalkan.

Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang masih jarang ditemukan kepandaian baca tulis. Ia juga seorang penyair ulung, yang untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar. Sejak memeluk Islam, ia membaktikan kemampuannya bersyair itu untuk kejayaan Islam. Rasulullah menyukai dan menikmati syair-syairnya. Beliau sering meminta kepadanya agar lebih tekun lagi membuat syair.

Suatu hari, beliau duduk bersama para sahabat. Tiba-tiba, Abdullah bin Rawahah datang, lalu Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang engkau lakukan bila hendak mengucapkan syair?"

Abdullah menjawab. "Kurenungkan dahulu, kemudian baru kuucapkan".

Sejurus kemudian, ia pun mengucapkan syairnya:

"Wahai Putra Hasyim yang baik, sungguh, Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia

Memberimu karunia yang tidak diberikan kepada orang lain

Sungguh, aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu

Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka

Seandainya engkau bertanya dan meminta pertolongan mereka

Dalam memecahkan persoalan, mereka tidak akan menjawab atau membela

Karena itu, Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang engkau bawa

Sebagaimana Dia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa."

(Keindahan syair lebih terletak pada pilihan bahasa serta ketinggian maknanya. Syair dipastikan akan mengalami distorsi yang cukup besar ketika ia diterjemahkan atau telah dialihbahasakan. Syair-syair yang kita baca dalam serial ini tersaji bukan dalam bahasa aslinya, melainkan sudah dalam bentuk terjemahan. Maka tidak perlu heran apabila kebanyakan dari kita mendapatkan kesulitan saat berusaha mencari di mana letak keindahannya. -peny. )

Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridha kepadanya, lalu bersabda, “Dan semoga engkau juga dikaruniai keteguhan oleh Allah "

Ketika Rasulullah sedang tawaf di Baitullah pada umrah qadha, lbnu Rawahah berada di depan beliau sambil membaca syair:

"Ya Rabb, kalau bukan karena Engkau, niscaya kami tidak akan mendapat petunjuk

Kami tidak akan bersedekah dan shalat

Maka turunkanlah ketenangan kepada kami

Dan teguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang

Sesungguhnya, orang-orang yang telah berbuat aniaya terhadap kami,

Bila mereka membuat fitnah, kami akan meladeninya."

Kaum muslimin sering mengulang-ulang syair-syairnya yang indah. Penyair yang produktif ini sangat berduka ketika turun ayat Al-Qur'an yang mulia:

"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat." (Asy-Syu'ara': 224) [Asy-Syu'ara' salah satu nama surat dalam Al-Qur'an yang artinya para penyair, -peny. ]

Tetapi, kedukaannya jadi sirna ketika turun pula ayat lainnya:

"Kecuali orang-orang (para penyair) yang beriman dan berbuat kebajikan dan banyak mengingat Allah serta mendapatkan kemenangan setelah terzalimi (karena menjawab syair-syair orang-orang kafir)." (Asy-Syu'ara': 227)

Ketika Islam harus terjun ke medan perang karena membela diri, Abdullah bin Rawahah tampil membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah, dan Khaibar. Dalam semua peperangan itu ia selalu menjadikan bait-bait syair dan kasidahnya sebagai slogan perjuangan:

"Wahai jiwa, seandainya engkau tidak mati terbunuh, engkau pasti akan mati juga."

Dalam setiap peperangan, ia selalu meneriakkan kepada orang-orang musyrik, “Menyingkirlah, wahai anak-anak kafir dari jalan-Nya. Menyingkirlah kalian. Karena setiap kebaikan itu ada di tangan Rasul Nya".

Pada Perang Mu'tah Abdullah bin Rawahah menjadi panglima yang ketiga dalam pasukan Islam, sebagaimana telah kita ceritakan dalam riwayat Zaid dan Ja'far. Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukan Islam yang akan berangkat meninggalkan Madinah. Ia tegak sejenak lalu mengucapkan syairnya:

"Aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengasih

Pukulan yang menakutkan dan mencerai beraikan

Atau tusukan dengan tombak di tanganku yang membuat musuh limbung

Menembus dada dan jantung

Hingga dikatakan, bila mereka melewati mayatku,

'Wahai prajurit perang yang dibimbing oleh Allah, DIA memang telah memimpinmu'."

Benar, itulah cita-citanya dan tiada yang lain; pukulan pedang, tusukan tombak yang akan mengantarkan ke alam kesyahidan dan orang-orang yang beruntung.

Tentara Islam bergerak maju ke medan Perang Mu'tah. Ketika orang-orang lslam telah dapat melihat pasukan musuh dari kejauhan, mereka memperkirakan jumlah tentara Romawi itu sekitar 200 ribu orang. Barisan tentara mereka seolah-olah tidak ada ujung akhir dan tidak terhitung banyaknya. Kaum muslimin terdiam ketika melihat jumlah mereka sendiri yang sedikit.

Sebagian di antara mereka berkata, "Sebaiknya, kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar itu, agar kita mendapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuh."

Tetapi, Ibnu Rawahah bangkit di antara barisan pasukannya bagaikan fajar yang menyingsing dan berkata. “Wahai orang-orang, demi Allah, kita tidak berperang melawan musuh-musuh kita selain karena mempertahankan agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah. Karena itu majulah kalian! Karena itu adalah salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau kesyahidan."

Kaum muslimin yang sedikit kuantitasnya, tetapi besar kualitas imannya itu menyambut seruannya. Mereka berteriak, "Sungguh, demi Allah, apa yang dikatakan Ibnu Rawahah itu benar."

Akhirnya, pasukan Islam terus bergerak ke tempat tujuannya, dengan Jumlah yang jauh lebih sedikit dan akan menghadapi musuh yang berjumlah 200 ribu yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada bandingannya. Kedua pasukan itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya, sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya. Komandan perang pertama, Zaid bin Haritsah, gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja'far bin Abu Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kebesaran, dan menyusul pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Kala itu ia memungut panji perang dari tangan kanan Ja'far, saat peperangan sudah mencapai puncaknya.

Pasukan Islam yang kecil itu hampir saja tersapu musnah di antara pasukan-pasukan Romawi yang datang bergelombang laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius. Ketika bertempur sebagai seorang prajurit, Ibnu Rawahah menerjang ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu. Sekarang, setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, seolah-olah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya ketika ia melihat kehebatan tentara Romawi. Tetapi, saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekuatannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:

"Aku telah bersumpah wahai diri, engkau harus turun ke medan laga

Tapi, mengapa kulihat, engkau menolak surga

Wahai diri, bila engkau tidak tewas terbunuh, engkau pun pasti mati juga

Inilah kematian sejati yang sejak lama engkau nanti

Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini

Jika engkau ikut jejak keduanya, engkau berada dalam petunjuk."

Dua orang yang telah mendahuluinya mencapai kesyahidan adalah Zaid dan Ja'far.

Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi. Kalau tidaklah takdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke surga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi, lonceng tanda berangkat sudah berdenting, yang memberitahukan awal perjalanannya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai seorang syahid.

Jasadnya jatuh terbujur di bumi, tetapi ruhnya yang suci tersenyum naik menghadap Dzat Yang Maha Pengasih lagi Mahatinggi, dan tercapailah puncak idamannya seperti dalam senandungnya:

"Hingga dikatakan, bila mereka melewati mayatku,

Wahai prajurit perang yang dibimbing oleh Allah, DIA memang telah memimpinmu."

Benar, wahai Ibnu Rawahah. Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah.

Saat pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa' di Syam, Rasulullah sedang duduk beserta para sahabat di Madinah, sambil memperbincangkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua mata, untuk melepas air mata yang jatuh disebabkan rasa duka dan kasih sayang.

Dengan pandangan baru yang tertuju ke wajah para sahabat, beliau bersabda, "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur sambil membawa panji itu hingga ia gugur sebagai syahid. Kemudian panji perang diambil alih oleh Ja'far, dan ia bertempur pula mempertahankan panji tersebut hingga gugur syahid pula." Beliau berdiam sebentar, lalu meneruskan sabdanya, "Kemudian panji perang diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia bertempur membawa panji itu, sampai akhirnya ia pun gugur syahid."

Kemudian Rasul diam sejenak, sementara mata beliau memancarkan cahaya kegembiraan, ketenteraman dan kerinduan, lalu bersabda, “Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku, ke surga."

Perjalanan mana lagi yang lebih mulia daripada itu? Kesepakatan mana lagi yang lebih bahagia daripada itu? Mereka maju ke medan laga bersama-sama, dan naik ke surga bersama-sama pula. Penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenang jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasulullah yang berbunyi, “Mereka telah diangkatkan ke tempatku, ke surga." []

No comments: