Pertama: Kaidah baku dalam memahami riba adalah perkataan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu, yang mengatakan,
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.”
Demikiaan
juga keterangan Abdullah bin Sallam. Beliau mengatakan, “Apabila kamu
mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi itu memberikan
fasilitas layanan membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka
janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan keterangan di atas maka apa pun bentuk kelebihan yang diberikan oleh orang yang berutang karena konsekuensi utangnya maka statusnya adalah riba, baik yang menerima itu adalah pihak perorangan atau organisasi, semacam koperasi.
Yang
kami maksud dengan “konsekuensi utang” adalah semua sebab yang
mengakibatkan kreditor memberikan kelebihan–apa pun bentuknya–kepada
debitor, baik disepakati di awal atau hanya sebatas karena perasaan
“tidak enak” kepada yang mengutangi. Artinya, andai bukan karena adanya utang tersebut, dia tidak akan memberikan apa pun kepada debitor.
Kedua: Kewajiban harta yang Allah bebankan kepada hamba-Nya hanya satu: zakat.
Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk mendakwahi ahli kitab, beliau
berpesan untuk mengajarkan semua syarat sehingga seseorang bisa disebut
muslim. Salah satunya: “… Sesungguhnya, Allah mewajibkan zakat terhadap harta mereka ….” (HR. Bukhari, Abu Daud, Turmudzi, dan lain-lain).
Andaikan ada kewajiban harta yang lainnya dalam Islam, tentu akan dipesankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Mu’adz. Karena itu, tidak ada yang namanya “kewajiban infak”
2,5%. Jika itu ditetapkan maka itu bukan kewajiban syariat, tetapi
kewajiban iuran bagi setiap anggota koperasi yang meminjam uang. Jika
demikian, berarti kewajiban infak yang dibebankan kepada peminjam, pada
hakikatnya, adalah riba.
Allahu a’lam.
No comments:
Post a Comment