Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala
Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, dan membentak, 'Apa urusanmu dengan ini. kembalilah bekerja? Aku pun kembali bekerja.
Setelah hari petang, aku mengumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar untuk menemui Rasulullah di Quba'. Aku menjumpai beliau ketika sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu berkata kepadanya, 'Tuan tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kuniatkan untuk sedekah. Setelah mendengar keadaan tuan-tuan, aku berpikir bahwa tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini.’ Aku pun meletakkan makanan itu di hadapan beliau.
"Makanlah dengan menyebut nama Allah,” sabda Rasulullah kepada para sahabatnya. Tetapi, beliau tidak mengulurkan tangannya untuk menjamah makanan itu. Aku berkata dalam hati, 'Demi Allah, inilah satu dari tanda-tandanya, ia tidak mau memakan harta sedekah.'
Setelah itu aku pulang dan keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah sambil membawa makanan. Aku berkata kepadanya, 'Aku melihat tuan tidak sudi memakan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah.' Kemudian aku meletakkan makanan itu di hadapan beliau. “Makanlah dengan menyebut nama Allah," sabda beliau kepada sahabat, dan beliau pun turut makan bersama mereka. Aku kembali berbisik dalam hati, 'Demi Allah, inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.'
Setelah itu aku pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian aku pergi mencari Rasulullah dan berjumpa di Baqi', saat sedang mengiring jenazah dan dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Beliau memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
Aku mengucapkan salam kepada beliau dan kemudian menyejajarkan tubuhku di dekat beliau untuk melihat bagian atas punggungnya. Ternyata beliau memahami keinginanku dan menyingkap kain burdah beliau dari lehernya hingga tampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian seperti disebutkan oleh pendeta dulu. Aku pun langsung membalikkan badan dan menciuminya sambil menangis.
Kemudian Rasulullah & memanggilku. Aku duduk di hadapan beliau dan menceritakan kisahku seperti yang telah kuceritakan tadi. Kemudian aku masuk islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai Perang Badar dan Uhud.
Suatu hari, Rasulullah bersabda kepadaku, ”Mintalah kepada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan! Aku pun meminta kepada majikanku agar aku dibebaskan sebagaimana dititahkan oleh Rasulullah, sedangkan beliau menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam persoalan keuangan. Akhirnya, aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam Perang Khandaq dan peperangan selanjutnya.”
Dengan kalimat kalimat yang jelas dan menyejukkan, Salman menceritakan kepada kita upaya dan perjuangan suci nan mulia dan agung untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada agama Allah Ta'ala dan menjadi jalan hidup terakhir yang harus ditempuhnya.
Nah, manusia ulung seperti apakah sebenarnya dia? Keistimewaan apakah yang mampu mengangkat jiwanya yang agung dan melecut kemauannya yang keras untuk mengatasi segala kesulitan dan mengubah sesuatu yang mustahil menjadi mungkin baginya? Kehausan dan kecintaan terhadap kebenaran seperti apakah yang telah menyebabkan Salman rela meninggalkan kampung halaman beserta harta benda dan segala macam kesenangan? Dia harus menempuh daerah yang belum dikenal dengan segala halangan dan beban penderitaan dan pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain, tidak kenal letih atau lelah di samping tidak lupa beribadah secara tekun.
Pandangannya yang tajam selalu memperhatikan hikmah yang ada pada manusia, kehidupan dan jalan hidup mereka yang berbeda, dan tujuannya yang utama tidak pernah menyimpang dari semula, yang tiada lain adalah mencari kebenaran. Pengorbanan yang mulia ia lakoni demi mencapai hidayah Allah, bahkan ia pernah dijual sebagai budak. Akhirnya, Allah menganugerahkan ganjaran yang setimpal kepadanya hingga dipertemukan dengan kebenaran (Islam) dan dengan Rasul-Nya, lalu dikaruniai usia lanjut, hingga ia dapat menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah berkibaran di seluruh pelosok dunia, sementara umat Islam mengisi ruangan dan sudut-sudutnya dengan hidayah dan petunjuk Allah serta dengan kemakmuran dan keadilan.
Apa yang kita harapkan akan terjadi pada keislaman seorang tokoh yang tulus dan bertekad baja seperti itu? Sungguh, keislaman Salman adalah keislaman orang-orang utama dan takwa. Orang orang menyerupakan Salman dengan Umar bin Al-Khatthab dalam hal kecerdasan, kesahalaan, dan kebebasan dari pengaruh dunia.
Ia pernah tinggal bersama 'Abud Darda' di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Abud Darda' telah terbiasa beribadah pada waktu malam dan puasa pada waktu siang. Salman melihatnya terlalu berlebihan dalam beribadah. Suatu hari Salman bermaksud mencegah niat Abud Darda' untuk berpuasa sunnah esok hari. Namun, Abud Darda' justru berkata, “Apakah engkau hendak melarangku berpuasa dan shalat karena Allah?"
Salman menjawab, “Kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Berpuasalah dan (jangan lupakan hak untuk) berbukalah, shalatlah dan (jangan lupakan jatah untuk) tidurlah."
Ketika peristiwa itu sampai ke pendengaran Rasulullah, beliau bersabda, "Salman telah kenyang dengan ilmu."
Rasulullah sendiri sering memuji kecerdasan Salman serta ketinggian ilmunya. sebagaimana beliau memuji akhlak dan agamanya. Pada waktu Perang Khandaq, kaum Anshar berdiri dan berkata, "Salman dari golongan kami." Kaum Muhajirin pun juga bangkit dan berkata, "Tidak, ia dari golongan kami." Rasulullah pun memanggil mereka semua dan bersabda, “Salman adalah bagian dari kami, Ahlul Bait.”
Saiman memang layak mendapatkan kehormatan itu. Ali bin Abu Thalib menggelari Salman dengan sebutan "Luqman Al-Hakim". Ketika Salman telah wafat, Ali ditanya tentang pemberian gelar itu. Ia menjawab, “la adalah seorang yang berasal dari kami dan kembali kepada kami, Ahlul Bait. Siapa di antara kalian yang menyamai Luqman Al-Hakim (maksudnya, Salman)? Ia telah dikaruniai ilmu yang pertama dan juga ilmu yang terakhir. Ia telah membaca kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Ia bagaikan lautan yang airnya tidak pernah kering."
Salman telah mendapatkan kedudukan mulia dan derajat utama di dalam hati semua sahabat. Pada masa kekhalifahan Umar, Salman datang berkunjung ke Madinah. Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum pernah dilakukannya kepada siapa pun juga. Umar mengumpulkan para sahabat dan menghimbau dengan seruan, "Marilah kita pergi menyambut Salman." Kemudian Umar keluar bersama mereka menuju pinggiran Madinah untuk menyambutnya.
Sejak bertemu dan beriman kepada Rasulullah, Salman hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu berbakti. Ia mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar, kemudian masa Amirul Mukminin Umar, lalu masa Khalifah Utsman, dan pada masa inilah ia kembali ke hadirat Rabbnya.
Pada tahun-tahun kejayaan umat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tidak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan, baik sebagai fa'i maupun jizyah, untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu memberikan gaji dan tunjangan
tetap. Ketika itu banyak tanggung jawab pemerintahan di semua tingkatannya, sehingga banyak pula pekerjaan dan peluang jabatan sebagai konsekuensi logisnya.
Dalam kesempatan yang terbuka luas untuk meraih jabatan itu, di manakah kita dapat menemukan Salman? Di manakah kita dapat menjumpainya saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran terbentang itu? Bukalah mata Anda lebar-lebar!
Apakah Anda tidak melihat seorang tua berwibawa duduk di sana, di bawah naungan pohon sedang menjalin anyaman untuk dijadikan bakul atau keranjang? ltulah dia Salman! Perhatikanlah lagi dengan cermat! Perhatikanlah baik-baik jubahnya yang sangat pendek, sehingga hanya sampai sebatas lutut saja. ltulah dia, seorang tua yang berwibawa dan hidup dalam kesederhanaan meskipun banyak harta.
Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu setahun. Namun semua itu ia bagi-bagikan hingga habis. Ia menolakmeski hanya untuk mengambil satu dirham saja dan mengatakan, "Aku membeli bahan anyaman dengan uang satu dirham, lalu kuanyam dan kujual seharga tiga dirham. Satu dirham kuambil untuk modal lagi, satu dirham berikutnya untuk nafkah keluargaku, sedangkan satu dirham sisanya untuk sedekah. Seandainya Umar bin Al-Khatthab melarangku berbuat demikian, aku tidak akan berhenti!”
Lantas bagaimana dengan kita, wahai umat Rasulullah? Apa yang ada di pikiran kita tentang kehormatan manusia di mana saja dan kapan saja? Sebagian orang ketika mendengar kehidupan sebagian sahabat yang sangat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar, dan lain-lain, langsung berpikir bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana orang Arab mendapatkan ketenteraman hatinya dengan kesederhanaan. Nah, sekarang kita berhadapan dengan seorang putra Persia, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros.
Salman yang sedang kita ceritakan ini bukanlah dari golongan miskin atau bawahan. melainkan dari golongan kaya dan kelas tinggi. Mengapa sekarang (setelah memeluk Islam) menolak harta, kekayaan dan
kesenangan? Mengapa ia lebih memilih kehidupan bersahaja, tidak lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri?
Mengapa ia menolak jabatan? Ia lebih memilih menghindari dunia itu dan mengatakan, "Seandainya kamu bisa hidup dengan memakan tanah. asal tidak membawahi dua orang, maka lakukanlah!"
Mengapa ia menolak pangkat dan jabatan, dan mau menerima jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang? Kecuali dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia. Ia bersedia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih. Tetapi, mengapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan kepadanya secara padahal itu halal baginya?
Hisyam meriwayatkan dari Al Hassan dari Al-Hasan. “Tunjangan Salman sebanyak 5.000 setahun, namun ia berpidato di hadapan 30.000 orang dengan separuh mantelnya dijadikan alas duduknya dan separuh lagi untuk menutupi badannya. Jika tunjangannya datang la membagi-bagikannya sampai habis. Untuk makan, ia mengandalkan hasil usaha kedua tangannya. "
Mengapa itu jalan hidup yang ia pilih dan sangat zuhud dari keinginan dunia, padahal ia seorang putra Persia yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajal; kala ruhnya yang mulia telah bersiap siap untuk kembali menemui Rabbnya Yang Maha Tinggi lagi Maha Penyayang.
Sa'ad bin Abu Waqqash datang menjenguknya, maka Salman menangis. Sa'ad pun bertanya. "Apa yang engkau tangisi, wahai Abu Abdillah? Padahal. Rasulullah wafat dalam keadaan ridha kepadamu."
Salman menjawab, "Demi Allah, aku menangis bukan karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, melainkan karena Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, dalam sabdanya, 'Hendaklah bagian setiap kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara.' Padahal harta milikku begini banyaknya."
Sa'ad berkata sendiri, “Aku perhatikan, tidak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah wadah untuk bersuci."
Sa'ad lalu berkata kepadanya, "Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!"
Dia bertutur, “Wahai Sa'ad, ingatlah Allah tentang keinginanmu ketika engkau sedang berkehendak; tentang keputusanmu ketika engkau sedang memutuskan, dan tentang apa yang di tanganmu ketika engkau sedang membagi."
ltulah rupanya yang telah membuat hati Salman menjadi kaya dan puas. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, dan pangkat dengan segala pengaruhnya. Itulah pesan Rasulullah kepadanya dan kepada semua sahabatnya agar mereka tidak membiarkan dunia menguasai mereka dan tidak mengambil bagian darinya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.
Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir bila ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tidak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring makannya dan sebuah wadah untuk tempat minum dan wudhu. Meski demikian ia menganggap dirinya sebagai orang yang berharta banyak. Nah, bukankah telah kami ceritakan kepada Anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar?
Pada hari hari ia bertugas sebagai gubernur di Madain, keadaannya tidak sedikit pun berubah. Seperti yang telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai gubernur satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam, sedang pakaiannya tidak lebih dari sehelai mantel. Bajunya yang sudah tua itu berlomba dengan kesederhanaan dan kesahajaannya.
Suatu hari ketika ia sedang berjalan di suatu jalan, seseorang yang datang dari Syria menjumpainya. Orang itu membawa buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga membuatnya kelelahan. Ketika ia melihat Salman yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan miskin, orang itu hendak menyuruhnya membawa buah buahan dengan diberi imbalan atas Jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan.
Dia memberi isyarat supaya datang kepadanya dan Salman pun menurut dengan patuh. Orang dari Syria itu berkata, “Tolong bawakan barangku ini!" Barang itu pun dipikul oleh Salman, lalu mereka berdua berjalan bersama sama.
Di tengah perjalanan mereka berdua berpapasan dengan satu rombongan. Salman memberi salam kepada mereka, dan mereka pun berhenti dan menjawab, "Semoga keselamatan juga dilimpahkan kepada gubernur."
Orang dari Syria itu bergumam sendiri, “Semoga keselamatan juga dilimpahkan kepada Gubernur? Gubernur mana yang mereka maksudkan." Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman dengan maksud hendak menggantikannya. Mereka berkata, “Berikanlah kepada kami, wahai gubernur!"
Sekarang, orang Syria itu paham bahwa kulinya tiada lain adalah Salman Al Farisi. gubernur Madain. Orang itu pun sangat menyesal dan mengungkapkan permintaan maaf dari bibirnya. Ia mendekat untuk menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman menolak dan menggelengkan kepala sembari berkata, “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu."
Suatu ketika Salman pernah ditanyai orang, "Apa sebabnya Anda tidak menyukai jabatan sebagai gubernur " Ia menjawab, “Karena manis waktu memegangnya, tetapi pahit waktu melepaskannya!"
Kali lain, seorang sahabat memasuki rumah Salman, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka sahabat itu bertanya, “Ke manakah pelayan?" Ia menjawab, "Aku suruh untuk suatu keperluan, dan aku tidak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus."
Ketika kita hendak membicarakan tentang rumah Salman, hendaknya kita benar-benar ingat, bagaimana rumahnya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai rumah, Salman bertanya kepada tukangnya, "Bagaimana model rumah yang hendak Anda dirikan?"
Tukang bangunan ini adalah seorang arif dan bijaksana. Ia mengetahui kesederhanaan dan sifat Salman yang tidak suka bermewah-mewah. Ia menjawab, “Jangan khawatir, rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung kala panas dan tempat berteduh kala hujan. Andainya Anda berdiri, kepala Anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika Anda berbaring, kaki Anda akan terantuk pada dindingnya." Salman pun berkata, "Benar, seperti itulah seharusnya rumah yang akan Anda bangun."
Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dianggap penting, bahkan telah dititipkan kepada istrinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman. Ketika dalam sakit yang berakhir pada ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, ia memanggil istrinya untuk mengambil titipannya dahulu. Ternyata, barang itu hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Ialula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi wangian pada hari wafatnya.
Kemudian ia menyuruh sang istri agar mengambil secangkir air. Salman menaburkan bubuk kesturi itu ke dalam cangkir dan mengaduknya dengan tangan, lalu berkata kepada istrinya, “Percikkanlah air ini ke sekelilingku. Sekarang telah hadir di hadapanku makhluk Allah yang tidak suka makanan, tetapi gemar wangi wangian."
Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya. “Tutupkanlah pintu dan turunlah!" Perintah itu pun diturut oleh istrinya. Tidak lama antara waktu itu dan istrinya kembali masuk, ruh yang beroleh berkah itu telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Dia telah mencapai alam yang tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan. Kerinduan untuk memenuhi janjinya, bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad, dengan kedua sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tokoh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama.
Salman...
Telah lama Salman menantikan itu dalam kerinduan dan dahaga Hari ini rindu itu telah terobati dan dahaga itu pun telah hilang Semoga ridha dan rahmatullah menyertainya.
No comments:
Post a Comment