1. Para ulama Hanafi mengatakan bahwa itikaf adalah menetap di masjid yang didalamnya dilakukan shalat berjamaah dalam keadaan berpuasa serta niat untuk beritikaf sedangkan menetap adalah rukunnya. Adapun masjid jamaah yang dimaksud adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin baik didalamnya dilakukan shalat lima waktu atau tidak.
2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri (menetap) yang dilakukan seorang muslim yang mumayyiz di sebuah masjid dalam keadaan berpuasa serta menahan diri dari jima’ dan pendahuluannya selama sehari semalam atau lebih untuk beribadah dengan menyertakan niat.
3. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan seorang tertentu dengan menyertakan niat.
4. Para ulama Hambali mengatakan bahwa itikaf adalah berdiam diri di masjid untuk taat kepada Allah dengan keadaan tertentu dari seorang muslim, berakal dan tamyiz dalam keadaan suci dari hal-hal yang mewajibkannya mandi. Waktu minimalnya adalah sesaat.
Dalil-dalil disyariatkannya itikaf adalah terdapat didalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’ para ulama :
1. Firman Allah swt :
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya : ”Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.” (QS. Al Baqoroh : 187)
2. Sedangkan sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Anas dan Aisyah bahwa Nabi saw beritikaf di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan sejak beliau saw datang ke Madinah hingga Allah swt mewafatkannya saw.” (Muttafaq Alaihi). Imam Zuhri mengatakan,”Manusia memang aneh, mengapa mereka meninggalkan itikaf padahal Rasulullah saw melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya. Beliau saw tidak pernah meninggalkanya hingga dirinya meninggal dunia.”
Adapun waktu yang disukai untuk itikaf ini adalah pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya, sedangkan tentang waktu minimalnya maka terjadi perselisihan :
1. Para ulama Hanafi mengatakan bahwa itikaf minimal dilakukan sejenak tanpa ada batasan waktu. Berpuasa bukanlah persayaratan dalam itikaf sunnah.
2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa waktunya adalah sehari semalam, sedangkan yang paling baik adalah sepuluh hari. Tidak sah itikaf bagi orang yang tidak berpuasa walaupun dirinya memiliki uzur. Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa maka tidak sah itikafnya.
3. Pendapat yang paling benar dari para ulama Syafi’i adalah itikaf disayaratkan menetap sesuai kadar berdiam diri itu sendiri. Waktunya adalah lebih sedikit dari waktu lamanya thuma’ninah saat ruku’ atau sejenisnya.
4. Sedangkan para ulama Hambali mengatakan bahwa paling sedikit seorang mu’takif adalah sejenak walaupun sekelabatan saja.
Sedangkan persyratan dari itikaf ini adalah :
1. Islam ; tidaklah sah itikaf yang dilakukan oleh orang kafir karena hal itu merupakan bagian dari keimanan.
2. Berakal atau tamyiz ; tidaklah sah itikaf seorang yang gila atau sejenisnya, tidak juga seorang anak yang belum tamyiz karena mereka tidak termasuk ahli ibadah.
3. Dilakukan di masjid; tidaklah sah itikaf yang dilakukan di rumah-rumah kecuali para ulama Hanafi yang membolehkan seorang wanita beritikaf di masjid didalam rumahnya, ia adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat.
4. Niat; tidaklah sah itikaf kecuali dengan niat, sebagaimana hadits Nabi saw,”Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dari niatnya.”
5. Puasa; ini merupakan syarat mutlak menurut Maliki dan persyaratan menurut Hanafi didalam itikaf nazar saja bukan yang sunnah. Puasa ini juga bukan persayaratan menurut Syafi’i dan Hambali sehingga itikaf sah walau tanpa berpuasa kecuali jika orang itu bernazar puasa bersama itikaf..
6. Bersih dari junub, haidh dan nifas menjadi pesyaratan menurut jumhur. Para ulama Maliki berpendapat bahwa bersih dari junub merupakan syarat diperbolehkannya orang itu menetap di masjid bukan menjadi syarat sahnya itikaf. Apabila seorang yang beritikaf bermimpi maka diwajibkan baginya untuk mandi baik di masjid jika terdapat air atau keluar dari masjid.
7. Izin dari suami bagi seorang istri merupakan syarat menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Tidaklah sah itikaf seorang wanita tanpa izin dari suaminya walaupun itikafnya itu adalah itikaf nazar. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa itikaf seorang wanita yang tanpa izin suaminya tetap sah namun berdosa. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu)
from: eramuslim
No comments:
Post a Comment