Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala
Seandainya ada orang yang dilahirkan di Surga dan dibesarkan dalam buaiannya hingga dewasa, lalu dikeluarkan ke dunia sebagai hiasan dan cahayanya, Ammar beserta ibunya Sumayyah dan Ayahnya, Yasir adalah beberapa orang di antara mereka. Namun, mengapa kita mengatakan "seandainya" dan mengumpamakan seperti itu, padahal keluarga Yasir benar-benar penduduk surga?
Ketika itu, Rasulullah bersabda, "Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah surga". Sabda beliau tersebut bukan hanya sebagai hiburan belaka, melainkan pengakuan atas kenyataan yang bisa dilihat dan menguatkan fakta yang disaksikan.
Ayahanda Ammar, Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya. Rupanya ia merasa kerasan dan cocok tinggal di Mekkah. Akhirnya ia bermukim di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah bin Al Mughirah. Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang budaknya yang bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari perkawinan yang penuh berkah ini, kedua suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.
Mereka masuk Islam lebih awal dan masuk dalam barisan orang-orang berbakti yang diberi petunjuk oleh Allah. Sebagai keniscayaan bagi orang-orang berbakti golongan awal yang masuk Islam, mereka pun harus menderita karena siksa dan kekejaman kaum kafir Quraisy.
Orang-orang Quraisy selalu mencari cari jalan agar kaum muslimin ditimpa kebinasaan. Seandainya orang yang beriman itu dari kalangan bangsawan dan berpengaruh, mereka menghadapinya dengan ancaman dan genakan. Salah satunya adalah Abu Jahal yang menggertak sebagian kaum muslimin dengan ungkapan “Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu, padahal mereka lebih baik daripada dirimu
Kami akan menguji sampai di mana ketabahanmu. Kami akan menjatuhkan kehormatanmu, merusak perniagaanmu, dan memusnahkan harta bendamu!”
Setelah itu, mereka melancarkan perang urat syaraf yang sangat sengit terhadap korban mereka. Namun, bila yang beriman itu dari kalangan penduduk Mekkah yang rendah martabatnya dan miskin, atau dari golongan budak, mereka mencambuk dan menyundut yang bersangkutan dengan api.
Keluarga Yasir termasuk ke dalam golongan yang kedua tersebut. Penyiksaan terhadap mereka diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah, dan Ammar dibawa ke padang pasir Mekkah yang sangat panas, lalu disiksa dengan berbagai bentuk kekejaman.
Penderitaan yang harus dialami oleh Sumayyah sangat memilukan, tetapi tidak akan kita uraikan secara luas sekarang ini. Pada kesempatan lain, insyaAllah kami akan menuturkan pengorbanan dan keteguhan hati yang ditunjukkan oleh Sumayyah bersama rekan-rekan seperjuangannya pada hari-hari yang bersejarah itu.
Cukuplah kita sebutkan sekarang-tanpa berlebih lebihan-bahwa Sumayyah yang gugur syahid itu telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh. Sejak awal hingga akhir, ia telah membuktikan kepada manusia suatu kemuliaan yang tidak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tidak pernah luntur. Suatu sikap yang telah menjadikannya sebagai seorang bunda kandung bagi orang-orang beriman setiap zaman, dan bagi orang-orang mulia sepanjang masa.
Rasulullah tidak lupa mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai ladang penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri. Hal itu memang telah menjadi kehendak Allah.
Agama baru, yakni agama Nabi Ibrahim yang lurus dan panji-panjinya hendak dikibarkan oleh Muhammad itu, bukanlah suatu gerakan reformaai dadakan dan temporer semata, melainkan suatu pedoman hidup bagi manusia beriman. Manusia beriman ini pun harus mewarisi agama itu beserta sejarahnya yang lengkap dengan kepahlawanan, perjuangan, dan pengorbanan.
Pengorbanan mulia yang luar biasa ini ibarat beton yang menguatkan agama dan akidah hingga menjadi keteguhan yang tidak akan pernah lapuk dan kekekalan yang tidak pernah usang. Ia juga menjadi teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggaan, dan kasih sayang. Ia adalah mercusuar yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat, kebenaran, dan kebesaran agama. Jadi, memang harus ada korban dan pengorbanan dalam agama Islam.
Makna ini telah dijelaskan oleh Al Qur'an kepada kaum muslimin, bukan hanya pada satu atau dua ayat. Allah berfirman:
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah beriman' dan mereka tidak diuji? " (Al-‘Ankabut: 2)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Ali 'Imran: 142)
"Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (Al-'Ankabut: 3)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu?" (At-Taubah: 16)
"Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang baik." (Ali 'Imran: 179)
_"Dan apa yang menimpa kamu ketika terjadi pertemuan ( pertempuran) antara dua pasukan itu adalah dengan izin Allah, dan agar Allah menguji siapa orang yang benar-benar beriman."& (Ali 'Imran: 166)
Seperti itulah Al Qur'an mendidik putra dan para pendukungnya bahwa pengorbanan merupakan esensi dan inti keimanan, dan bahwa kepahlawanan menghadapi kekejaman dan kekerasan dihadapi dengan kesabaran, keteguhan, dan pantang mundur, niscaya membentuk keutamaan iman yang cemerlang dan mengagumkan. Karena itu, saat sedang meletakkan dasar, memancangkan tiang, dan mengemukakan model panutan, agama Allah ini memperkokoh diri dengan pengorbanan dan membersihkan jiwa dengan tebusan, maka untuk kepentingan mulia ini terpilihlah beberapa orang putra, para pemuka, dan tokoh-tokoh utamanya untuk menjadi panutan sempurna serta teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang menyusul kemudian.
Sumayyah, Yasir, dan Ammar masuk dalam golongan yang diberkahi ini, menjadi orang terpilih dalam agama ini untuk memberikan pengorbanan, ketekunan dan keuletan sebagai pengisi lembaran kebesaran dan keabadian Islam. Sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa setiap hari Rasulullah berkunjung ke tempat penyiksaan keluarga Yasir, mengagumi ketabahan dan kepahlawanannya, sementara hati beliau yang mulia bagaikan hancur karena rasa kasihan saat menyaksikan mereka menerima siksa di luar batas kemanusiaan.
Suatu hari, ketika Rasulullah mengunjungi mereka, Ammar memanggilnya. “Wahai Rasulullah, siksa yang kami derita telah mencapai puncaknya." Rasulullah pun bersabda, "Bersabarlah, wahai Abu Al Yaqzhan. Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga."
Siksaan yang dialami oleh Ammar dilukiskan oleh para sahabat dalam beberapa riwayat. Amr bin Al Hakam menuturkan, “Ammar disiksa hingga tidak menyadari apa yang diucapkannya." Sementara Amr bin Maimun mengatakan, "Orang-orang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Rasulullah lewat di tempatnya lalu memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda, 'Wahai api, mendinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ammar, sebagaimana dulu kamu mendingin dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim'."
Meski sebesar itu siksaan yang dialami, Ammar tetap tidak berubah. Ia tetap teguh meski derita telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Puncak siksaan yang membuatnya benar-benar seperti binasa adalah ketika suatu hari tukang-tukang cambuk dan para algojo menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya. Mereka membakamya dengan besi panas. menyalibnya di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan mereka menenggelamkan ke dalam air hingga sulit bernafas dan kulitnya yang penuh dengan luka mengelupas.
Pada hari tersebut, ia telah tidak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat dan saat itulah orang-orang Quraisy mengatakan kepadanya, "Pujalah olehmu Tuhan-Tuhan kami!" Kemudian, mereka pun menuntunnya untuk mengucapkan kata-kata pujaan itu, sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.
Ketika ia siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar atas apa yang telah diucapkannya. Hatinya gundah dan terbayang di ruang matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, yang tidak dapat ditebus dan diampuni lagi. Saat itu juga ia dihantui oleh perasaan bersalah yang lebih menyiksa dirinya daripada siksaan yang ia terima dari orang-orang musyrik sebelumnya karena siksaan mereka itu tidak lebih daripada kenikmatan. Seandainya ia dibiarkan dalam tekanan perasaan berdosa itu beberapa jam saja, rasa bersalah itu niscaya akan membawa ajalnya.
Ammar dapat bertahan menanggungkan semua siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, karena jiwanya sedang berada pada kondisi puncak keimanan. Namun, sekarang ini, jiwanya yang merasa telah menyerah kalah, duka cita dan kekecewaannya hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan nyawanya. Tetapi, kehendak Allah Yang Maha-agung lagi Mahatinggi telah memutuskan agar peristiwa mengharukan itu berkesudahan dengan akhir yang sangat luhur. '
Tangan wahyu yang penuh berkah pun menjabat tangan Ammar, dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya, “Bangunlah, wahai pahlawan, tidak ada penyesalan atasmu dan tidak ada cacat." Ketika Rasulullah menemui sahabatnya itu sedang dalam kondisi menangis, beliau mengusap air mata itu dengan tangan beliau seraya bersabda, “'Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?"
“Benar, wahai Rasulullah,” jawab Ammar sambil meratap.
Rasulullah bersabda sambil tersenyum, “Jika mereka memaksamu lagi, tidak mengapa engkau mengucapkan seperti apa yang engkau katakan tadi." Setelah itu Rasulullah membacakan kepadanya ayat mulia:
"Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa)," (QS. An-Nahl: 106)
Ammar kembali diliputi oleh ketenangan. Siksaan yang menimpa tubuhnya bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa juga yang akan terjadi terjadilah. Ia tidak akan peduli. Hatinya berbahagia, keimanannya di pihak yang menang. Ucapan yang dikeluarkan secara terpaksa itu dijamin bebas oleh Al Qur'an, sehingga tidak ada lagi yang perlu dirisaukan.
Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa. hingga orang-orung yang menyiksanya merasa lelah dan bosan. Mereka bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang sangat kokoh.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, kaum muslimin tinggal bersama beliau di sana dan tidak lama kemudian masyarakat lslam terbentuk dan barisan mereka menjadi sempurna. Di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini, Ammar mendapatkan kedudukan yang tinggi. Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan Ammar kepada para sahabat. Rasulullah bersabda, "Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang punggungnya…"
Ketika terjadi perselisihan antara Khalid bin Al-Walid dan Ammar, Rasulullah bersabda, "Siapa yang memusuhi Ammar, ia akan dimusuhi Allah, dan siapa yang membenci Ammar, ia akan dibenci Allah.” Tidak ada pilihan bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain segera mendatangi Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta maaf.
Ketika Rasulullah bersama para sahabat mendirikan masjid di Madinah, yakni pada awal hijrah beliau ke sana, Ali menggubah sebuah bait syair yang didendangkan berulang-ulang dan diikuti oleh kaum muslimin yang sedang bekerja itu:
“Orang yang memakmurkan masjid nilainya tidak sama. Selalu bekerja dalam keadaan duduk maupun berdiri. Sedangkan pemalas lari menghindar tertidur di sana."
Waktu itu Ammar sedang bekerja di salah satu sisi bangunan. Ia juga turut berdendang dan mengulang-ulang bait syair itu dengan nada tinggi. Salah seorang menyangka bahwa Ammar bermaksud menonjolkan dirinya dengan nyanyian itu, hingga di antara mereka terjadi pertengkaran dan keluar kata-kata yang menunjukkan kemarahan. Mendengar itu Rasulullah murka, lalu bersabda, "Apa maksud mereka terhadap Ammar? Ia menyeru mereka ke surga, sedangkan mereka hendak mengajaknya ke neraka. Sungguh, Ammar tak ubahnya seperti diriku sendiri."
Jika Rasulullah telah menyatakan perasaan sayangnya terhadap seorang muslim demikian rupa, dapat dipastikan keimanan, kecintaan dan jasa orang itu terhadap Islam. Kebesaran jiwa, ketulusan hati, serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan.
Demikian halnya Ammar. Berkat nikmat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Berkat tingkatan petunjuk dan keyakinan yang telah dicapainya itu, Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai teladan bagi para sahabat. Beliau bersabda, “Ikutilah Abu Bakar dan Umar setelah kematianku nanti, dan ambillah petunjuk Ammar sebagai pelajaran."
Mengenai perawakannya, para ahli riwayat melukiskan bahwa ia bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya yang biru. Ia sangat pendiam dan tidak suka banyak bicara. Bagaimanakah sebenarnya kehidupan seorang pendiam yang bermata biru dan berdada lebar, serta tubuhnya penuh dengan bekas-bekas siksaan kejam ini, dan pada waktu yang bersamaan jiwanya telah ditempa dengan ketabahan yang sangat mengagumkan dan kebesaran yang luar biasa? Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh pengikut yang jujur, mukmin yang tulus, serta pejuang yang berani mati ini?
Ammar telah berjuang bersama Rasulullah yang merupakan gurunya dalam semua perjuangan bersenjata, baik Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk, maupun pertempuran lainnya. Ketika Rasulullah telah mendahuluinya untuk pergi ke Ar-Rafiq Al A'la, sosok berjiwa besar ' ini tetap melanjutkan perjuangannya. Saat kaum muslimin berhadap-hadapan dengan kaum Persia dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad, Ammar selalu berada di barisan pertama, sebagai seorang prajurit yang gagah perkasa dengan tebasan pedangnya yang tidak pernah meleset. Sebagai seorang mukmin yang saleh dan mulia, tidak seorang pun dapat menghalanginya dalam mencapai ridha Allah.
Ketika Amirul Mukminin Umar memilih calon-calon pemimpin kaum muslimin di beberapa negeri secara cermat dan hati-hati, mata Umar tertuju dan tidak ingin beralih dari Ammar bin Yasir. Ia segera menemui dan mengangkatnya sebagai wali negeri Kufah dengan Ibnu Mas'ud sebagai pengelola Baitul Mal. Umar menulis sepucuk surat berisi berita gembira kepada penduduk Kufah atas pengangkatan pemimpin negeri baru itu. Umar mengatakan, “Saya mengirimkan kepada kalian Ammar bin Yasir sebagai gubernur, dan Ibnu Mas'ud sebagai guru dan penasihat. Mereka berdua adalah orang pilihan dari golongan sahabat Muhammad dan termasuk pahlawan Badar."
Dalam melaksanakan pemerintahan, Ammar menerapkan regulasi yang rupanya tidak dapat ditembus oleh orang-orang yang rakus terhadap dunia, hingga mereka mengadakan atau hampir mengadakan persekongkolan terhadap dirinya. Pangkat dan jabatannya itu tidak menambah, kecuali kesalehan, kezuhudan, dan kerendahan hatinya. Salah seorang yang hidup semasa dengannya di Kufah, Ibnu Abil Hudzail menuturkan, “Saya melihat Ammar bin Yasir, kala menjadi gubernur di Kufah, membeli sayuran di pasar, lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, kemudian membawanya pulang.”
Salah seorang dari kalangan awam berkata kepadanya sewaktu ia menjadi gubernur di Kufah, "Wahai orang yang telinganya terpotong!” Ia menghinanya dengan menyebut telinga yang putus ketika menghadapi orang-orang murtad di pertempuran Yamamah. Namun, jawaban gubernur yang memegang tampuk kekuasaan itu tidak lebih dari ungkapan. “Engkau telah menghina telingaku yang terbaik, karena ia ditimpa musibah waktu perang di jalan Allah." Telinga Ammar memang putus dalam Perang Yamamah, yang merupakan salah satu di antara hari-hari gemilang bagi Ammar. Sosok berjiwa besar ini maju bagaikan angin topan dan menyerbu barisan tentara Musailamah Al-Kadzdzab hingga mampu melumpuhkan kekuatan musuh.
Ketika ia melihat gerakan kaum muslimin mengendur, ia segera membangkitkan semangat mereka dengan seruannya yang lantang, hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Abdullah bin Umar yang menceritakan peristiwa itu menuturkan, “Pada Perang Yamamah, aku melihat Ammar sedang berada di atas sebuah batu karang. Ia berdiri sambil berseru, 'Wahai kaum muslimin, apakah kalian hendak lari dari surga? Inilah saya Ammar bin Yasir, kemarilah kalian!' Ketika aku melihat dan memperhatikannya, ternyata salah satu telinganya telah putus berayun-ayun, sedangkan ia berperang dengan sangat sengitnya."
Orang yang masih meragukan kebesaran Muhammad, seorang Rasul yang benar dan guru yang sempurna, hendaknya berdiri sejenak di hadapan contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh para pengikut dan sahabatnya, lalu bertanya kepada dirinya, “Siapakah yang mampu melahirkan teladan dan contoh luhur ini kalau bukan seorang utusan yang mulia dan guru yang agung?" Jika mereka terjun ke suatu medan perjuangan di jalan Allah, mereka pasti maju ke depan bagaikan orang yang hendak mencari kematian, dan bukan bertarung karena menginginkan kemenangan.
Jika mereka menjadi khalifah dan hakim pengadilan, mereka tidak akan keberatan memerahkan susu untuk wanita janda tua atau membuat adonan tepung roti untuk anak-anak yatim, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar. Jika mereka menjadi pembesar, mereka tidak akan malu dan merasa segan untuk memikul makanan yang diikat dengan tali di atas punggung mereka, seperti yang kita saksikan pada Ammar. Mereka juga tidak akan ragu untuk menyerahkan gaji yang menjadi haknya lalu pergi untuk membuat bakul dari anyaman daun kurma, seperti yang dilakukan oleh Salman.
Mari kita merenung dan menundukkan kepala, sebagai penghargaan dan penghormatan untuk agama yang telah mengajari mereka semua, dan untuk Rasulullah yang telah mendidik mereka. Dan sebelum perhelatan untuk agama serta Rasulullah itu, persembahkanlah pujian kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung yang telah memilih mereka untuk semua ini, serta menjadikan mereka sebagai pelopor dan sebaik-baik umat yang pernah dilahirkan untuk menjadi teladan bagi seluruh manusia.
Ketika itu Hudzaifah bin Al-Yaman yang ahli tentang bahasa hati dan bisikan nurani itu sedang berkemas-kemas untuk menghadapi panggilan ilahi dan menghadapi sekarat mautnya. Rekan-rekannya yang sedang berkumpul sekelilingnya menanyakan kepadanya, "Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara umat?” Sambil mengucapkan kata-kata terakhir, Hudzaifah menjawab, “Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah, karena sampai matinya ia tidak hendak berpisah dengan kebenaran."
Seandainya ada orang yang dilahirkan di Surga dan dibesarkan dalam buaiannya hingga dewasa, lalu dikeluarkan ke dunia sebagai hiasan dan cahayanya, Ammar beserta ibunya Sumayyah dan Ayahnya, Yasir adalah beberapa orang di antara mereka. Namun, mengapa kita mengatakan "seandainya" dan mengumpamakan seperti itu, padahal keluarga Yasir benar-benar penduduk surga?
Ketika itu, Rasulullah bersabda, "Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah surga". Sabda beliau tersebut bukan hanya sebagai hiburan belaka, melainkan pengakuan atas kenyataan yang bisa dilihat dan menguatkan fakta yang disaksikan.
Ayahanda Ammar, Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya. Rupanya ia merasa kerasan dan cocok tinggal di Mekkah. Akhirnya ia bermukim di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah bin Al Mughirah. Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang budaknya yang bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari perkawinan yang penuh berkah ini, kedua suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.
Mereka masuk Islam lebih awal dan masuk dalam barisan orang-orang berbakti yang diberi petunjuk oleh Allah. Sebagai keniscayaan bagi orang-orang berbakti golongan awal yang masuk Islam, mereka pun harus menderita karena siksa dan kekejaman kaum kafir Quraisy.
Orang-orang Quraisy selalu mencari cari jalan agar kaum muslimin ditimpa kebinasaan. Seandainya orang yang beriman itu dari kalangan bangsawan dan berpengaruh, mereka menghadapinya dengan ancaman dan genakan. Salah satunya adalah Abu Jahal yang menggertak sebagian kaum muslimin dengan ungkapan “Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu, padahal mereka lebih baik daripada dirimu
Kami akan menguji sampai di mana ketabahanmu. Kami akan menjatuhkan kehormatanmu, merusak perniagaanmu, dan memusnahkan harta bendamu!”
Setelah itu, mereka melancarkan perang urat syaraf yang sangat sengit terhadap korban mereka. Namun, bila yang beriman itu dari kalangan penduduk Mekkah yang rendah martabatnya dan miskin, atau dari golongan budak, mereka mencambuk dan menyundut yang bersangkutan dengan api.
Keluarga Yasir termasuk ke dalam golongan yang kedua tersebut. Penyiksaan terhadap mereka diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah, dan Ammar dibawa ke padang pasir Mekkah yang sangat panas, lalu disiksa dengan berbagai bentuk kekejaman.
Penderitaan yang harus dialami oleh Sumayyah sangat memilukan, tetapi tidak akan kita uraikan secara luas sekarang ini. Pada kesempatan lain, insyaAllah kami akan menuturkan pengorbanan dan keteguhan hati yang ditunjukkan oleh Sumayyah bersama rekan-rekan seperjuangannya pada hari-hari yang bersejarah itu.
Cukuplah kita sebutkan sekarang-tanpa berlebih lebihan-bahwa Sumayyah yang gugur syahid itu telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh. Sejak awal hingga akhir, ia telah membuktikan kepada manusia suatu kemuliaan yang tidak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tidak pernah luntur. Suatu sikap yang telah menjadikannya sebagai seorang bunda kandung bagi orang-orang beriman setiap zaman, dan bagi orang-orang mulia sepanjang masa.
Rasulullah tidak lupa mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai ladang penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri. Hal itu memang telah menjadi kehendak Allah.
Agama baru, yakni agama Nabi Ibrahim yang lurus dan panji-panjinya hendak dikibarkan oleh Muhammad itu, bukanlah suatu gerakan reformaai dadakan dan temporer semata, melainkan suatu pedoman hidup bagi manusia beriman. Manusia beriman ini pun harus mewarisi agama itu beserta sejarahnya yang lengkap dengan kepahlawanan, perjuangan, dan pengorbanan.
Pengorbanan mulia yang luar biasa ini ibarat beton yang menguatkan agama dan akidah hingga menjadi keteguhan yang tidak akan pernah lapuk dan kekekalan yang tidak pernah usang. Ia juga menjadi teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggaan, dan kasih sayang. Ia adalah mercusuar yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat, kebenaran, dan kebesaran agama. Jadi, memang harus ada korban dan pengorbanan dalam agama Islam.
Makna ini telah dijelaskan oleh Al Qur'an kepada kaum muslimin, bukan hanya pada satu atau dua ayat. Allah berfirman:
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah beriman' dan mereka tidak diuji? " (Al-‘Ankabut: 2)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Ali 'Imran: 142)
"Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (Al-'Ankabut: 3)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu?" (At-Taubah: 16)
"Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang baik." (Ali 'Imran: 179)
_"Dan apa yang menimpa kamu ketika terjadi pertemuan ( pertempuran) antara dua pasukan itu adalah dengan izin Allah, dan agar Allah menguji siapa orang yang benar-benar beriman."& (Ali 'Imran: 166)
Seperti itulah Al Qur'an mendidik putra dan para pendukungnya bahwa pengorbanan merupakan esensi dan inti keimanan, dan bahwa kepahlawanan menghadapi kekejaman dan kekerasan dihadapi dengan kesabaran, keteguhan, dan pantang mundur, niscaya membentuk keutamaan iman yang cemerlang dan mengagumkan. Karena itu, saat sedang meletakkan dasar, memancangkan tiang, dan mengemukakan model panutan, agama Allah ini memperkokoh diri dengan pengorbanan dan membersihkan jiwa dengan tebusan, maka untuk kepentingan mulia ini terpilihlah beberapa orang putra, para pemuka, dan tokoh-tokoh utamanya untuk menjadi panutan sempurna serta teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang menyusul kemudian.
Sumayyah, Yasir, dan Ammar masuk dalam golongan yang diberkahi ini, menjadi orang terpilih dalam agama ini untuk memberikan pengorbanan, ketekunan dan keuletan sebagai pengisi lembaran kebesaran dan keabadian Islam. Sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa setiap hari Rasulullah berkunjung ke tempat penyiksaan keluarga Yasir, mengagumi ketabahan dan kepahlawanannya, sementara hati beliau yang mulia bagaikan hancur karena rasa kasihan saat menyaksikan mereka menerima siksa di luar batas kemanusiaan.
Suatu hari, ketika Rasulullah mengunjungi mereka, Ammar memanggilnya. “Wahai Rasulullah, siksa yang kami derita telah mencapai puncaknya." Rasulullah pun bersabda, "Bersabarlah, wahai Abu Al Yaqzhan. Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga."
Siksaan yang dialami oleh Ammar dilukiskan oleh para sahabat dalam beberapa riwayat. Amr bin Al Hakam menuturkan, “Ammar disiksa hingga tidak menyadari apa yang diucapkannya." Sementara Amr bin Maimun mengatakan, "Orang-orang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Rasulullah lewat di tempatnya lalu memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda, 'Wahai api, mendinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ammar, sebagaimana dulu kamu mendingin dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim'."
Meski sebesar itu siksaan yang dialami, Ammar tetap tidak berubah. Ia tetap teguh meski derita telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Puncak siksaan yang membuatnya benar-benar seperti binasa adalah ketika suatu hari tukang-tukang cambuk dan para algojo menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya. Mereka membakamya dengan besi panas. menyalibnya di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan mereka menenggelamkan ke dalam air hingga sulit bernafas dan kulitnya yang penuh dengan luka mengelupas.
Pada hari tersebut, ia telah tidak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat dan saat itulah orang-orang Quraisy mengatakan kepadanya, "Pujalah olehmu Tuhan-Tuhan kami!" Kemudian, mereka pun menuntunnya untuk mengucapkan kata-kata pujaan itu, sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.
Ketika ia siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar atas apa yang telah diucapkannya. Hatinya gundah dan terbayang di ruang matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, yang tidak dapat ditebus dan diampuni lagi. Saat itu juga ia dihantui oleh perasaan bersalah yang lebih menyiksa dirinya daripada siksaan yang ia terima dari orang-orang musyrik sebelumnya karena siksaan mereka itu tidak lebih daripada kenikmatan. Seandainya ia dibiarkan dalam tekanan perasaan berdosa itu beberapa jam saja, rasa bersalah itu niscaya akan membawa ajalnya.
Ammar dapat bertahan menanggungkan semua siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, karena jiwanya sedang berada pada kondisi puncak keimanan. Namun, sekarang ini, jiwanya yang merasa telah menyerah kalah, duka cita dan kekecewaannya hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan nyawanya. Tetapi, kehendak Allah Yang Maha-agung lagi Mahatinggi telah memutuskan agar peristiwa mengharukan itu berkesudahan dengan akhir yang sangat luhur. '
Tangan wahyu yang penuh berkah pun menjabat tangan Ammar, dan menyampaikan ucapan selamat kepadanya, “Bangunlah, wahai pahlawan, tidak ada penyesalan atasmu dan tidak ada cacat." Ketika Rasulullah menemui sahabatnya itu sedang dalam kondisi menangis, beliau mengusap air mata itu dengan tangan beliau seraya bersabda, “'Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?"
“Benar, wahai Rasulullah,” jawab Ammar sambil meratap.
Rasulullah bersabda sambil tersenyum, “Jika mereka memaksamu lagi, tidak mengapa engkau mengucapkan seperti apa yang engkau katakan tadi." Setelah itu Rasulullah membacakan kepadanya ayat mulia:
"Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa)," (QS. An-Nahl: 106)
Ammar kembali diliputi oleh ketenangan. Siksaan yang menimpa tubuhnya bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa juga yang akan terjadi terjadilah. Ia tidak akan peduli. Hatinya berbahagia, keimanannya di pihak yang menang. Ucapan yang dikeluarkan secara terpaksa itu dijamin bebas oleh Al Qur'an, sehingga tidak ada lagi yang perlu dirisaukan.
Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa. hingga orang-orung yang menyiksanya merasa lelah dan bosan. Mereka bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang sangat kokoh.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, kaum muslimin tinggal bersama beliau di sana dan tidak lama kemudian masyarakat lslam terbentuk dan barisan mereka menjadi sempurna. Di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini, Ammar mendapatkan kedudukan yang tinggi. Rasulullah sangat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan Ammar kepada para sahabat. Rasulullah bersabda, "Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang punggungnya…"
Ketika terjadi perselisihan antara Khalid bin Al-Walid dan Ammar, Rasulullah bersabda, "Siapa yang memusuhi Ammar, ia akan dimusuhi Allah, dan siapa yang membenci Ammar, ia akan dibenci Allah.” Tidak ada pilihan bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain segera mendatangi Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta maaf.
Ketika Rasulullah bersama para sahabat mendirikan masjid di Madinah, yakni pada awal hijrah beliau ke sana, Ali menggubah sebuah bait syair yang didendangkan berulang-ulang dan diikuti oleh kaum muslimin yang sedang bekerja itu:
“Orang yang memakmurkan masjid nilainya tidak sama. Selalu bekerja dalam keadaan duduk maupun berdiri. Sedangkan pemalas lari menghindar tertidur di sana."
Waktu itu Ammar sedang bekerja di salah satu sisi bangunan. Ia juga turut berdendang dan mengulang-ulang bait syair itu dengan nada tinggi. Salah seorang menyangka bahwa Ammar bermaksud menonjolkan dirinya dengan nyanyian itu, hingga di antara mereka terjadi pertengkaran dan keluar kata-kata yang menunjukkan kemarahan. Mendengar itu Rasulullah murka, lalu bersabda, "Apa maksud mereka terhadap Ammar? Ia menyeru mereka ke surga, sedangkan mereka hendak mengajaknya ke neraka. Sungguh, Ammar tak ubahnya seperti diriku sendiri."
Jika Rasulullah telah menyatakan perasaan sayangnya terhadap seorang muslim demikian rupa, dapat dipastikan keimanan, kecintaan dan jasa orang itu terhadap Islam. Kebesaran jiwa, ketulusan hati, serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan.
Demikian halnya Ammar. Berkat nikmat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Berkat tingkatan petunjuk dan keyakinan yang telah dicapainya itu, Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai teladan bagi para sahabat. Beliau bersabda, “Ikutilah Abu Bakar dan Umar setelah kematianku nanti, dan ambillah petunjuk Ammar sebagai pelajaran."
Mengenai perawakannya, para ahli riwayat melukiskan bahwa ia bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya yang biru. Ia sangat pendiam dan tidak suka banyak bicara. Bagaimanakah sebenarnya kehidupan seorang pendiam yang bermata biru dan berdada lebar, serta tubuhnya penuh dengan bekas-bekas siksaan kejam ini, dan pada waktu yang bersamaan jiwanya telah ditempa dengan ketabahan yang sangat mengagumkan dan kebesaran yang luar biasa? Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh pengikut yang jujur, mukmin yang tulus, serta pejuang yang berani mati ini?
Ammar telah berjuang bersama Rasulullah yang merupakan gurunya dalam semua perjuangan bersenjata, baik Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk, maupun pertempuran lainnya. Ketika Rasulullah telah mendahuluinya untuk pergi ke Ar-Rafiq Al A'la, sosok berjiwa besar ' ini tetap melanjutkan perjuangannya. Saat kaum muslimin berhadap-hadapan dengan kaum Persia dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad, Ammar selalu berada di barisan pertama, sebagai seorang prajurit yang gagah perkasa dengan tebasan pedangnya yang tidak pernah meleset. Sebagai seorang mukmin yang saleh dan mulia, tidak seorang pun dapat menghalanginya dalam mencapai ridha Allah.
Ketika Amirul Mukminin Umar memilih calon-calon pemimpin kaum muslimin di beberapa negeri secara cermat dan hati-hati, mata Umar tertuju dan tidak ingin beralih dari Ammar bin Yasir. Ia segera menemui dan mengangkatnya sebagai wali negeri Kufah dengan Ibnu Mas'ud sebagai pengelola Baitul Mal. Umar menulis sepucuk surat berisi berita gembira kepada penduduk Kufah atas pengangkatan pemimpin negeri baru itu. Umar mengatakan, “Saya mengirimkan kepada kalian Ammar bin Yasir sebagai gubernur, dan Ibnu Mas'ud sebagai guru dan penasihat. Mereka berdua adalah orang pilihan dari golongan sahabat Muhammad dan termasuk pahlawan Badar."
Dalam melaksanakan pemerintahan, Ammar menerapkan regulasi yang rupanya tidak dapat ditembus oleh orang-orang yang rakus terhadap dunia, hingga mereka mengadakan atau hampir mengadakan persekongkolan terhadap dirinya. Pangkat dan jabatannya itu tidak menambah, kecuali kesalehan, kezuhudan, dan kerendahan hatinya. Salah seorang yang hidup semasa dengannya di Kufah, Ibnu Abil Hudzail menuturkan, “Saya melihat Ammar bin Yasir, kala menjadi gubernur di Kufah, membeli sayuran di pasar, lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, kemudian membawanya pulang.”
Salah seorang dari kalangan awam berkata kepadanya sewaktu ia menjadi gubernur di Kufah, "Wahai orang yang telinganya terpotong!” Ia menghinanya dengan menyebut telinga yang putus ketika menghadapi orang-orang murtad di pertempuran Yamamah. Namun, jawaban gubernur yang memegang tampuk kekuasaan itu tidak lebih dari ungkapan. “Engkau telah menghina telingaku yang terbaik, karena ia ditimpa musibah waktu perang di jalan Allah." Telinga Ammar memang putus dalam Perang Yamamah, yang merupakan salah satu di antara hari-hari gemilang bagi Ammar. Sosok berjiwa besar ini maju bagaikan angin topan dan menyerbu barisan tentara Musailamah Al-Kadzdzab hingga mampu melumpuhkan kekuatan musuh.
Ketika ia melihat gerakan kaum muslimin mengendur, ia segera membangkitkan semangat mereka dengan seruannya yang lantang, hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Abdullah bin Umar yang menceritakan peristiwa itu menuturkan, “Pada Perang Yamamah, aku melihat Ammar sedang berada di atas sebuah batu karang. Ia berdiri sambil berseru, 'Wahai kaum muslimin, apakah kalian hendak lari dari surga? Inilah saya Ammar bin Yasir, kemarilah kalian!' Ketika aku melihat dan memperhatikannya, ternyata salah satu telinganya telah putus berayun-ayun, sedangkan ia berperang dengan sangat sengitnya."
Orang yang masih meragukan kebesaran Muhammad, seorang Rasul yang benar dan guru yang sempurna, hendaknya berdiri sejenak di hadapan contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh para pengikut dan sahabatnya, lalu bertanya kepada dirinya, “Siapakah yang mampu melahirkan teladan dan contoh luhur ini kalau bukan seorang utusan yang mulia dan guru yang agung?" Jika mereka terjun ke suatu medan perjuangan di jalan Allah, mereka pasti maju ke depan bagaikan orang yang hendak mencari kematian, dan bukan bertarung karena menginginkan kemenangan.
Jika mereka menjadi khalifah dan hakim pengadilan, mereka tidak akan keberatan memerahkan susu untuk wanita janda tua atau membuat adonan tepung roti untuk anak-anak yatim, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar. Jika mereka menjadi pembesar, mereka tidak akan malu dan merasa segan untuk memikul makanan yang diikat dengan tali di atas punggung mereka, seperti yang kita saksikan pada Ammar. Mereka juga tidak akan ragu untuk menyerahkan gaji yang menjadi haknya lalu pergi untuk membuat bakul dari anyaman daun kurma, seperti yang dilakukan oleh Salman.
Mari kita merenung dan menundukkan kepala, sebagai penghargaan dan penghormatan untuk agama yang telah mengajari mereka semua, dan untuk Rasulullah yang telah mendidik mereka. Dan sebelum perhelatan untuk agama serta Rasulullah itu, persembahkanlah pujian kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung yang telah memilih mereka untuk semua ini, serta menjadikan mereka sebagai pelopor dan sebaik-baik umat yang pernah dilahirkan untuk menjadi teladan bagi seluruh manusia.
Ketika itu Hudzaifah bin Al-Yaman yang ahli tentang bahasa hati dan bisikan nurani itu sedang berkemas-kemas untuk menghadapi panggilan ilahi dan menghadapi sekarat mautnya. Rekan-rekannya yang sedang berkumpul sekelilingnya menanyakan kepadanya, "Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara umat?” Sambil mengucapkan kata-kata terakhir, Hudzaifah menjawab, “Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah, karena sampai matinya ia tidak hendak berpisah dengan kebenaran."
No comments:
Post a Comment