adsense

May 01, 2020

Umair bin Sa'ad _Tokoh Istimewa Satu-satunya_LELAKI-LELAKI DI SEKITAR ROSULULLOH (Bagian ke 38)

Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala


Apakah kalian masih ingat kisah tentang Sa'id bin Amir? Dialah sosok yang zuhud, ahli ibadah, selalu mendekat kepada Allah.

Dengan semua karakternya itu, Amirul Mukminin Umar menyatakan dirinya layak menerima kepemimpinan wilayah Syam. Kita telah membicarakan tentang dirinya di buku ini dan kita menyaksikan kezuhudan, keunggulan, dan semua sifat yang menakjubkan lainnya.

Sekarang, pada lembaran-lembaran ini kita akan bertemu dengan saudara atau bisa dikatakan saudara kembarnya, baik dalam kewaraan, kezuhudan, keunggulan, maupun keagungan jiwa yang jarang ada tandingannya. Dialah Umair bin Sa'ad. Kaum muslimin memberinya gelar “Tokoh unik satu-satunya". Memang pantas bila gelar ini diberikan secara bulat oleh para sahabat Rasul yang sama-sama mempunyai kelebihan, pemahaman, dan cahaya kebenaran.

Ayah Sa'ad yang merupakan seorang Qari' turut serta dalam Perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya bersama Rasulullah, dan setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui Allah saat gugur syahid di Pertempuran Qadisiyah. Ia membawa anaknya ketika datang menjumpai Rasulullah untuk berbaiat dan masuk Islam.

Sejak Umair memeluk Islam dan menjadi ahli ibadah yang menetap dalam kedekatan dengan Allah, ia meninggalkan segala kemewahan dan pergi bernaung ke bawah ketenangan naungan Nya.

Anda akan kesulitan menemukannya di barisan pertama, kecuali pada jamaah shalat, karena dalam persoalan ini ia selalu memburu dan bercokol di shaf pertama untuk mengejar pahala orang-orang yang lebih dahulu kepada kebaikan. Atau, di medan jihad, karena dalam hal ini ia selalu bergegas mengejar barisan terdepan. Ia selalu mendambakan gugur syahid.

Selain dari dua itu, ia tekun memperbaiki diri dengan mengembangkan amal kebaikan, kedermawanan, keutamaan, dan ketakwaan. Ia sangat rajin ibadah yang selalu bermunajat kepada Rabbnya. Ia seorang yang cepat menyadari kesalahan dan sering menangisi dosanya. Ia selalu mencari jalan kembali kepada Allah dalam setiap perjalanan dan di setiap pemukiman.

Allah telah menjadikan hati para sahabat lainnya menaruh kasih sayang kepadanya, sehingga ia menjadi kesejukan bagi pandangan dan kesayangan bagi hati mereka. Semua itu karena kekuatan iman, kebersihan jiwa, ketenangan jalan hidup, kemuliaan akhlak, dan kecemerlangan penampilannya, yang memancarkan kegembiraan dan kenangan bagi setiap orang yang bergaul dengannya atau melihatnya. Tidak seorang pun atau sesuatu yang lebih diutamakan olehnya melebihi agamanya.

Suatu hari, ia mendengar Jullas bin Suwaid bin Ash-Shamit, yang merupakan kerabatnya, saat sedang berada di rumahnya, mengatakan, "Seandainya laki-iaki ini benar, kita ini tentu lebih jelek daripada keledai." Laki-laki-laki yang mereka maksud ialah Rasulullah. Jullas sendiri termasuk di antara orang-orang yang memeluk Islam didorong oleh rasa takut pada waktu itu.

Ketika Umair bin Sa'ad mendengar kata-kata tersebut, timbullah kemarahan dan kebingungan dalam hatinya yang biasa tenang dan tenteram itu. Kemarahan itu disebabkan oleh seorang yang telah mengaku menganut Islam berani merendahkan Rasul dengan kata-kata yang keji itu, sedangkan kebingungan itu timbul karena pikirannya berjalan cepat oleh perasaan tanggung jawabnya terhadap apa yang telah didengarnya dan tidak dapat diterimanya.

Apakah ia akan menyampaikan apa yang telah didengarnya itu kepada Rasulullah? Bagaimana caranya, padahal ia harus bersifat jujur dalam menyampaikannya? Atau, apakah ia akan berdiam diri saja lalu memendam semua yang didengarnya di dalam dada? Bagaimana dan di mana letak loyalitas dan kesetiaan terhadap janji kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan? Tetapi, kebingungannya tidaklah berjalan lama karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar dari persoalannya.

Umair langsung berubah menjadi seorang laki-laki perkasa dan orang beriman yang hanya takut kepada Rabb-nya. Ia menatap Jullas bin Suwaid, sembari berkata, “Demi Allah, wahai Jullas, engkau adalah orang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan. Sungguh, engkau telah melontarkan sesuatu ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya darimu, niscaya akan menyakitkan hatimu. Tetapi, andainya kubiarkan saja kata-kata itu, tentu agamaku akan binasa padahal hak agama itu lebih utama ditunaikan. Karena itu, aku akan menyampaikan apa yang kudengar darimu kepada Rasulullah."

Demikianlah, Umair benar-henar telah memenuhi keinginan hatinya yang saleh. Pertama, ia telah menunaikan hak majelis sesuai dengan amanah, dan dengan jiwanya yang besar membebaskan diri dari peran sebagai orang yang hanya mendengarkan saja kata orang tanpa mengingatkan. Kedua, ia telah menunaikan hak agamanya yaitu dengan menyingkap sifat kemunafikan yang meragukan. Ketiga, ia telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas kekeliruannya, yakni ketika secara terus terang mengatakan kepadanya, bahwa persoalan itu akan disampaikan kepada Rasulullah. Seandainya ia mau bertaubat dan memohon ampun, hati Umair akan lega karena tidak perlu lagi mengadukan kata-kata itu kepada Rasulullah.

Hanya saja, Jullas justru merasa mulia dengan dosa yang ia lakukan dan kedua bibirnya tidak bergerak sama sekali untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf. Akhirnya Umair meninggalkan mereka sambil berkata, "Aku benar-benar akan menyampaikan kata-katamu itu sebelum wahyu turun yang menyatakan diriku bersekutu denganmu dalam dosamu."

Setelah mendapat laporan dari Umair, Rasulullah mengutus seseorang untuk mencari Jullas. Namun, setelah Jullas dihadapkan ia mengingkari kata-katanya, bahkan ia mengangkat sumpah palsu atas nama Allah. Tetapi, ayat Al-Qur'an telah datang untuk memisahkan antara yang hak dan yang batil:

"Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti Muhammad). Sungguh, mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidaklah mencela (Allah dan Rasul-Nya) sekiranya Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka; dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di bumi." (At-Taubah: 74)

Dengan turunnya ayat tersebut, Jullas terpaksa mengakui kata-katanya, dan meminta ampun atas kesalahannya, apalagi ketika ia memperhatikan ayat yang mulia itu menyatakan kehinaan baginya. Namun, dalam waktu yang sama juga menjanjikan rahmat, seandainya ia mau bertaubat dan mencabut kata-katanya, "Bila mereka bertaubat, itulah yang lebih baik untuk mereka."

Tindakan Umair tersebut ternyata menjadi jalan perantara kebaikan dan keberkahan bagi Jullas, karena ia akhirnya bertaubat dan setelah itu keislamannya menjadi baik. Nabi memegang telinga Umair dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian, "Hai anak muda, telingamu telah menepati janji dan Rabbmu membenarkan tindakanmu."

Kalian pasti tahu bahwa Amirul Mukminin Umar selalu berhati hati memilih para gubernurnya, seolah-olah ia memilih orang-orang yang sama kualitasnya dengan dirinya. Ia selalu memilih orang-orang yang zuhud, wara', terpercaya, dan jujur, yakni mereka yang tidak mengejar pangkat atau kedudukan, bahkan tidak hendak menerima jabatan tersebut, kecuali karena Amirul Mukminin memaksanya untuk menjabatnya.

Sekalipun pandangan Umar sangat tajam dan pengalamannya luas, dalam memilih gubernur dan pembantu utamanya ini ia selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti. Umar selalu mengulang-ulang ungkapannya yang mengesankan:

“Aku menginginkan seorang laki-laki yang bila ia berada dalam suatu kaum ia tampak seperti seorang amir meskipun sebenarnya ia seorang rakyat biasa, dan bila ia berada di antara mereka sebagai seorang amir, ia tampak seperti rakyat biasa. Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia kebanyakan dalam soal pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Ia menegakkan shalat di tengah-tengah mereka, membagi di antara mereka dengan benar (ketika sedang membagi), memutuskan dengan adil di antara mereka, dan tidak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan mereka."

Berdasarkan standar yang ketat tersebut, suatu hari ia memilih Umair bin Sa'ad untuk menjadi gubernur di Homs (Suriah). Umair berusaha menolak dan menghindar dari jabatan tersebut, tetapi sia-sia karena Amirul Mukminin tetap mengharuskan dan memaksanya agar menerima.

Umair pun memohon petunjuk kepada Allah dengan shalat istikharah, dan kemudian melaksanakan amanah yang dibebankan di pundaknya. Namun, setelah masa jabatannya di Homs berjalan setahun tidak ada hasil pajak (barangkali maksudnya jizyah: semacam upeti yang ditarik oleh pemerintah Islam kepada kaum kafir dzimmi, yakni non muslim yang menjadi warga negara islam. Sebagai imbalannya kaum kafir dzimmi mendapatkan jaminan atas hak-hak mereka sebagai warga negara, di antaranya ialah hak perlindungan. Adapun pajak, ia tidak dikenal dalam sistem negara Islam, bahkan dalam kondisi normal ia haram diberlakukan, -peny. ) yang sampai ke Madinah. Bahkan, tidak ada sepucuk surat pun yang datang kepada Amirul Mukminin darinya. Karena itu, Amirul Mukminin memanggil penulisnya, dan mengatakan. "Tulislah surat kepada Umair agar ia datang menjumpai kita."

Nah, di sini saya ingin meminta izin kepada kalian semua --para pembaca-- untuk melaporkan gambaran pertemuan antara Umar dan Umair, sebagaimana yang terdapat dalam buku saya yang berjudul Baina Yaday Umar, sebagai berikut:"

Suatu hari jalan-jalan Madinah menyaksikan seorang Iaki-laki dengan rambut kusut dan tubuh berdebu. Ia diliputi kelelahan karena berjalan jauh. Langkahnya seolah-olah terlepas dari tanah disebabkan lamanya kepayahan dalam perjalanan, dan tenaganya yang sudah habis terkuras. Di atas pundak kanannya terdapat ransel dan sebuah mangkuk, sedangkan di pundak kirinya tergantung kantong kecil berisi air. Ia berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, yang tidak akan terasa berat bila dibawa oleh orang yang kurus dan lemah.

Ia menghampiri majelis Umar dengan langkah yang gontai, lalu mengucapkan, "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, wahai Amirul Mukminin."

Umar membalas salamnya kemudian menanyainya. Hatinya sedih melihatnya dalam keadaan payah dan letih itu.

“Apa kabarmu, wahai Umair?"

“Keadaanku seperti yang engkau lihat sendiri. Bukankah engkau melihatku berbadan sehat dan berdarah bersih, dan dunia di tanganku yang dapat kukendalikan semauku?”

"Apa yang engkau bawa itu?"

“Aku membawa ransel, mangkuk tempat aku makan, kantong kecil tempat air minum dan wudhu, serta tongkat untuk menahan tubuh dan guna melawan musuh jika datang menghadang. Demi Allah, dunia ini tidak lain hanyalah pengikut bagi bekal kehidupanku."

"Apakah engkau datang dengan berjalan kaki?"

“Benar."

"Apa tidak ada orang yang mau memberikan tunggangannya untuk engkau kendarai?"

“Mereka tidak menawarkan dan aku tidak pula memintanya."

"Apa yang engkau lakukan mengenai tugas yang kami berikan kepadamu?"

"Aku telah mendatangi negeri yang engkau titahkan itu. Orang-orang saleh di antara penduduknya telah kukumpulkan. Aku mengangkat mereka sebagai pengurus pemungutan pajak dan kekayaan negara. Bila telah terkumpul, aku mendistribusikan kembali pada tempatnya yang wajar untuk kepentingan mereka. Kalau ada kelebihan, tentu aku sudah mengirimkannya ke sini."

"Kalau begitu engkau tidak membawa apa-apa untuk kami?"

“Tidak."

Dengan perasaan takjub dan bahagia, Umar menyatakan, “Tulislah perpanjangan masa jabatan bagi Umair!"

Namun, Umair benar-benar tidak membutuhkan jabatan itu dan menjawab, "Masa itu telah berlalu. Aku tidak ingin menjadi pegawaimu lagi, atau pejabat sepeninggalmu."

Cerita ini bukanlah skenario yang kami atur sendiri, dan bukan pula cerita yang dibuat-buat, melainkan benar-benar peristiwa sejarah yang pada suatu masa pernah disaksikan oleh Bumi Madinah selaku ibu kota Islam, pada saat kejayaan dan kebesarannya. Kalau begitu, termasuk tipe golongan manakah tokoh-tokoh utama dan luar biasa itu?

Umar selalu berharap dan mengatakan, "Aku sangat menginginkan mempunyai beberapa orang laki-laki seperti Umair yang akan menjadi pegawaiku untuk melayani kaum muslimin.” Hal itu karena Umair yang dilukiskan oleh para sahabatnya dengan jujur itu merupakan tokoh unik yang tiada duanya.

Umair telah meningkat naik dan dapat mengatasi kelemahan dirinya selaku manusia ketika berhadapan dengan materi dan kehidupan kita yang penuh dengan duri ini. Ketika ia harus melaksanakan pemerintahan dan kepemimpinan, kedudukannya yang tinggi itu hanya semakin menambah kewaraan orang suci ini semakin berkembang dan cemerlang.

Ketika ia menjabat sebagai gubernur di Homs, ia telah melukiskan tugas-tugas seorang kepala pemerintahan Islam dalam untaian kata-kata yang selalu diutarakannya untuk menggembleng kaum muslimin dari atas mimbar. Kata kata itu adalah:

"Ketahuilah bahwa Islam mempunyai dinding yang kuat dan pintu yang kokoh. Dinding Islam itu ialah keadilan, sedangkan pintunya ialah kebenaran. Apabila dinding itu telah dirobohkan, dan pintunya telah didobrak, Islam pun akan dikalahkan. Islam akan senantiasa kuat selama pemerintahannya kuat. Kekuatan penguasa tidak terletak pada pukulan pedang dan sabetan cambuk, melainkan terletak dalam keputusan hukum yang benar dan penegakan keadilan.”

Sekarang, kita akan memberikan salam perpisahan kepada Umair dengan penuh penghormatan dan kekhusyukan.

No comments: