Assalamu’alaikum, Ustadz. Negara kita kan menganut sistem demokrasi yang pemimpin itu dipilih oleh rakyat, baik untuk eksekutif maupun legislatif. Sedangkan, kita kadang tidak ada waktu untuk “menguliti” tiap-tiap calon untuk memastikan pilihan yang lebih baik di antara calon hingga akhirnya memilih untuk menjadi golongan putih (golput).
Dalam perkara ini, apa sebenarnya hukum dari golput itu sendiri?
Terima kasih sebelumnya dan sekali lagi mohon maaf.
Jawaban
Ust. Farid Nu’man Hasan Hafidzahullah:
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Salah satu karakter agama Islam adalah murunah (fleksibel), yaitu dalam fatwa-fatwa yang terkait kehidupan dunia yang dinamis. Termasuk pembicaraan ranah politik. Sebab politik yang memang tidak bisa hitam putih.
Dahulu Nabi pernah “koalisi” dengan Bani Khuza’ah di masa awal Islam untuk melawan bani-Bani lain yang lebih keras permusuhannya, lalu saat perang Hunain justru perang melawan Bani Khuza’ah.
Fatwa dalam masalah ini sangat dipengaruhi oleh tempat, zaman, kondisi, situasi, bahkan kebiasaan. Imam Ibnul Qayyim menulis dalam I’lamul Muwaqi’in:
في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
“Pasal tentang perubahan fatwa dan perbedaannya yang disebabkan perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan tradisi.” Lalu Beliau berkata:
هذا فصل عظيم النفع جدا وقع بسبب الجهل به غلط عظيم على الشريعة أوجب من الحرج والمشقة وتكليف ما لا سبيل إليه ….
Ini adalah pasal yang sangat besar manfaatnya, yang jika bodoh terhadap pasal ini maka akan terjadi kesalahan besar dalam syariat, mewajibkan sesuatu yang sulit dan berat, serta membebankan apa-apa yang tidak pantas dibebankan … (I’lamul Muwaqi’in, 3/3) Oleh karena itu sikap GOLPUT dalam sebuah kancah pertarungan politik, tidak bisa dinilai secara polos.
Golput adalah sikap, ikut berpartisipasi juga sikap. Keduanya sama-sama sikap, dan sama-sama akan mendapatkan pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala.
Dahulu ada 7 sahabat nabi yang “abstain” tidak membai’at Ali dan tidak pula Muawiyah, seperti yang dikatakan Imam Al Waqidi, seperti Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Sa’ad bin Abi Waqash, dll. Artinya, untuk istilah sekarang, mereka golput.
Nah, untuk sebuah daerah yang mengharuskan umat Islam mesti bersikap, dimana orang kafir juga menunjukkan sikapnya yang berlawanan dengan umat Islam, maka pilihan GOLPUT tidak tepat, apalagi alasannya adalah hal-hal yang didebatkan para ulama yaitu memanfaatkan demokrasi. Musuh di depan mata, keadaan umat di ujung tanduk, orang kafir bersatu, tapi kita masih ribut-ribut dan jago-jagoan debat tentang keabsahan demokrasi, adalah kemunduran, kebodohan yang disinggung oleh Imam Ibnul Qayyim.
Tapi, jika situasinya berbeda. Kita hidup di negeri muslim yg minoritas. Semua calon adalah musuh Islam, tidak ada satu pun yang yang bisa diharapkan, maka GOLPUT adalah pilihan yang tepat. Demikian. Wallahu A’lam.
Sumber: Alfahmu.id - Website Resmi Ustadz Farid Nu'man. Baca selengkapnya http://alfahmu.id/hukum-golput-dalam-pemilu/
No comments:
Post a Comment