Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala
(Bagian ke 7)
Bila disebutkan nama Abu Bakar, Umar pasti berkata, "Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita." Maksudnya adalah Bilal.
Seorang yang diberi gelar oleh Umar "pemimpin kita" tentu bukan orang sembarangan, melainkan sosok berkepribadian besar yang layak memperoleh kehormatan seperti itu. Tetapi, setiap menerima pujian yang ditujukan kepada dirinya, sosok yang digambarkan oleh para ahli riwayat sebagai laki-laki berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat, dan bercambang tipis ini justru menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata mengalir membasahi pipinya. Ia justru mengucapkan, "Saya ini hanyalah seorang dari Habasyah, dan sebelum ini saya seorang budak."
Nah, siapakah kiranya orang Habasyah yang sebelumnya menjadi budak? ltulah dia Bilal bin Rabah, muazin Islam dan pengguncang berhala yang dipuja oleh orang-orang Quraisy sebagai sesembahan. Bilal merupakan salah satu keajaiban iman dan kebenaran; salah satu mukjizat Islam yang besar.
Dari setiap sepuluh orang, sejak munculnya agama itu sampai sekarang, bahkan sampai kapan saja dikehendaki Allah, kita akan menemukan sedikitnya tujuh orang mengenal Bilal. Artinya, dalam pergantian kurun dan generasi terdapat jutaan manusia yang mengenal Bilal, hafal namanya, dan tahu riwayatnya secara lengkap, sebagaimana mereka mengenal dua Khalifah terbesar dalam Islam; Abu Bakar dan Umar.
Sungguh, bila Anda menanyakan kepada setiap anak yang masih merangkak pada tahun-tahun pelajaran dasarnya, baik di Mesir, Pakistan, maupun Cina, mereka pasti mengetahui siapa Bilal. Di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia, semua kenal Bilal. Di Iraq, Syria, Turki, Iran, Sudan, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan di seluruh permukaan bumi yang didiami oleh kaum muslimin, tidak ada yang tidak mengenalnya.
Anda akan dapat menanyakan kepada setiap remaja Muslim, “Siapakah Bilal itu, Nak?" Mereka pasti akan menjawab, “la adalah muadzin Rasulullah. Ia sebelumnya adalah seorang budak, yang disiksa oleh tuannya dengan batu panas, agar ia meninggalkan agamanya, tetapi ia menjawab. 'Ahad... Ahad... (Allah Yang Maha Esa... Allah Yang Maha Esa)'."
[Barangkali pernyataan penulis pada paragraf di atas merupakan standar ukuran tentang sejauh mana kita mengenal sejarah Islam dan tokoh-tokohnya. Jika kita mengenal Bilal, maka memang sudah sepatutnya demikian. Namun jika kita tidak mengenalnya sama sekali, atau hanya pernah mendengar namanya tetapi tidak tahu menahu soal siapa sosok ini, maka sesalilah keadaan tersebut. Karena hal itu bisa menjadi bukti atau pertanda betapa jauhnya kita dari ilmu tentang sejarah agama yang telah membuat gempar seluruh masyarakat yang tinggal di bawah kolong langit ini. _-peny._]
Ketika Anda mengetahui kenangan abadi yang telah dianugerahkan Islam kepada Bilal tersebut, ketahuilah bahwa sebelum Islam, Bilal ini tidak lebih daripada seorang budak yang menggembalakan unta milik tuanya dengan imbalan dua genggam kurma. Tanpa Islam, ia tidak akan luput dari kenistaan perbudakan sampai maut datang merenggutnya dan setelah itu orang melupakannya.
Kebenaran iman dan keagungan agama yang diyakininya telah menempatkan kehidupan dan sejarah hidupnya pada kedudukan tinggi dalam deretan tokoh tokoh Islam dan orang-orang "suci". Banyak di antara orang-orang terkemuka, baik golongan berpengaruh maupun orang-orang kaya, yang tidak berhasil mendapatkan meski hanya sepersepuluh dari keharuman nama yang diperoleh Bilal, si Budak Habasyah ini. Bahkan, tidak sedikit tokoh-tokoh sejarah yang tidak mencapai separuh kemuliaan yang dicapai oleh Bilal.
Kehitaman warna kulit, kerendahan kasta dan bangsa, serta kehinaan dirinya di antara manusia selama itu sebagai budak, sekali-kali tidaklah menutup pintu baginya untuk menempati kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran, keyakinan, kesucian, dan kesungguhannya setelah ia memasuki Agama Islam.
Semua itu terjadi karena dalam neraca penilaian dan penghormatan yang diberikan oleh orang-orang kepadanya, hanyalah kekaguman terhadap kedudukan tinggi yang tidak semestinya. Orang menyangka bahwa seorang hamba seperti Bilal, biasanya asal-usulnya tidak menentu; tidak berdaya dan tidak mempunyai keluarga, serta tidak memiliki suatu hak pun dalam hidupnya. Budak adalah milik tuannya yang telah membeli dengan hartanya, dan kerjanya berada di tengah hewan ternak, pulang balik di antara unta dan domba tuannya. Menurut dugaan mereka, makhluk seperti ini tidak akan mampu melakukan sesuatu, atau menjadi sesuatu yang berarti.
Ternyata, Bilal tidak seperti yang diduga oleh kebanyakan orang. Buktinya, ia mampu mencapai derajat keimanan yang sulit dicapai oleh orang lain. Ia menjadi muadzin pertama bagi Rasulullah dan Islam, sebuah amal yang menjadi dambaan bagi setiap pemimpin dan pembesar Quraisy yang telah masuk Islam dan menjadi pengikut Rasul. Itulah dia, Bilal bin Rabah.
Seperti apakah sejatinya kepahlawanan kebesaran yang disandang oleh ketiga kata ini: "Bilal bin Rabah”?
Ia seorang Habasyah (Etiopia) dari golongan orang berkulit hitam. Takdir telah membawa nasibnya menjadi budak Bani Jumah di kota Mekkah, karena ibunya salah seorang hamba sahaya mereka. Kehidupannya tidak berbeda dengan budak-budak lainnya. Hari-harinya berlalu dalam rutinitas yang gersang, tidak ada satu hari pun yang istimewa baginya. Ia tidak menaruh harapan apa pun pada hari esok.
Pada akhirnya, berita-berita mengenai Muhammad mulai sampai ke telinganya, yakni ketika orang-orang di Mekkah menyampaikan berita itu dari mulut ke mulut. Selain itu, ia juga mendengarkan perbincangan majikannya bersama para tamunya, terutama majikannya Umayah bin Khalaf, salah seorang pemuka Bani Jumah, yaitu kabilah yang menjadi majikan yang dipertuan oleh Bilal.
Sekian lama, Bilal mendengarkan ketika Umayah membicarakan Rasulullah, baik dengan kawan-kawannya maupun sesama anggota sukunya dan mengeluarkan kata-kata berbisa, penuh dengan rasa amarah, tuduhan, dan kebencian. Di antara poin yang dapat ditangkap oleh Bilal dari ucapan kemarahan yang tidak berujung pangkal itu, ialah sifat-sifat yang melukiskan agama yang baru baginya. Menurutnya, sifat-sifat itu merupakan perkara baru bila dipandang dari sudut lingkungan di mana ia tinggal. Selain itu, di antara ucapan-ucapan yang keras penuh ancaman itu, Bilal juga mendengar pengakuan mereka atas kemuliaan Muhammad, tentang kejujuran dan keterpercayaan beliau.
Begitulah, Bilal mengetahui bahwa mereka sebenarnya kagum dan tidak habis pikir terhadap ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Sebagian mereka mengatakan kepada yang lain, “Tidak pernah Muhammad berdusta atau menjadi tukang sihir. Ia tidak pula sinting atau berubah akal. Namun, kita terpaksa menuduhnya demikian untuk membendung orang-orang yang berlomba-lomba memasuki agamanya.” Bilal mendengar mereka memperbincangkan kesetiaan Rasulullah dalam menjaga amanah, tentang kejujuran dan ketulusan beliau; tentang akhlak dan kepribadian beliau.
Bilal juga mendengar mereka berbisik-bisik mengenal sebab yang mendorong mereka menentang dan memusuhinya. Pertama, adalah kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyangnya, dan kedua adalah kekhawatiran mereka terhadap kedudukan Quraisy saat itu. Kedudukan yang mereka peroleh sebagai imbalan kedudukan mereka menjadi pusat keagamaan, kiblat peribadatan, dan ritual haji di seluruh Jazirah Arab. Alasan selanjutnya adalah kedengkian terhadap Bani Hasyim, mengapa Nabi dan Rasul itu muncul dari golongan ini dan bukan dari pihak mereka.
Suatu hari Bilal bin Rabah melihat cahaya ilahi dan dari dalam lubuk hatinya yang suci murni timbul keinginan untuk menyambut sebuah pilihan utama. Karena itulah, ia menjumpai Rasulullah dan menyatakan masuk Islam. Tidak lama setelah itu, berita rahasia keislaman Bilal pun tercium dan beredar di kepala tuan-tuannya dari Bani Jumah, yakni kepala-kepala yang selama ini dikuasai oleh kesombongan dan ditindih oleh kecongkakan. Karena itu tidak aneh bila setan-setan di muka bumi bersarang di dalam dada Umayah bin Khalaf, yang menganggap keislaman seorang hambanya sebagai tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan mereka semua.
Kini budak mereka, orang Habasyah itu, masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad. Namun, hati Umayah mengatakan, "Tidak apa-apa." “Matahari yang terbit hari ini tidak akan tenggelam dengan islamnya budak durhaka itu,” katanya. Sekali-kali tidak, bukan saja sang surya itu akan tenggelam dengan Islamnya Bilal, bahkan suatu hari kelak matahari akan tenggelam dengan membawa semua patung-patung dan pembela pembela berhala itu.
Bilal sendiri bukan saja ia mendapatkan kedudukan yang merupakan kehormatan bagi Islam semata --Walau Islam memang lebih berhak untuk itu-- meiainkan juga merupakan kehormatan bagi kemanusiaan secara umum. Ia telah menjadi sasaran berbagai macam siksaan seperti dialami oleh tokoh-tokoh utama lainnya.
Allah seolah-olah menjadikannya sebagai cermin bagi umat manusia, bahwa hitamnya warna kulit dan perbudakan sekali-kali tidak menjadi penghalang untuk mencapai kebesaran jiwa, asal saja ia beriman dan taat kepada Penciptanya serta memegang teguh hak-hak Nya.
Bilal telah memberikan pelajaran kepada orang-orang yang semasa dengannya, juga bagi orang-orang pada zaman kapan pun, yang seagama dengannya, bahkan bagi pengikut-pengikut agama lain; suatu pelajaran berharga yang menjelaskan bahwa kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani tidak dapat dibeli dengan emas separuh bumi, atau dengan siksaan bagaimanapun dahsyatnya.
Dalam keadaan telanjang ia dibaringkan di atas bara, agar ia meninggalkan agamanya atau mencabut pengakuannya. Namun, Bilal menolak. Karena itu, budak Habasyah yang lemah dan tidak berdaya ini telah dijadikan oleh Rasulullah dan Islam sebagai guru bagi seluruh kemanusiaan dalam persoalan menghormati hati nurani dan mempertahankan kebebasan serta kemerdekaannya.
Suatu saat, pada tengah hari bolong, ketika padang pasir berganti rupa menjadi neraka jahanam (bahasa kiasan untuk menggambarkan keadaan yang sangat panas, _-peny._), orang-orang Quraisy membawanya ke luar, lalu melemparkannya ke pasir yang panas bagai api yang menyala dalam keadaan telanjang. kemudian beberapa orang laki-laki mengangkat batu besar yang juga panas laksana bara, dan menjatuhkannya ke atas tubuh dan dadanya.
Siksaan kejam dan biadab ini mereka ulangi setiap hari, hingga karena dahsyatnya, hati beberapa orang di antara algojo-algojo menaruh kasihan kepadanya dan melunak. Mereka berjanji dan bersedia melepaskannya asal saja ia mau menyebut nama Tuhan-Tuhan mereka secara baik-baik walau dengan sepatah kata sekali pun, tidak usah lebih, yang akan menjaga nama baik mereka di mata umum, hingga tidak menjadi buah pembicaraan bagi orang-orang Quraisy; bahwa mereka telah mengalah dan bertekuk lutut kepada seorang budak yang gigih dan keras kepala.
Namun, walau sepatah kata yang dapat diucapkan bukan dari lubuk hati, dan yang dapat menebus nyawa dan hidupnya tanpa kehilangan iman dan melepas keyakinannya, Bilal tidak ingin mengucapkannya. Begitulah, Ia menolak mengucapkan hal itu, dan sebagai gantinya la mengulang-ulang senandungnya yang abadi, “Ahad... Ahad...!" Para algojo itu pun memaksanya, "Katakanlah seperti yang kami katakan!" Tetapi, dengan ejekan pahit dan penghinaan yang menjengkelkan, Bilal menjawab, "Lidahku tidak dapat mengucapkannya."
Bilal tetap menjalani deraan panas dan tindihan batu, hingga ketika hari petang mereka menegakkan badannya dan mengikatkan tali pada lehernya, lalu mereka suruh anak-anak untuk mengaraknya keliling perbukitan dan jalan-jalan di Mekkah, sedangkan kedua bibir Bilal terus menerus melagukan senandung sucinya. "Ahad...! Ahad...!"
Bila malam telah tiba, orang-orang itu pun menawarkan kepadanya, “Besok, ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap Tuhan-Tuhan kami, sebutlah: 'Tuhanku Lata dan 'Uzza'. Setelah itu kami lepaskan dan biarkan kamu sesuka hatimu. Kami telah letih menyiksamu, seolah-olah kami sendirilah yang disiksa!" Namun, dapat dipastikan Bilal akan menggelengkan kepalanya dan hanya menyebut, "Ahad... Ahad…"
Karena tldak dapat menahan gusar dan murka, Umayah meninju Bilal sambil berteriak, “Kesialan apa yang menimpa kami disebabkan olehmu, wahai budak celaka? Demi Lata dan 'Uzza, aku akan menjadikan dirimu sebagai contoh bagi bangsa budak dan majikan-majikan mereka." Dengan keyakinan seorang mukmin dan kebesaran seorang suci, Bilal menjawab, “Ahad... Ahad…"
Orang-orang yang diserahi tugas berpura-pura menaruh belas kasihan kepadanya, kembali membujuk dan mengajukan tawaran. Mereka berkata kepada Umayah, “Biarkanlah dia, wahai Umayah! Demi Latta, ia tidak akan disiksa lagi setelah hari ini. Bilal ini anak buah kita, bukankah ibunya budak kita? la tentu tidak akan rela bila dengan keislamannya itu nama kita menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraisy."
Bilal menatap tajam wajah-wajah para penipu dan pengatur muslihat licik itu. Tiba-tiba ketegangan itu menjadi kendur oleh senyuman bagai cahaya fajar dari mulut Bilal. Dengan ketenangan yang dapat mengguncangkan mereka, ia kembali berkata, “Ahad... Ahad…"
Waktu siang telah tiba dan tepat menjelang waktu Zuhur Bilal pun dibawa orang ke padang pasir lagi. Bilal tetap sabar dan tabah, tenang tidak goyah. Saat mereka menyiksanya, tiba-tiba Abu Bakar Ash-Shiddlq datang dan berkata, "Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan. 'Rabbku ialah Allah?" Kemudian ia berkata kepada Umayyah bin Khalaf, “Ambillah tebusan yang lebih besar daripada harganya dariku, lalu bebaskan ia."
Umayah saat itu bagai orang yang hampir tenggelam, tiba-tiba diselamatkan oleh sampan penolong. Hatinya lega dan merasa sangat beruntung saat mendengar Abu Bakar hendak menebus budaknya. Dia telah putus asa untuk menundukkan Bilal. Selain itu, mereka adalah para pedagang, sehingga dengan dijualnya Bilal, mereka melihat keuntungan yang tidak akan diperoleh dengan jalan membunuhnya. Akhirnya Bilal dijual kepada Abu Bakar yang segera membebaskannya, dan dengan demikian Bilal pun tampil mengambil tempatnya dalam lingkungan orang-orang merdeka.
Ketika Ash-Shiddiq menggandeng lengan Bilal dan membawanya ke alam bebas, Umayyah berkata kepadanya, "Bawalah ia! Demi Lata dan 'Uzza, seandainya harga tebusannya tidak lebih dari satu uqiyah, pastilah ia akan kulepas juga."
Abu Bakar tahu bagaimana keputusasaan dan kepahitan akibat kegagalan yang tersirat dalam ucapan itu, hingga lebih baik tidak melayaninya. Tetapi, karena ini menyangkut kehormatan seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi saudara yang tidak berbeda dengan dirinya, ia pun membalas kata-kata Umayah, “Demi Allah, seandainya kalian tidak hendak menjualnya kecuali dengan seratus uqiyah, aku pasti akan membayarnya juga."
Setelah itu, Abu Bakar pergi bersama sahabatnya itu menghadap Rasulullah dan menyampaikan berita gembira tentang kebebasan Bilal. Saat itu pun bagaikan hari raya besar.
Setelah Rasulullah bersama kaum muslimin hijrah dan menetap di Madinah, beliau pun mensyariatkan adzan untuk melakukan shalat. Lantas siapakah kiranya yang akan menjadi muadzin untuk shalat itu sebanyak lima kali dalam sehari semalam, yang suara takbir dan tahlilnya akan berkumandang ke seluruh pelosok? Orang itu ialah Bilal, yang telah menyerukan, “Ahad... Ahad…" Ucapan yang selalu ia Iantunkan sejak tiga belas tahun yang lalu, sementara siksaan terus mendera dan menyiksa tubuhnya.
Pada hari itu pilihan Rasulullah jatuh pada dirinya sebagai muadzin pertama dalam Islam. Dengan suara yang merdu dan empuk, Bilal mengisi hati dengan keimanan dan telinga dengan keharuan, sementara seruannya menggemakan:
_"Allohu Akbar... Allohu Akbar_
_Allohu Akbar... Allohu Akbar_
_Asyhadu allaa ilaaha illalloh_
_Asyhadu aIIaa iIaaha illalloh_
_Asyhadu anna Muhammadar Rasululloh_
_Asyhadu anna Muhammadar Rasululloh_
_Hayya 'alas sholah_
_Hayya 'alas sholah_
_Hayya 'alal falah_
_Hayya 'alalfalah_
_Allahu Akbar... Allahu Akbar_
_La Ilaaha lllalloh_
Suatu saat, terjadilah peperangan antara kaum muslimin dan tentara Quraisy yang datang menyerang Madinah. Pertempuran berkecamuk dengan sangat sengit dan dahsyat. Bilal maju dan menerjang dalam perang pertama pada masa islam itu, yaitu Perang Badar, yang sebagai semboyannya dititahkan oleh Rasulullah menggunakan ucapan, "Ahad... Ahad...!"
Dalam peperangan ini Quraisy mengerahkan tenaga intinya. Para pemuka Quraisy terjun untuk menemui tempat kematian mereka. Pada mulanya Umayyah bin Khalaf, yang tidak lain merupakan bekas majikan Bilal yang telah menyiksanya secara kejam dan biadab, tidak hendak ikut dalam peperangan itu.
Ia sebenarnya enggan untuk berangkat kalau saja rekannya yang bernama Uqbah bin Abu Mu'ith tidak menghampirinya, setelah ia mendengar keengganan dan sifat pengecutnya itu. Uqbah menghampirinya sambil membawa anglo (yang biasanya digunakan oleh wanita untuk mengasapi tubuh dengan wewangian) di tangan kanannya.
Setelah sampai dan berhadapan muka dengan Umayyah yang ketika itu sedang duduk di tengah-tengah kaumnya, Uqbah meletakkan anglo itu di hadapannya seraya berkata, “Wahai Abu Ali (panggilan Umayyah), terimalah dan pergunakanlah anglo ini, karena kamu tidak lebih dari seorang wanita!"
_*(Bersambung)*_
No comments:
Post a Comment