Terima kasih Semoga bermanfaat Dan menjadi ladang pahala
sebelum berbicara lebih jauh tentang persoalan hukum seputar
ketaatan kepada penguasa, hal yang penting untuk dikaji terlebih dahulu
adalah:
- Apa definisi yang dihadirkan oleh para ulama tentang ulil amri.
- Apa saja kriteria seseorang bisa disebut sebagai ulil amri atau pemimpin umat Islam.
Definisi ulil amri
Secara bahasa, kata ulil amri terdiri dari dua suku kata yaitu; kata uli yang bermakna memiliki dan al-amr yang bermakna memerintah. Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzur menguraikan bahwa maksud dari kata uIi
adalah memiliki. Dalam bahasa Arab, masih menurut Ibnu Mandzur, ia
adalah kata tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu harus berdampingan
dengan kata yang lain (idhafah).
Sedangkan definisi al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang
memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah
penguasa yang mengatur pemerintahannya di antara rakyatnya.” (lihat; Lisanu Arab: 4/31)
Jadi, menurut istilah, kata ulil amri dapat didefinisikan
yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah
orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (lihat: Al-Mufradat, 25)
Siapakah yang Disebut dengan Ulil Amri?
Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak ulil amri
meskipun dalam kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini
menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah
wal jamaah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Ibnu Abi ‘Izz dalam Syarah Aqidah Thahawiyah, berkata, “Hukum
mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan)
walaupun mereka berbuat dzalim. karena kalau keluar dari ketaatan kepada
mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan
kezhaliman penguasa itu sendiri.” (Lihat: Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 381)
Namun kemudian muncul salah satu pertanyaan yang cukup mendasar dan
perlu dijabarkan secara utuh, yaitu; siapakah yang disebut dengan ulil amri? Apakah setiap pemerintahan yang ada hari ini bisa disebut ulil amri?
Ketika menjelaskan ayat di atas, para ulama tafsir telah menyebutkan beberapa pandangan tentang siapakah yang dimaksud ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.
Imam At-Tabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai siapa ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para penguasa. Sebagian lagi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh
(mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Ada juga yang
berpendapat bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Dan
Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat Tafsir at-Thabari, 7/176-182)
Sementara itu Ibnu Katsir, setelah mengutib beberapa pandangan ulama tentang ulil amri, beliau menyimpulkan bahwa ulil amri
itu adalah penguasa dan ulama. Lalu beliau mengatakan, “Ayat ini
merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa. Oleh karena
itu, Allah ta’ala berfirman, ‘Taatilah Allah,’ maksudnya adalah ikutilah kitab-Nya. ‘Dan taatilah Rasul’ maksudnya adalah ambillah sunnahnya. ‘Dan ulil amri di antara kalian,’
maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa
ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu
Katsir, 4/136)
Perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ulil amri
dalam ayat di atas juga disebutkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya.
Namun di antara seluruh pendapat tersebut, mayoritas ulama menguatkan
bahwa maksud ulil amri dalam ayat tersebut ialah para penguasa
dan ulama yang memiliki otoritas dalam mengurus urusan kaum muslimin,
baik urusan dunia maupun agama mereka.
Imam Asy-Syaukani berkata:
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
“Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)
Imam Nawawi berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang
yang Allah ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan
pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang
yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Lihat: Syarh Shahih Muslim 12/222)
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka
adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung
oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara.
Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun
buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari
bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan
senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan
setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian
akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan uli al-amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS al-Nisa’ [4]: 59).
Dalam bermasyarakat, keberadaan pemimpin
mutlak diperlukan. Islam pun secara tegas mewajibkan kebera-daannya.
Lebih dari, Islam juga menetap-kan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi
pemimpin; serta sistem yang harus dijalankan oleh pemimpin itu.
Kesimpulan itu didasarkan pada banyak dalil. Di antaranya adalah dalam
QS al-Nisa ‘ [4]: 59. Ayat ini memberikan gambaran global kepada kita
tentang dua perkara penting dalam kepemimpinan, yakni: kriteria pemimpin
dan sistem yang wajib dijalankan pemimpin tersebut.
Wajib Beraqidah Islam Allah SWT
berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû athî’ûLlâh wa athî’û al-Rasûl wa
ulî al-amri munkum (hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul [Nya], dan uli al-amri di antara kamu). Seruan ayat ini
ditujukan kepada seluruh kaum Mukmin. Mereka diserukan untuk bersikap
taat terhadap tiga pihak.
Pertama, taat kepada Allah
SWT. Yakni menjalankan perin-tah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sebagaimana dijelaskan banyak mufassir, maksud taat kepada kepada Allah
SWT di sini adalah mengikuti al-Quran.
Kedua, taat kepada
Ra-sulullah SAW. Sebagai seorang rasul yang diutus untuk mengemban
risalah-Nya, Rasulullah SAW wajib ditaati. Bahkan mentaati Rasulullah
SAW sama halnya dengan mentaati Zat yang mengutusnya, Allah SWT (lihat
QS al-Nisa’ [4]: 64, 80). Kendati mentaati Ra-sulullah SAW paralel
dengan mentaati Allah SWT, namun dalam ayat ini kedua-duanya disebutkan.
Hal itu menunjukkan perbedaan objek yang ditunjuk. Jika mentaati Allah
SWT menun-juk kepada Kitabullah, maka mentaati Rasulullah SAW menun-juk
kepada al-Sunnah al-Nabawiyyah. Keduanya, meskipun sama-sama wahyu dari
Allah SWT yang wajib ditaati, terdapat perbedaan. Jika al-Quran,
lafadznya dari Allah SWT, maka al-Sunnah, lafadznya dari Ra-sulullah SAW
sendiri.
Ketiga, taat kepada ulî
al-amri. Menurut pendapat jumhur ulama, –sebagaimana dituturkan
al-Qurthubi dan Ibnu ‘Athiyah– makna ulî al-amri di sini adalah umarâ’
atau khulafâ’. Terhadap mereka, kaum Musim juga diwajibkan untuk
mentaatinya. Hanya saja, ketaatan terhadap pemimpin itu dalam koridor
ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Mereka wajib ditaati selama
tidak melanggar syara’. Apabila terkatagori maksiat, maka tidak boleh
ditaati. Rasu-lullah SAW bersabda: Tidak boleh ada ketaatan kepada
makhluk dalam hal maksiat kepada Allah Azza wa Jalla (HR Ahmad dari Ali
ra). Wajibnya mentaati uli al-amri ini juga menunjukkan hukum
wajibnya mewujud-kannya. Sebab, tidak mungkin Allah SWT mewajibkan kaum
Muslim untuk taat kepada seseorang yang tidak ada wujud-nya. Sehingga
perintah mentaati waliyy al-amri itu bisa juga dipahami perintah agar
mewujudkannya. Demikian Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dalam Nizhâm
al-Hukm. Kata minkum memberikan batasan bahwa uli al-amri itu harus min
al-muslimîn (dari kalangan Muslim). Ini menjadi dalil bahwa khalifah
harus seorang Muslim.
pertama: Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman. Kedua: Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat. Ketiga: Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaatiPara
ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah
untuk mengatur kemaslahatan umat, yaitu dengan menjalankan syariat yang
telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu,
dalam Islam pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Nabi SAW
dalam menjalankan tugas kenabian.
Imam Al-Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3)
Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa, “Kepemimpinan adalah sebagai
proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas)
Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi
agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk
mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ , hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)
Senada dengan itu, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa, “imamah
(kepemimpinan) merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat
dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Al-Muqaddimah, hal. 195)
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan ulil amri
adalah para pemimpin umat Islam yang mengatur pemerintahannya dengan
pedoman hukum Allah, yaitu sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam
al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan
para pemimpin negara yang
mengatur kepemerintahannya dengan selain hukum Allah, seperti demokrasi,
komunis dan sebagainya, maka tidaklah layak disebut sebagai ulil amri.
Syaikh Ahmad Naqieb, salah satu da’i salafi yang berdomisili di
Mesir, ketika ditanya apakah pemimpin demokrasi yang ada saat ini layak
disebut ulil amri? Beliau menjawab, “Kita tidak membela
kebatilan, jika demokrasi menjadi asas undang-undang sebuah kepemimpinan
maka dia tidak disebut dengan waliyu syar’i (baca; ulil amri). Berhukum
dengan demokrasi tidak sesuai dengan petunjuk syar’i. Akan tetapi kita
menaati peraturan dia hanya demi kemaslahatannya saja.”
Lalu dalam rekaman yang lain, beliau juga menjelaskan bahwa yang disebut dengan waliyus syar’i
adalah pemimpin yang menegakkan syariat Islam . Inilah pemimpin yang
wajib ditaati meskipun dia melakukan kedzaliman atau melampaui
batas. Selama ia menegakkan syariat Islam maka dia disebut dengan waliyus syar’i.
Apakah sepanjang masih salat tetap harus ditaati?
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw menyebut kriteria pemimpin yang
harus ditaati. Salah satunya adalah selama mereka masih menegakkan
shalat. Diriwayatkan dari Muslim dari Auf bin Malik, ia berkata, saya
mendengar Rasulullah saw bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ
وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ،
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ
الصَّلَاةَ،
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai
kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.
Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan
mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat
kalian. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kita
menyatakan perang kepada mereka ketika itu?’ beliau menjawab, ‘Jangan!
Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah kalian’.” (HR. Muslim)
Dalam lafadh lain, Rasulullah saw menyebutkan, “Sungguh akan ada
pemimpin-pemimpin yang kalian kenal (kebaikan mereka, -pen.) dan kalian
ingkari (kemaksiatan mereka, -pen.). Barang siapa mengingkari
kemaksiatannya, dia terlepas dari tanggung jawab. Dan barang siapa
membencinya, dia selamat, tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang ridha
dan mengikutinya.” Sahabat bertanya, “Bolehkah kami
memerangi mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak boleh, selama mereka mengerjakan shalat lima waktu bersama
kalian.” (HR. Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu barometer ketaatan kepada ulil amri
adalah selama pemimpin tersebut masih mengerjakan shalat. Sebaliknya,
ketika tidak mau melaksanakan shalat maka tidak ada lagi kewajiban bagi
rakyat menaatinya. Sebab, shalat adalah salah satu pemisah antara orang
mukmin dan kafir. ketika seseorang tidak mau melaksanakan shalat maka
dia sudah melakukan salah satu kekufuran.
Perlu dipahami bahwa pada dasarnya seorang pemimpin harus
dilengserkan dari jabatannya ketika ia melakukan kekufuran. Tidak mau
mengerjakan shalat hanyalah salah satu penyebab kekufuran. Lebih
daripada itu, masih banyak bentuk tindakan lain yang menyebabkan
seseorang menjadi kafir. Di antaranya adalah ketika ia menolak syariat
Allah atau menggantikan undang-undang negara dengan selain hukum Allah.
Pemimpin yang tidak menegakkan syariat maka tidak layak disebut ulil
amri, bahkan ia pun harus dilengserkan dari jabatannya
Sehingga
dalam banyak hadis, Nabi saw membatasi kewajiban taat kepada pemimpin
adalah selama mereka menegakkan hukum Allah. Nabi saw bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا
أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
“Wahai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Allah meskipun kaliau dipimpin oleh hamba sahaya dari
habasyi, dengar dan taatilah dia selama memimpin kalian dengan
kitabullah.” (HR. Tirmidzi, no. 1706, Nasa’i, 7/154, Ibnu Majah,
no. 2328, Ahmad, 6/402 dan Al-Hakim, 4/206, ia berkata hadis shahih dan
dishahihkan juga oleh Al-Albani)
No comments:
Post a Comment