Pahlawan yang akan kita bicarakan sekarang ini berasal dari Persia. Dari Persia ini pula agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mukmin yang tidak sedikit jumlahnya dan dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi yang tiada tanding, baik dalam keimanan, keilmuan, keagamaan, maupun persoalan keduniaan.
Salah satu keistimewaan dan keagungan Islam ialah, setiap Islam memasuki suatu negeri, maka dengan keajaiban luar biasa segala keahlian, kemampuan dan kejeniusan yang tersembunyi dari warga dan penduduk negeri itu dibangkitkan. Sehingga muncullah para filosof, dokter, ahli hukum, ahli astronomi, penemu, dan ahli matematika yang semuanya Muslim.
Ternyata bahwa tokoh-tokoh itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa awal perkembangan Islam penuh dengan orang orang jenius dalam segala bidang, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi satu agama, yakni Islam.
Rasulullah sendiri memang telah mengabarkan perkembangan yang penuh berkah dari agama ini, bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Rabbnya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui, bahwa suatu hari nanti tidak ada lagi baginya jarak pemisah tempat dan waktu, hingga sejauh mata memandang akan menyaksikan panji-panji Islam berkibar di seluruh muka bumi, serta di istana-istana para penduduknya.
Salman Al-Farisi sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu Perang Khandaq pada tahun 5 H. Awalnya, beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekkah untuk memobilisasi orang-orang musyrik dan membentuk pasukan gabungan untuk menghadapi Rasulullah dan kaum muslimin. Mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan mencabut akar agama baru ini.
Siasat dan taktik perang pun diatur secara licik. Tentara Quraisy dan Ghathafan akan menyerang kota Madinah dari depan, sedangkan Bani Quraizhah akan menyerangnya dari belakang barisan kaum muslimin sehingga mereka akan terjepit dari dua arah. Dengan demikian, mereka akan hancur lebur dan hanya tinggal kenangan saja.
Demikianlah suatu hari kaum muslimin tiba-tiba melihat kedatangan pasukan besar mendekat dan membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan Madinah. Kaum muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh Al Qur'an, dalam firman Allah:
_"Yaitu (ketika) mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu. Dan ketika penglihatan(mu) terpana dan hatimu menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu berprasangka yang bukan-bukan terhadap Allah."_ (QS. Al-Ahzab: 10)
Dua puluh empat ribu prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menyatroni kota Madinah dengan tujuan hendak mengepung dan melepaskan serangan penentuan agar mereka terbebas dari Muhammad, agama serta para sahabatnya.
Pasukan ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah dan kelompok-kelompok berkepentingan yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan penentuan bagi pihak musuh-musuh Islam, baik individu, kelompok, suku, maupun golongan yang memiliki kepentingan tersendiri.
Kaum muslimin menyadari bahwa mereka sedang dalam keadaan yang gawat. Rasulullah pun mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Mereka semua tentu saja setuju untuk melawan, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk melawan?
Ketika itulah, tampil seorang yang berbadan tinggi dan berambut lebat. Dialah orang yang disayangi dan dihormati oleh Rasulullah. Itulah dia Salman Al-Farisi. Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandangan meninjau sekitar Madinah, dan ternyata bahwa kota itu terlindungi oleh gunung dan bukit-bukit batu yang mengelilinginya. Namun, di sana terdapat juga daerah terbuka yang luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negerinya Salman telah mempunyai pengalaman luas tentang strategi dan siasat perang. Karena itu, ia mengajukan suatu usulan kepada Rasulullah, yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana tersebut adalah menggali parit sebagai perlindungan sepanjang daerah terbuka di sekitar Madinah.
Hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami kaum muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit. Ketika pasukan Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapan, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka sangka itu. Sehingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka hanya mendekam di kemah-kemah, tanpa daya untuk menerobos Madinah. Akhirnya, pada suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memorak porandakan kesatuan mereka.
Abu Sufyan pun memerintahkan anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka, dalam keadaan berputus asa serta menderita kekalahan pahit.
Pada waktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama dengan kaum muslimin. Mereka menggali tanah dengan penuh semangat. Tidak ketinggalan, Rasulullah juga membawa cangkul dan bekerja bersama mereka. Tidak disangka, di tempat penggalian Salman bersama rekan-rekannya, cangkul mereka terbentur oleh sebuah batu besar. Salman adalah seorang yang berperawakan besar dan bertenaga kuat. Sekali ayun, lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahkannya berkeping-keping. Tetapi, ia tidak berdaya menghadapi batu besar ini, sedangkan bantuan dari rekan rekannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.
Salman pergi menemui Rasulullah dan meminta izin untuk mengalihkan jalur parit dari garis semula, guna menghindari batu besar yang tidak tergoyahkan itu. Rasulullah pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tersebut. Setelah melihat batu itu, Rasulullah meminta cangkul dan menyuruh para sahabat agar mundur agar terhindar dari pecahan-pecahan batu itu nanti.
Rasulullah lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat cangkul itu. Beliau menghantamkan cangkul ke batu besar itu dengan sekuat tenaga, hingga batu itu pun terbelah dan dari celah-belahannya yang besar keluar percikan api yang tinggi dan menerangi.
Salman mengatakan, "Aku melihat percikan api itu menerangi pinggiran Madinah." Sementara itu, Rasulullah mengucapkan takbir, _"Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persia, dan dari percikan api tadi tampak olehku dengan nyata istana-istana Kerajaan Hirah dan kota-kota raja Persia. Sungguh, umatku akan menguasai semua itu."
Kemudian Rasulullah mengangkat cangkul itu kembali dan memukulkannya ke batu kali kedua. Fenomena yang sama terjadi lagi. Pecahan batu besar itu menyemburkan kilatan api yang tinggi dan menerangi. Rasulullah pun bertakbir kembali, _“Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana megahnya. Sungguh, umatku akan menguasainya."_
Kemudian beliau memukulkan cangkul itu untuk kali ketiga dan batu besar itu pun hancur lebur, serta menimbulkan kilatan api yang terang benderang. Rasulullah mengucapkan kalimat tahlil dan diikuti oleh kaum Muslimin. Rasulullah menceritakan kepada mereka bahwa beliau sekarang melihat istana-istana di Syria, Sana'a, dan daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Dengan keimanan penuh kaum muslimin pun serentak berseru. “Inilah Yang dijanjikan Allah dan Rasul Nya. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya."
Salman-lah yang mengajukan saran untuk membuat parit dan dia pula yang menemukan batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia yang akan terjadi di masa mendatang, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah. Ia berdiri di samping Rasulullah menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dia masih hidup ketika kabar gembira itu menjadi kenyataan. Ia sendiri melihat, mengalami dan merasakannya. Ia menyaksikan penaklukan kota-kota di Persia dan Romawi, istana di Sana‘a, Mesir, Syria, dan Iraq. Ia menjadi saksi seluruh penjuru bumi seakan berguncang keras oleh seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah dan petunjuk Allah.
Lihatlah. Salman sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang, sedangkan di negerinya nan jauh di Madain sana, teman-teman dekatnya sedang membicarakan petualangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia berpindah dari agama nenek moyangnya bangsa Persia menuju agama Nasrani dan terakhir jatuh ke pelukan agama Islam.
Sungguh, ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan merelakan dirinya jatuh ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya. Dalam pengembaraan mencari kebenaran itu ia pernah dijual di pasar budak, hingga akhirnya bertemu dengan Rasulullah dan beriman kepadanya. Semua itu dibahas oleh rekan rekannya di seberang sana.
Sekarang marilah kita dekati majelisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceritakannya:
“Aku berasal dari Asbahan warga suatu desa yang bernama li (Iayyan). Ayahku seorang kepala kampung di daerah itu, dan aku merupakan hamba Allah yang paling disayang olehnya. Aku sangat taat menjalani agama Majusi, hingga akhirnya diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki sebidang tanah. Suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani. Aku mendengar mereka sedang mengadakan “Kebaktian", lalu aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan.
Aku kagum melihat cara mereka beribadah. Aku berkata di dalam hati, 'Ini lebih baik daripada apa yang aku anut selama ini.' Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku serta tidak pula kembali pulang, hingga ayah mengirim orang untuk menyusulku. Karena agama mereka menarik perhatianku, aku menanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. Mereka menjawab. 'Dari Syria!
Ketika aku telah berada di hadapan ayahku, aku bercerita kepadanya, 'Aku tadi melewati suatu kaum yang sedang melakukan upacara peribadatan di gereja. Upacara mereka amat memikat hatiku. Aku merasa agama mereka lebih baik dari agama kita.' Setelah itu kami berdebat dan akhirnya kakiku diikat dan aku dipenjarakan.
Aku mengirim berita kepada orang-orang Nasrani bahwa aku telah menganut agama mereka. Aku juga berpesan bila rombongan dari Syria datang, aku hendaknya dikabari sebelum mereka kembali karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan.
Aku memutus rantai yang membelenggu kaki dan meloloskan diri dari penjara lalu bergabung dengan rombongan itu menuju Syria. Ketika telah tiba di tempat tujuan, aku menanyakan siapakah ahli dalam agama itu. Ada seseorang yang mengatakan kepadaku bahwa orang yang aku maksud adalah uskup, pemilik gereja. Aku pun mendatanginya dan menceritakan keadaanku.
Akhirnya aku tinggal bersamanya sebagai pelayan sekaligus melaksanakan ajaran mereka dan belajar. Namun uskup ini adalah sosok yang tidak baik dalam menjalankan ajaran agamanya. Pasalnya, ia mengumpulkan sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, namun ternyata disimpan untuk dirinya pribadi.
Kemudian uskup itu wafat. Orang-orang mengangkat orang lain sebagai gantinya, dan aku pikir tidak ada seorang pun yang lebih baik agamanya daripada uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tidak ada orang yang lebih kucintai sebelum itu daripada dirinya.
Tatkala ajalnya telah dekat, aku bertanya kepadanya, 'Seperti yang Anda ketahui, takdir Allah atas diri Anda telah dekat masanya. Apakah yang harus aku lakukan dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?’ Ia menjawab. 'Anakku, tidak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul.'
Ketika ia wafat, aku berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya. Aku menceritakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus aku ikuti. Ia pun menunjukkan kepadaku seorang saleh yang tinggal di Nashibln. Aku mendatanginya dan menceritakan keadaanku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Ketika ia telah mendekati ajalnya, aku menanyakan hal yang sama kepadanya. Aku diperintahkan olehnya agar menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di Amuria,‘ suatu kota yang termasuk wilayah
Romawi. Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya. Sebagai bekal hidup aku beternak sapi dan beberapa ekor kambing.
Saat ajal hampir menjemputnya aku pun menanyakan kepadanya. 'Siapakah yang engkau wasiatkan agar aku mengikutinya? Ia menjawab, 'Anakku, tidak ada seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayalcan engkau kepadanya. Tetapi, sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan sedekah, namun bersedia menerima hadiah, dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila engkau melihatnya. Engkau pasti mengenalinya. '
Suatu hari, suatu rombongan datang, lalu aku menanyakan dari mana asal mereka. Akhirnya aku mendapatkan jawaban bahwa mereka berasal dari Jazirah Arab, maka aku katakan kepada mereka, 'Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi sapi dan kambing-kambingku inii" Mereka menjawab, “Baiklah!
Akhirnya mereka membawaku ikut dalam perjalanan hingga sarnpai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di tempat itulah mereka menzalimi diriku. Mereka menjualku kepada seorang Yahudi. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku tidak benar.
Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga suatu hari datang seorang Yahudi Bani Quraizhah yang membeliku dari yang membeli diriku sebelumnya. Aku dibawanya ke Madinah dan demi Allah-baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal bersama orang Yahudi tersebut dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga tiba waktu Allah mengutus RasulNya lalu hijrah ke Madinah dan singgah di Bani Amr bin Auf di Quba'.
Suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sementara majikanku duduk di bawahnya, tiba-tiba seorang Yahudi saudara sepupunya datang menghampirinya dan mengatakan, 'Celakalah Bani Qailah! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba' yang datang dari Mekkah dan mengaku sebagai nabi.’
Demi Allah, tubuhku bergetar hebat seketika mendengar ucapan orang itu hingga pohon kurma itu bagai berguncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan berkata kepada orang tadi, 'Apa katamu? Ada berita apakah?
No comments:
Post a Comment