adsense

May 28, 2016

Imam al-Ghazali tentang Kekuasaan dan Memilih Pemimpin

Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat

Oleh: Kholili Hasib
HUJJATUL  Islam Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama.

Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulamapun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.

Usaha-usaha perbaikan politik yang di lakukan Imam al-Ghazali dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar kepada ulama sekaligus kepada penguasa. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat.

Imam al-Ghazali sangat berkomitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam, karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.

Imam al-Ghazali pun telah menunjukkan dirinya sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang, yang disegani dan diterima oleh para pejabat negara serta para ulama lain pada zamannya.

Kepada pemimpin negara, ia memberi nasihat bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan adab untuk kemaslaha- tan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan syariah.

Pikiran-pikiran utama Imam al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam Kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk.

Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syah dari dinasti Saljuk. Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar.
Pertama, Imam al-Ghazali memprioritas kan pada kekuatan akidah tauhid. Kedua, berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama.

Dalam awal naskah nasihatnya, Imam al-Ghazali memulai dengan kaidah-kaidah Iman. Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa penguasa tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah Subhanahu Wata’ala). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah Subhanahu Wata’ala.

Allah memberi amanah kepada Sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub bab Kitabnya, al-Ghazali menulis tentang Ke-Esaan-Nya;tiada satu pun yang menyamai-Nya. Al-Ghazali mengingatkan tentang akhirat dan tugas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.

Peduli politik
Meskipun menulis banyak hal pada masalah tashawuf dan berkonsentrasi di pesantrennya sendiri yang jauh dari Ibu Kota Baghdad, Imam al-Ghazali tetap sangat peduli dengan jalannya kekuasaan. Ia selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.

Nasihat-nasihat imam al-Ghazali itu sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal 11).

Selanjutnya di pembahasan berikutnya dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali memulai dengan penjelasan tentang adab dan etika seorang pemimpin.Yang per tama-tama harus dipahami, menurut Imam al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya ? Jika tidak amanah.

Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka, apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui ha kikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kekuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu Wata’ala.

Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu Wata’ala sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahaya seorang pemimpin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah mengingatkan, bahwa seorang pemimpin harus memper hatikan tiga perkara. Pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka. Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil. Ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al- Muluk, hal. 4).

Peran Ulama
Karena itu, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Su‘ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai “ulama al-akhirah“), sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.

Dari usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang orang-orangnya memiliki basis Islam yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.

Setelah seorang pemimpin memiliki worldview Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling ber- musuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).

Seorang raja haruslah rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al- Ghazali bahkan berfatwa bahwa men- datangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik dari- pada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat.
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, diantaranya: mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).

Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam dalam menentu kan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian sia sat perang, dan kemampuan intelektual untuk meng atur kemaslahatan rakyat.

Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampak- nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan pan- dangan dasar tentang iman.

Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.

Sedangkan adab menjadi penting ka rena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang mema hami dan menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus ber upaya meningkatkan setiap aspek da lam dirinya menuju kesempurnaan manusia.

Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai imam al-Ghazali pada masa itu. Tan ta ngan perang pemikiran dan degradasi moral.

Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.

Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam teori kenegaraannya–mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan di pimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan ak hirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi,sedangkan pemerintahan adalah penjaga.*

Penulis penelitis Inpas dan INSISTS. Tulisan sebelumnya sudah dimuat di Jurnal Islamia Republika hari Kamis 20/03/2014

No comments: